Bertemu Para Dewa di Muria

POSTED ON:

BY:

Dalam sebuah perjalanan, tentunya saya pernah bertemu hal-hal yang tak perlu dipaksakan. Seperti Waisak tahun ini. Saya memang ingin berkunjung ke Borobudur saat Waisak. Tapi, setelah dipikir-pikir, tak etis rasanya jika berkunjung ke tempat wisata yang seharusnya ditutup karena tempat itu juga merupakan tempat sakral bagi umat tertentu. Sakral bagi para pemeluk agama Buddha, karena di Borobudurlah mereka berdoa ketika hari raya Waisak tiba.
Miris rasanya, ketika beredar kabar di sosial media mengenai Borobudur tahun ini. Kesakralan dan ketenangan berdoa yang seharusnya didapatkan oleh para Biksu yang sedang berdoa di Borobudur jadi hilang karena ulah para pejalan, lebih tepatnya “pejalan yang tidak bertanggungjawab”. Bagaimanapun, seharusnya momen berdoa mereka itu tak menjadi konsumsi publik, karena doa-doa yang mereka layangkan ke udara mungkin saja bisa jadi tercemar oleh ulah para pejalan yang hanya ingin memotret dan mengabadikan momen berdoa para Biksu. Mereka butuh ketenangan, bukan butuh difoto. Ya, saya kira, Borobudur sudah seharusnya ditutup saja ketika Waisak. Untuk mencegah para pejalan yang mengganggu Biksu berdoa sehingga tercipta momen yang benar-benar sakral bagi para Biksu.

Tugu P29

Nah, di pertengahan Juni ini, saya malah merasakan sendiri bagaimana tak nyamannya berada di tengah orang-orang yang berdoa. Ketika berkunjung ke Muria, saya cukup terkejut, melihat puncak Songolikuryang selanjutnya saya sebut P29–begitu ramai oleh pendaki, juga beberapa peziarah yang sedang singgah. Sepertinya hal itu sudah biasa di sana. Mungkin, para pendaki itu sudah mengerti tata krama yang harus dijunjung ketika berada di P29. Para peziarah itu sangat terbuka dengan para pendaki yang notabene merupakan penduduk lokal. Mereka malah sempat sharing di warung sebelah pondokan yang bisa digunakan untuk bermalam sementara. Meski begitu, tetap saja saya merasa tak enak. Saya jadi segan waktu itu, berada di sekitar peziarah. Saya hanya duduk saja di luar pondokan sambil memasak dan menikmati langit yang jernih di P29. Sementara para peziarah mulai berdoa dan melakukan tirakat, saya nyaris tak berani mengganggu. Menoleh saja tak mau, apalagi memotret mereka? Rasanya, tidak etis kalau mengganggu para peziarah itu. Kami sama-sama sedang singgah–saya dan peziarah–sehingga saya tak mau saling ganggu atau melakukan keributan di tempat orang. Hehehehe. Yah, dan di sanalah saya benar-benar mengerti artinya responsible traveller. Nggak enak kan diusik? Ya jangan mengusik. Gituuuu… 😀

Akhirnya, daripada berada di antara para peziarah yang akan mulai berdoa, saya tidur saja di pondokan. Lagipula, P29 kala malam, semakin dingin. Angin kencang menerpa dan sepertinya lebih enak berselimut sarung di pondokan. Hehehe.

Saya mendapat informasi dari salah satu orang Pati, Mas Dany Dwia. Dia bilang sih, dulu nggak ada itu pondok di atas P29. Yang ada cuma pagar batu dengan beberapa patung di sudutnya. Ada satu pondok kecil, itu untuk menyiapkan sesaji yang akan ditaruh di depan petilasan. Salah satu patungnya adalah Ganesa. Kata Mas Dany, “Kalau dulu nggak ada pondok, sekarang ada mungkin juga karena kebutuhan para peziarah sendiri.” Oh ya, saya mengerti. Mungkin saja ada peziarah dari kota atau lokasi yang jauh dari Desa Rahtawu atau Tempur, sehingga lama kelamaan, dibutuhkan tempat singgah sementara bagi mereka. Pantasa saja, makin lama P29 makin ramai didaki. Meski begitu, sepertinya orang-orang sudah paham akan P29 mereka yang harus dijaga. Di sekeliling P29 cukup bersih. Ada toilet sederhana dan tempat sampah di beberapa sudut, sehingga kita tak perlu menyampahi tempat ziarah. Ada juga beberapa peringatan atau tulisan yang cukup terlihat di salah satu sudut pondok, sehingga orang yang lewat situ pasti bisa membacanya (tentu saja kalau tetap buang sampah sembarangan, berarti ia buta. Buta hati gitu.) :p

Tulisan bagus, tapi minus. Ada vandalisme. 😦

Oh ya. Di sini, saya menemukan patung Ganesa berada di luar kompleks petilasan, namun masih menyatu dengan pagar batunya. Jadi, ada dua ring semacam mandala. Mandala sebagai meditasi Buddha. Tunggu dulu? Jadi, petilasan itu untuk siapa? Tentu saja, bukan untuk fanatik agama, melainkan mereka yang mengagungkan budaya leluhur. Saya tak pernah menilai sebuah ritual sebagai simbol agama, melainkan lebih menghormatinya sebagai simbol budaya. Dari sana saya bisa belajar bahwa, “Di mana bumi dipijak, di situlah langit dijunjung.” Jadi, setelah memotret Ganesa, saya tak ingin menginjak lokasi petilasan atau melewati pagar batu. Cukup di luar pagar batu, melihat Ganesa . Biarkan dewa penolak bencana itu tetap ada di sana. Jangan dikotori, jangan diusik, apalagi dijadikan objek foto bersama. Wah, Dewa lain pasti bisa marah kalau melihat saya memperlakukan hal itu pada Ganesa. Hehehehe.

sumpah saya gak tau itu
tutup botol siapa 😦

Ganesa sendiri adalah dewa yang terkenal di kalangan umat Hindu sebagai dewa pengetahuan dan kecerdasan, dewa saat memulai pekerjaan, dewa pelindung, dewa penolak bala/bencana, dan dewa kebijaksanaan. Dari sana saya bisa tahu, kalau para peziarah itu datang untuk tirakat. Seperti yang banyak dilakukan oleh orang-orang ketika mendaki Gunung Kawi, dan berziarah di puncaknya. Biasanya, para peziarah itu tak melulu orang Hindu, tapi seperti yang sudah saya sebutkan tadi, mereka datang sebagai orang yang menjunjung tinggi budaya leluhur. Para peziarah datang untuk mencari ilham atau sekedar bertirakat ketika ingin mencapai sesuatu, misalnya ingin usaha lancar, atau sedang memiliki hajat besar. Yah, seperti itulah budaya yang dijunjung orang-orang jaman dulu, sebelum budaya tersebut berbaur dengan nilai-nilai yang lain. Selain petilasan di P29, ada juga beberapa petilasan lain yang notabene diberi nama dari cerita pewayangan, yaitu: Hyang Semar, Petilasan Abiyoso, Begawan Sakri, Lokojoyo, Dewi Kunthi, Makam Mbah Bunton, Hyang Pandan, Argojambangan, Jonggring Saloko dan Sendang Bunton. Dan menurut informasi dari salah satu teman mendaki ketike ke P29, larangan bagi para pendaki dan peziarah ketika berada di lingkungan P29 supaya tidak memakai atribut bernuansa wayang. Saya juga tak tahu alasannya. Tapi, kalau melihat dari nama-nama petilasan itu, saya jadi mengira, mungkin saja beberapa Dewa yang digambarkan dalam kisah-kisah pewayangan itu masih bersemayam di P29. Who knows? Hehehe.

Dan begitulah sedikit celoteh saya tentang P29 ini. Setelah beberapa lama punya keinginan ke sana, akhirnya tersalurkan juga. Ternyata, bukan hanya Semeru yang menjadi puncak para Dewa, melainkan juga Muria yang memiliki nilai budaya atas para Dewa itu sendiri. Untuk menjaga agar tetap seimbang, biarkanlah Dewa-Dewa tetap bersemayam di sana, tanpa diusik. [Ayu]



Related posts

17 responses to “Bertemu Para Dewa di Muria”

  1.  Avatar

    @Dee An waduh… emang gak apa-apa tuh mbak? 😀

    Like

  2.  Avatar
    Anonymous

    bagus catatnya teh.. kebetulan saya dari pati. mirip merbabu,puncaknya ada beberapa dan p29 itu yg plg tinggi. mirip lawu,ada warung di atasnya. dan soal dewa2 itu,berkaitan dgn kepercayaan “kejawen”/islam kejawen bagi beberpa pengikutnya. maklum,pati lumyan banyak paranoemalnya,hehehe

    Like

  3.  Avatar
    Anonymous

    bagus catatnya teh.. kebetulan saya dari pati. mirip merbabu,puncaknya ada beberapa dan p29 itu yg plg tinggi. mirip lawu,ada warung di atasnya. dan soal dewa2 itu,berkaitan dgn kepercayaan “kejawen”/islam kejawen bagi beberpa pengikutnya. maklum,pati lumyan banyak paranoemalnya,hehehe

    Like

  4.  Avatar

    Waktu aku ke Gunung Muria ama suami, gak nyadar kalo ternyata lagi hamil 3 bulan… hehehe…Akhirnya anak keduaku kukasih nama Annisa Shaquila Muria.

    Like

  5.  Avatar

    @Anggafirdy wah… pasti asyik ya… 😀

    Like

  6.  Avatar

    Semasa saya tinggal di Jepara, gunung ini jadi background halaman belakang rumah kami.

    Like

  7.  Avatar

    Keren ihhhhh….

    Like

  8.  Avatar

    @cumilebay.com cara menggalinya itu kan macem-macem. heeee… tapi, selebihnya sih saya gak pernah ngusik, meski tetap harus menggali. :DSalam Bang.

    Like

  9.  Avatar

    menjadi responsible trveler itu jadi tantangan dan godaan nya berat banget. Karena biasa nya banyak objek yg mesti di gali tapi kita hanya bisa memandang berdiam …. SALUT

    Like

  10.  Avatar

    @Bekabuluh wahahaha. iyaaaa. aduh itu aib, disebutin deh aibnya. wkwkwkwk. 😀

    Like

  11.  Avatar

    bangga deh sama mantan vandal yang sekarang jadi responsible traveler ini 😀

    Like

  12.  Avatar

    @DebbZie Leksono ayooo manjat gunung kak. 😀

    Like

  13.  Avatar

    @Indra Setiawan wah… review dong Bang… 😀 hehehe. belum pernah nonton. :/

    Like

  14.  Avatar

    Sayangnya di Indonesia masih banyak pejalan yang hanya mau menikmati keindahan alam tanpa mau peduli untuk menjaga kelestariannya. Miris aja sih liatnya :(Baru tau nih di Muria ada tempat dewa-dewa. Beneran harus belajar manjat gunung nih, hihihi 😀

    Like

  15.  Avatar

    liat foto pertama langsung ingat film katmapala dulu..:-D

    Like

Leave a reply to Anonymous Cancel reply

Search


Out Now!


Click banner to buy Not for IT Folks with discount!

Recent Posts


Tags


7 Divisi (7) Advertorial (4) Album Review (4) Antologi Ayu Welirang (4) Antologi HISTERY (2) Ayubacabaca (64) Ayu Welirang's Bibliography (11) BS-ing everyday (8) Buku (65) Cabaca (3) Central Java (14) Cerita Detektif (7) Cerita Investigasi (4) Cerita Persahabatan (2) Cerpen (10) Cerpen dari Lagu (5) Drama (6) Editing Works (3) Februari Ecstasy (2) Fiksi Kriminal (3) Forest Park (2) Go Kory Go! (2) Got Money Problem? (4) Halo Tifa (3) Heritage Sites (4) Hiking Journal (10) Hitchhike (4) Horror (3) Indonesia (37) Interview (2) Jakarta (10) John Steinbeck (3) Journal (19) Kopi (2) Kuliner (3) Kumcer (11) Latar Novel (2) Lifehacks (3) Living (4) Local Drinks (4) Local Foods and Snacks (5) Mata Pena (4) Media Archive (4) Menulis Adegan (2) Metropop (8) Mixtape (4) Mountain (18) Museum (2) Music Playlist (7) Music Review (4) My Published Works (15) NgomonginSeries (6) Nonton (6) Not for IT Folks (3) Novel Keroyokan (2) Novel Kriminal (4) Novel Thriller (4) On Bike (3) On Foot (4) On Writing (25) Pameran (2) Panca dan Erika (3) perjalanan dalam kota (3) Photo Journal (12) Potongan Novel Ayu Welirang (3) Publishing News (3) Review (75) Riset Tulisan (2) Santai (10) Sayembara-Novel-DKJ (3) Sci-fi (6) Sequel (4) Serial Detektif (2) Series Review (6) Short Stories (11) Sumatera (3) talk about living my life (3) Teen Fiction (2) TeenLit (2) Tentang Menerbitkan Buku (7) Terjemahan (6) Things to do in Jakarta (4) Thriller (8) Tips (35) Tips Menulis (28) to live or not to live (6) Translation Works (6) Travel Guide (3) Traveling (4) Travel Notes (2) Travel Stuff (2) Waterfalls (2) Wedding Preparation (5) Wedding Vendor Bandung (3) West Java (15) Worldbuilding Novel (2) Writing for Beginner (27) Writing Ideas (17) Writing Journal (38) Writing Prompt (9)

Newsletter


Create a website or blog at WordPress.com