Tugu P29 |
Nah, di pertengahan Juni ini, saya malah merasakan sendiri bagaimana tak nyamannya berada di tengah orang-orang yang berdoa. Ketika berkunjung ke Muria, saya cukup terkejut, melihat puncak Songolikur—yang selanjutnya saya sebut P29–begitu ramai oleh pendaki, juga beberapa peziarah yang sedang singgah. Sepertinya hal itu sudah biasa di sana. Mungkin, para pendaki itu sudah mengerti tata krama yang harus dijunjung ketika berada di P29. Para peziarah itu sangat terbuka dengan para pendaki yang notabene merupakan penduduk lokal. Mereka malah sempat sharing di warung sebelah pondokan yang bisa digunakan untuk bermalam sementara. Meski begitu, tetap saja saya merasa tak enak. Saya jadi segan waktu itu, berada di sekitar peziarah. Saya hanya duduk saja di luar pondokan sambil memasak dan menikmati langit yang jernih di P29. Sementara para peziarah mulai berdoa dan melakukan tirakat, saya nyaris tak berani mengganggu. Menoleh saja tak mau, apalagi memotret mereka? Rasanya, tidak etis kalau mengganggu para peziarah itu. Kami sama-sama sedang singgah–saya dan peziarah–sehingga saya tak mau saling ganggu atau melakukan keributan di tempat orang. Hehehehe. Yah, dan di sanalah saya benar-benar mengerti artinya responsible traveller. Nggak enak kan diusik? Ya jangan mengusik. Gituuuu… 😀
Akhirnya, daripada berada di antara para peziarah yang akan mulai berdoa, saya tidur saja di pondokan. Lagipula, P29 kala malam, semakin dingin. Angin kencang menerpa dan sepertinya lebih enak berselimut sarung di pondokan. Hehehe.
Saya mendapat informasi dari salah satu orang Pati, Mas Dany Dwia. Dia bilang sih, dulu nggak ada itu pondok di atas P29. Yang ada cuma pagar batu dengan beberapa patung di sudutnya. Ada satu pondok kecil, itu untuk menyiapkan sesaji yang akan ditaruh di depan petilasan. Salah satu patungnya adalah Ganesa. Kata Mas Dany, “Kalau dulu nggak ada pondok, sekarang ada mungkin juga karena kebutuhan para peziarah sendiri.” Oh ya, saya mengerti. Mungkin saja ada peziarah dari kota atau lokasi yang jauh dari Desa Rahtawu atau Tempur, sehingga lama kelamaan, dibutuhkan tempat singgah sementara bagi mereka. Pantasa saja, makin lama P29 makin ramai didaki. Meski begitu, sepertinya orang-orang sudah paham akan P29 mereka yang harus dijaga. Di sekeliling P29 cukup bersih. Ada toilet sederhana dan tempat sampah di beberapa sudut, sehingga kita tak perlu menyampahi tempat ziarah. Ada juga beberapa peringatan atau tulisan yang cukup terlihat di salah satu sudut pondok, sehingga orang yang lewat situ pasti bisa membacanya (tentu saja kalau tetap buang sampah sembarangan, berarti ia buta. Buta hati gitu.) :p
Tulisan bagus, tapi minus. Ada vandalisme. 😦 |
Oh ya. Di sini, saya menemukan patung Ganesa berada di luar kompleks petilasan, namun masih menyatu dengan pagar batunya. Jadi, ada dua ring semacam mandala. Mandala sebagai meditasi Buddha. Tunggu dulu? Jadi, petilasan itu untuk siapa? Tentu saja, bukan untuk fanatik agama, melainkan mereka yang mengagungkan budaya leluhur. Saya tak pernah menilai sebuah ritual sebagai simbol agama, melainkan lebih menghormatinya sebagai simbol budaya. Dari sana saya bisa belajar bahwa, “Di mana bumi dipijak, di situlah langit dijunjung.” Jadi, setelah memotret Ganesa, saya tak ingin menginjak lokasi petilasan atau melewati pagar batu. Cukup di luar pagar batu, melihat Ganesa . Biarkan dewa penolak bencana itu tetap ada di sana. Jangan dikotori, jangan diusik, apalagi dijadikan objek foto bersama. Wah, Dewa lain pasti bisa marah kalau melihat saya memperlakukan hal itu pada Ganesa. Hehehehe.
sumpah saya gak tau itu tutup botol siapa 😦 |
Ganesa sendiri adalah dewa yang terkenal di kalangan umat Hindu sebagai dewa pengetahuan dan kecerdasan, dewa saat memulai pekerjaan, dewa pelindung, dewa penolak bala/bencana, dan dewa kebijaksanaan. Dari sana saya bisa tahu, kalau para peziarah itu datang untuk tirakat. Seperti yang banyak dilakukan oleh orang-orang ketika mendaki Gunung Kawi, dan berziarah di puncaknya. Biasanya, para peziarah itu tak melulu orang Hindu, tapi seperti yang sudah saya sebutkan tadi, mereka datang sebagai orang yang menjunjung tinggi budaya leluhur. Para peziarah datang untuk mencari ilham atau sekedar bertirakat ketika ingin mencapai sesuatu, misalnya ingin usaha lancar, atau sedang memiliki hajat besar. Yah, seperti itulah budaya yang dijunjung orang-orang jaman dulu, sebelum budaya tersebut berbaur dengan nilai-nilai yang lain. Selain petilasan di P29, ada juga beberapa petilasan lain yang notabene diberi nama dari cerita pewayangan, yaitu: Hyang Semar, Petilasan Abiyoso, Begawan Sakri, Lokojoyo, Dewi Kunthi, Makam Mbah Bunton, Hyang Pandan, Argojambangan, Jonggring Saloko dan Sendang Bunton. Dan menurut informasi dari salah satu teman mendaki ketike ke P29, larangan bagi para pendaki dan peziarah ketika berada di lingkungan P29 supaya tidak memakai atribut bernuansa wayang. Saya juga tak tahu alasannya. Tapi, kalau melihat dari nama-nama petilasan itu, saya jadi mengira, mungkin saja beberapa Dewa yang digambarkan dalam kisah-kisah pewayangan itu masih bersemayam di P29. Who knows? Hehehe.
Dan begitulah sedikit celoteh saya tentang P29 ini. Setelah beberapa lama punya keinginan ke sana, akhirnya tersalurkan juga. Ternyata, bukan hanya Semeru yang menjadi puncak para Dewa, melainkan juga Muria yang memiliki nilai budaya atas para Dewa itu sendiri. Untuk menjaga agar tetap seimbang, biarkanlah Dewa-Dewa tetap bersemayam di sana, tanpa diusik. [Ayu]
Leave a Reply