Judul: Nostalgia Merah (A Gardi Prima’s Inverted Detective Story #1)
Penulis: M. Fadli
Tahun Terbit: 2018
Penerbit: Maneno Books
Tebal: 270 halaman, paperback
ISBN: 9786025304927
“Menurut Tante sebagai penggemarnya, apa yang dilakukan Sherlock Holmes, jika sahabatnya, Dr. Watson melakukan kejahatan? Apa dia akan menangkapnya atau membiarkannya bebas?”
Tante Sofia hanya menatap acuh dan polwan itu pun membalas, “Jangan mikir yang aneh-aneh.”
***
Entah apa yang dipikirkan Tirta Firmansyah saat mengakhiri hidup Stella Jelita. Pembunuhan yang ia lakukan dalam acara reuni di atas kapal tentu berisiko tinggi. Apalagi sahabatnya memiliki observasi unggul dan anti terhadap tindak kriminal.
Di sisi lain, tewasnya sang primadona sekolah, membuat pria lulusan kriminologi bernama Gardi Prima harus turun tangan. Secara perlahan, ia menelusuri satu demi satu petunjuk dari masing-masing peserta reuni lainnya. Namun, ketika semua bukti mengarah kepada sahabat yang sudah seperti saudara baginya, ia pun dilanda dilema. Mampukah ia mengungkap kasus pembunuhan tersebut? Apakah sang detektif mampu menyerahkan sahabat terbaiknya ke tangan hukum atau justru membiarkannya melenggang bebas?
***
Harusnya ulasan novel ini saya rilis minggu lalu. Namun, karena sibuk membicarakan genre detektif di Post Santa, lalu mengisi bincang-bincang genre fiksi kriminal pula di Festival Literasi Tangerang Selatan, akhirnya ulasan novel ini baru rilis.
Saya sudah membaca novel ini berulang kali, dan saya cukup amazed dengan betapa mendalamnya Bang Fadli kala menulis novel ini. Nostalgia Merah ditulis dengan menggabungkan berbagai riset, mulai dari riset tentang investigasi polisi di luar yurisdiksi, proses undercover untuk menangkap jaringan “senjata ilegal”, bahkan ilmu-ilmu kriminologi yang konon telah dipelajari penulis dari buku “Memahami Pembunuhan” oleh salah satu kriminolog.
Memang, tidak bisa dipungkiri, sebagai pecinta literatur fiksi kriminal dan penggagas Komunitas Detectives ID, Bang Fadli bisa dibilang jadi orang yang paling tahu apakah itu genre detektif. Setiap beliau cerita, mulai dari tokoh Dupin-nya Edgar Allan Poe yang masuk era “Genesis”, sampai era modern, Bang Fadli sudah sangat menguasai.
Jadi, saya tidak heran, ketika beliau menulis novel detektif, hasilnya pasti memuaskan.
Salah satu rule atau aturan penulisan cerita detektif adalah, adanya fair play kepada pembaca. Petunjuk dan misteri yang disajikan, haruslah adil untuk pembaca. Konon, Bang Fadli bilang bahwa aturan tersebut adalah bentuk interaksi penulis detektif dengan pembacanya. Jika pembaca berhasil menebak petunjuk dalam novel, maka pembaca menang. Jika tidak, maka pembaca belum bisa mengungguli sang penulis. Aturan ini menjadi salah satu momok mengerikan bagi penulis detektif, sebab membuat cerita detektif yang fair play, tentu sangatlah sulit. Terlebih lagi, penulis detektif harus memikirkan hal lain di samping petunjuk, yaitu alur cerita, tokoh-tokoh, motif pelaku, hingga latar belakang terjadinya suatu kejahatan dan bagaimana kriminolog memandang fenomena tersebut.
Genre detektif sangatlah berbeda dengan thriller yang umumnya memakai teknik foreshadow. Oleh karena itu, membaca genre detektif perlu berpikir lebih keras, karena jika tidak, petunjuk akan terlewat.
Sepanjang saya membaca Nostalgia Merah, saya menikmati bagaimana Bang Fadli menjalin dialog dan deskripsi suasana serta tambahan informasi lain sebagai bentuk trivia yang bahkan sebagian orang mungkin belum tahu. Di awal cerita, sebelum masuk pada kasus utama yang disuguhkan, kita sudah menemukan informasi menarik seputar teka-teki “gajah”.
Novel Nostalgia Merah mengusung genre inverted detective story, suatu sub genre detektif yang berbeda dengan tipikal whodunit. Whodunit mungkin bisa kalian temukan di hampir sebagian besar cerita detektif era Golden Age, karya-karya Agatha Christie, karya-karya Sir Arthur Conan Doyle, dan beberapa cerita detektif lainnya.
Genre inverted atau howcatchem / whydunit ini sendiri, konon awal ditemukannya adalah lewat
The Singing Bone (1912) karya R. Austin Freeman. Dulu, Freeman membuat cerita yang dibagi ke dalam dua bagian, pertama untuk mengungkap fakta-fakta kasus kejahatannya di awal, berikut pelakunya. Sementara pembaca bertanya-tanya, “Apa yang tersisa dari cerita inverted kalau begitu? Kita toh sudah tahu pelaku dan bagaimana cara melakukan kejahatannya,” tentu saja Freeman membuat bagian dua yang berisi investigasinya. Hal inilah yang dikatakan menjadi suatu penemuan baru, atau suatu “materi” baru dengan struktur baru pula.
Sejak kemunculan The Singing Bone, mulai muncul banyak cerita dari subgenre ini, salah satunya yang populer adalah serial klasik yang pernah tayang di TVRI, Columbo.
Hampir mirip seperti karya Freeman itu, Nostalgia Merah memakai format tiga bagian. Bagian pertama adalah untuk awal kisah, bagian dua mulainya tragedi dan investigasi, serta bagian tiga ada penyelesaian berikut side dish yang ditawarkan. Kenapa ada “makanan pendamping” ini? Karena saya tahu, bahwa Bang Fadli juga menulis cerita hardboiled dengan tokoh Tony Yahya, dan cerita sampingan ini mungkin dibuat untuk kecintaannya pada genre detektif yang lebih realistis itu.
Bagi teman-teman yang mau mulai membaca genre detektif, mungkin perlu menjelajahi genre lain yang tidak hanya whodunit. Berhubung buku-buku luar dan klasik pasti sudah banyak bertebaran, maka kalian harus juga mencoba buku dari penulis Indonesia. Dari sana, kalian baru akan tahu, bahwa genre detektif sedang berusaha untuk bangkit dan menuju Golden Age lagi. Semoga penulis Indonesia lainnya lebih banyak menulis buku-buku genre detektif untuk meramaikan khazanah fiksi kriminal di Indonesia.
Oh ya, dengar-dengar, Nostalgia Merah ini menjadi seri pertama dari kelompok serial “Gardi Prima’s Inverted Detective Story”. Saya jadi tidak sabar ingin menunggu kiprah Gardi Prima selanjutnya. Penasaran sekaligus ingin tahu, kasus apa lagi yang akan coba disajikan oleh Bang Fadli yang begitu menyukai literatur detektif.
Lima bintang untuk buku keren ini! Semangat Bang Fadli!
Leave a Reply