Jelajah Muria |
Dulu sekali, ketika saya masih suka membaca buku seputar pewayangan, sejarah, dan bagaimana Wali Songo menyebarkan agama Islam di dataran Jawa ini, saya sempat memiliki keinginan untuk menengok salah satu makam Sunan yang terletak di antara Kudus, Pati, dan Jepara. Sunan Muria dimakamkan di salah satu puncak yang berada pada gugusan pegunungan Muria. Waktu itu, racun atas gunung tersebut juga saya dapatkan dari kakak dan istrinya yang tinggal di Pati. Nah, berhubung pekerjaan saya lumayan sibuk, jadi untuk merealisasikan perjalanan ke tempat-tempat asing di Indonesia, masih harus dicicil dulu.
Beruntung, ada yang mengajak untuk ke sana. Teman saya Rizal, berencana untuk mampir ke Gunung Muria. Nah, impian saya untuk menengok makam Sunan Muria, akhirnya datang juga. Tiket menuju Semarang sudah dipesankan oleh teman saya itu, meskipun duduk di gerbong paling belakang, sendirian. Terpisah dari Rizal dan beberapa orang lain yang juga ikut dalam perjalanan kali ini. Jadi, rasa lapar saya dan juga rasa haus karena tak sempat mampir ke minimarket, saya tahan saja. Terpisah 6 gerbong di kereta bukan perkara mudah, karena untuk berjalan ke gerbong 2 saja sudah susah payah. Ya sudahlah. Toh, perjalanan ke Semarang tidak lama seperti mau ke Malang atau Surabaya. Hehehe.
![]() |
Semarang Poncol (jepretan Om Jenggot) |
Pagi hari, sekitar pukul enam (saya agak lupa), kami sampai di stasiun Semarang Poncol. Packing ulang barang, lalu menyelesaikan apa yang musti diselesaikan. Setelahnya, kami langsung menuju ke luar stasiun, mencari angkutan yang akan membawa kami ke Terminal Terboyo, untuk selanjutnya menyambung bis Nusantara menuju karesidenan Pati. Hehehehe. Nah, di sini saya hubungi kakak saya, untuk bertatap muka ala kadarnya saja, mengingat saya juga tak bisa lama-lama berada di kota itu. Terjerat itinerary dan jalur Pantura yang kemungkinan akan padat pada saat pulang. Hiks. 😦
Sampai Terboyo, bertemu dua orang lagi, Andre dan Aga. Dua kawan saya yang masih berstatus mahasiswa tingkat akhir (tapi nggak juga berakhir), di Universitas Diponegoro. Hahahaha. Sudah lengkap tim kami, langsung saja kami menaiki bus Nusantara menuju Pati. Kurang lebih satu jam perjalanan (dengan saya yang tertidur sepanjang perjalanan), kami sampai di Pati. Di sini, kami sarapan dulu sebelum nanti berpanas-panas ria untuk tracking menuju P29. Ah ya, di sini saya agak sedih dan kecewa, sebab kami ternyata akan mengunjungi P29 bukan Puncak Muria. Waktu dikabari mas Dolly sebagai kuncen kami (hehe), ternyata kalau mau ke Muria, itu gunungnya berbeda, dan waktu tempuhnya bakal lebih lama daripada P29. Ya sudahlah, tak apa. Akhirnya dengan berat hati, saya sarapan Nasi Gandul pedas ditambah telur. Agak-agak kayak gudeg Jogja gitu deeh rasanya. Kecewa aja masih bisa makan banyak, gimana kalo nggak kecewa? Hehehe. 😛
![]() |
Nasi Gandul Terminal Pati (jepretan Om Jenggot) |
Setelah makan, kami langsung mencari elf yang akan membawa kami ke Tayu. Perjalanan memakan waktu kurang lebih 45 menit (saya tak menghitungnya dengan pasti, tapi lumayan jauh juga). Sampai Tayu, mengisi logistik di minimarket juga bahan bakar, sambil menunggu negosiasi angkutan berikutnya yang akan membawa kami ke jalur awal pendakian. Di sini, desas-desus beredar. Jalur menuju gerbang pendakian Muria di Tempur agaknya cukup menanjak, dan salah satu anggota tim bergumam, “Wah, kalau sampai ini angkot keguling lagi kayak dulu, ngeri juga sih.”
Wah wah wah… Separah itukah? Hmmm, saya jadi ngeri sendiri.
![]() |
Ilustrasi Angkot Keguling – Muria 2012 (dok. by Om Jenggot) |
Untungnya, kami dapat angkutan yang paten. Dengan biaya Rp 150.000 sekali jalan, Bapak supir membawa kami menyusuri lereng gunung Muria yang indah, dengan sawah-sawah bertingkat dan aliran sungai yang masih jernih. Indah. Dikeliling pegunungan hijau yang tak mungkin saya dapatkan di Jakarta. Dan saya patut bersyukur, karena meskipun tak mampir ke makam Sunan Muria, saya masih bisa menyambangi keindahan Indonesia yang lainnya.
![]() |
angkot paten 😀 |
![]() |
terasering Desa Tempur |
![]() |
sungai mini yang mengalir jernih ~ |
Sampai di Tempur pun, saya disuguhi pemandangan yang lebih memukau lagi. Bukan, bukan bentangan alam yang memukau, melainkan demokrasi dan toleransi antar umat beragama yang sangat tinggi. Di Tempur, baru sekali ini saya mendapati sebuah Mesjid berhadapan dengan Gereja, dan bersisian dengan Vihara. Meski berbeda begitu, tak ada tanda-tanda mereka–warga Tempur–saling menghujat atau saling membunuh. Semua tentram, semua damai.
![]() |
Kiri: Gereja, berhadapan dengan Mesjid, dan bersisian dengan Vihara – toleransi yang manis |
Sekitar pukul setengah dua siang (tak tahu pasti ketepatannya, saya lupa menghitung), kami mulai berjalan menyusuri lereng dan kebun warga. Di kanan kiri hamparan sawah dan pagar hijau terbentang. Saya terus berjalan menyusuri tanjakan berbatu yang sudah demikian baik tertata. Tujuan pertama kami adalah sungai jernih sebagai checkpoint pertama. Di sana, nanti kami akan makan siang dan minum seadanya, sebelum kemudian melanjutkan kembali perjalanan. Tanjakan konstan yang harus kami lalui cukup “aduhai” dengan matahari tepat di atas kepala. Huhuhuuuu.
![]() |
yuks jalan! 😀 |
Setelah selesai makan siang, kami melanjutkan perjalanan. Kali ini, tanjakan mulai membuat saya lelah juga. Mulai jalan di depan agar bisa mengatur pace yang lebih baik, sebab kalau saya jalan di belakang, saya tidak kuat menahan beban badan sendiri kalau-kalau yang depan saya tiba-tiba memberhentikan langkahnya. Nah, kurang lebih menjelang Ashar, teman-teman istirahat lagi, dan saya berjalan sendirian mencoba untuk menyusul dua mahasiswa abadi yang sudah berjalan di depan. Ternyata, langkah mereka seperti terbang. Saya nyaris tak bisa mengejar mereka. Huhuhu. Saya cuma takut kemalaman di tengah jalur dan sendirian. Masalahnya bukan karena takut bertemu sesuatu yang tak diinginkan, melainkan karena saya lupa tak membawa senter atau headlamp dan jalur-jalur bercabang yang memungkin saya untuk ‘nyasar’ ke belahan kota Kudus. Hahahaha. Jadi, saya mempercepat langkah, meskipun pada jam lima sore saya masih belum menemukan tanda-tanda Andre dan Aga.
Saya mulai panik ketika saya terus menanjak dan menemukan kompleks petilasan, lengkap dengan rumah-rumah sederhana dan sapu ijuknya. “Aduh, mati deh gue,” begitu gumam saya dalam hati, sebab saya ini orang yang cukup sensitif juga dengan hal berbau astral. Hahaha. Tapi, saya tak hiraukan itu. Setelah berkata, “Pamit Mbah,” entah pada apa, saya terus berjalan menyusuri tangga-tangga batu. Beruntunglah saya, ketika jam sudah menunjukkan pukul enam kurang lima belas menit, saya menemukan Andre dan Aga tengah menanjak terus di atas saya.
Saya memanggil dan Andre menengok. Setelah saya katakan bahwa sejak sore tadi saya hanya berjalan sendirian, maka dia pun menunggu saya di atas. Saya percepat langkah, meski kaki saya sudah tak mau diajak menanjak. Ya sudahlah, resiko mengejar dengkul dewa. Untungnya, setelah mencapai mereka, saya bisa istirahat sejenak karena waktu sampai, tepat Maghrib melewati kami. Makanya, kami berhenti dulu sampai adzan kemungkinan berhenti. Biasa lah, ‘makhluk’ Maghrib kan suka iseng.
Menunggu Maghrib di tanjakan aduhai menuju P29 |
Ternyata, menuju P29 dengan ketinggian 1602mdpl bukanlah hal yang mudah. Terbukti ketika saya berhasil menjangkau Andre dan Aga, kaki saya makin berat. Saya paksakan saja berjalan. Dari atas, sudah riuh terdengar suara pendaki lain yang juga sedang sowan ke Muria. Saya merasa disemangati. Dalam hati saya ingin marah-marah atau menangis, tapi buat apa? Toh, sedikit lagi sampai atas dan saya tidak boleh menyerah. Andre yang menerangi jalan saya dengan senter terus berkata, “Sedikit lagi tuh Yu, udah keliatan itu pondokannya.”
Ya sudah, sambil menghela nafas malas, saya paksakan kaki ini terus berjalan. Sekitar lima belas menit dari tempat saya menjangkau Andre tadi, gapura P29 sudah terlihat. Saya langsung tancap dengkul saya dengan gigi 1. Harus sampai! Harus! Masa iya sih jadi lemah begini? Hahahaha. Dan akhirnya, saya sampai di gapura, disambut oleh pendaki lain yang sudah bersarung, minum kopi, merokok, dan menikmati supermoon.
![]() |
Malam, masak pisang goreng, liat supermoon 😀 (maaf gambar kurang oke, kamera seadanya) |
Di sini ada pondokan, jadi tak perlu membawa tenda. Ada warung juga, dimana kita bisa membeli makanan dan minuman. Meski begitu, logistik tetap kami bawa. Prinsip mendaki itu, selain nenda sudah pasti masak! Nah, jadi, sekarang tinggal cari pondokan yang masih kosong dan… mari masaaaaaaaaaak! \m/
Masak sambil menghangatkan diri dari kabut dan angin Puncak 29 (songo likur) yang cukup membuat kami bergidik kedinginan. Malam itu, ada beberapa peziarah yang sedang berkunjung, mendaki Gunung Muria untuk berdoa di petilasan yang disediakan. Kami bukannya tak menghiraukan, hanya saja tujuan pendakian seseorang memang berbeda-beda bukan? Kami lanjutkan masak-memasak sambil bercerita hal-hal yang mistis. Duh… Tiba-tiba saja angin dingin menyapa tengkuk saya, dan membuat saya merapatkan diri di dalam sarung yang saya bawa. “Mas Dolly, dingin euy! Mepet ah!” kata saya ketika itu. Hehehehe. (Padahal aslinya mah, takuuuuuuut).
Setelah masak, satu per satu anggota tim pendakian, tumbang. Masuk ke pondok dan tidur di masing-masing sleeping bag mereka yang menghangatkan. Sementara, saya, Mas Dolly, Uni Wiwik, Kang Jenggot, Andre, Aga, dan Rizal masih setia duduk di atas matras, menikmati kopi dan dinginnya Muria. Berhubung makin malam makin dingin, makin sepi dan mencekam saja suasana, kami putuskan untuk tidur juga. Mas Dolly ketika itu tidur di luar. Memang luar biasa Mas yang satu itu, namanya juga sering bulak-balik P29, jadi sudah biasa. Hehehe.
Pagi yang dingin, berselimut kabut…
Pagi sekitar pukul enam, saya bangun. Langsung keluar untuk berkeliling, sembari mencari sendal saya yang entah hilang kemana. Huhu. Ternyata, setelah berjalan jauh sampai ke bebatuan P29, sendalnya ada di bawah papan pondokan. Duh, nasib nasib. Nggak apa-apa sih, jadi kan saya sudah terlanjur jalan-jalan pagi. Dapat beberapa foto kabut dan awan. –“
hello, morning! |
Kembali ke lokasi di depan pondok, saya dan Mas Dolly masak pagi hari. Masak mie rebus dan beberapa gelas kopi. Hehehe. Ngopi adalah ritual yang paling wajib ketika berada di ketinggian. \=D/
![]() |
full team 😀 |
Sudah ngopi, saya langsung packing. Sebab di Muria mulai panas ketika siang, saya packing duluan. Setelah foto-foto bersama, saya, Andre, Aga, Mas Dolly dan kawannya, turun lebih dahulu. Tim yang lain masih berada dalam euforia dan foto-foto. Sebab saya lapar dan cuaca mulai panas, saya ikuti lagi dua dengkul dewa itu. Awan tidak meneduhkan, karena memang tak ada awan. Akhirnya, setelah berjalan turun ke arah desa Rahtawu selama 2,5 jam (atau mungkin lebih, saya juga lupa), kami pun sampai. Sampai Rahtawu, langsung cari makan dan tukang es yang segar. Hehehe. Menunggu yang lain di pos ronda, cukup lama juga saya tertidur. Yah, yang lain lama sekali. 😦
Satu jam berselang, yang lain sampai. Kami pun segera menaiki mobil pick up yang sudah dipesan sebelumnya. Dan inilah kami, dalam perjalanan pulang. Perjalanan kami menaiki mobil pick up untuk selanjutnya melanjutkan perjalanan menelusuri kota Kudus, sampai pada pangkalan bis Nusantara menuju Semarang, dan kembali mengikis bahagia selama dua hari saat tiba di Jakarta.
Notes:
Rincian biaya menuju Gn. Muria per 1 orang
- Kereta Tawang Jaya, Ps. Senen – Semarang Poncol PP Rp 160.000,-
- Bis Nusantara Semarang – Kudus PP Rp 20.000,-
- Carter Angkutan ke jalur pendakian PP Rp 10.000,-
- Carter pick up turun @ Rp 10.000,-
- Total biaya rata-rata per orang Rp 200.000,- (belum termasuk logistik dan jajan)
Leave a Reply