Penulis: Andhyka C. Adhitama
Tahun Terbit: 2018
Penerbit: Maneno Books
Tebal: 266 halaman, paperback
ISBN: 9786025304903
Seorang konglomerat Belanda ditemukan tewas dalam ruangan yang akan digunakan sebagai lokasi rapat finalisasi desain renovasi Lawang Sewu. Jenazahnya telentang dengan mata terbelalak. Lukisan Lawang Sewu dianggap sebagai senjata pembunuhan.
Donna Veranda dan temannya, Al, berada di lokasi saat sedang meliput untuk saluran Youtube tempat ia bekerja sebagai wartawan wisata. Mau tak mau, ia harus ikut menyelesaikan misteri pembunuhan itu agar tak kembali menjadi pengangguran.
Bersama Al dan Inspektur Sudar, Veranda menelusuri fakta lewat kerabat konglomerat dan menyingkap tabir dalam keluarga mereka. Mampukah Donna Veranda menyelesaikan kasus dan terbang sebagai Sang Merpati?
***
Terlepas dari ketidakjelian penyelaras aksara (yang mana adalah teman saya) dan ketidakjelian saya sebagai editornya (di beberapa halaman masih saja ada yang miss, maafkan yaa pembaca), novel ini menyajikan kisah drama, campur cerita keluarga, campur teka-teki yang umum dan lumrah ada dalam novel detektif.
Tokohnya juga perempuan, bukan tokoh detektif yang rata-rata pria. Membaca ini pada awalnya, si tokoh DoVe mengingatkan saya pada Veronica Mars. Adanya sidekick bernama Al, membuat novel ini jadi berbeda, tentu saja. Kita disuguhkan tokoh yang serius dan selalu tidak tenang jika kebenaran tidak terungkap, tetapi tokoh ini jadi manusiawi karena ada seorang sahabat baik. Inilah yang umum pula dalam cerita detektif dengan tokoh duo, bukan tokoh individualis atau lone wolf.
Secara teka-teki, puzzle-nya sudah disebar di setiap bab, tetapi pemahaman dan persepsi pembaca pasti akan dibuat berbeda. Kenapa? Karena setiap orang memiliki motif tersendiri untuk membunuh. Karena hal inilah saya jadi ingat kasus-kasus Detective Conan, di mana si detektif itu berpikir si A pembunuh, si B pembunuh, dan ternyata pembunuhnya adalah siapa? Wkwk.
Dalam kasus siapa pembunuhnya, Dhyka menggunakan teknik plot device “least likely suspect”, di mana kita tidak akan duga bahwa pembunuhnya adalah …..
Saya sarankan kalian membaca buku ini, karena buku ini termasuk ringan, bukan cerita detektif yang tergolong berat dan membuat malas membacanya. Buku ini juga jalinan ceritanya runut dan rapi, dan saya cukup kaget karena ini adalah buku pertama yang penulisnya terbitkan. Sepertinya, penulis memang terlahir untuk membuat cerita-cerita yang ringan dibaca, tetapi tetap bikin pembaca berpikir.
Jadi, buat pembaca muda, yang mungkin ingin mencari alternatif bacaan lainnya, buku ini bisa menjadi salah satu yang kalian cari itu. Buku ini mencakup berbagai aspek sebuah buku untuk pasar “young adult”. Ada dramanya, romantisnya, cerita keluarganya, dan yang pasti teka-teki untuk membuat kalian berpikir.
- Terlalu panjangnya dialog sehingga terkadang menimbulkan kesan bahwa tokoh Veranda ini terlalu senang bermonolog atau bicara sendiri. Dia tidak mencoba untuk tek-tok dialog dengan orang yang diajaknya bicara.
- Terkait nomor satu, memang sulit untuk membuat dialog-dialog segar dan pendek ketika kita sedang menginterogasi seseorang. Namun, hal ini bisa dikurangi dengan cara menambahkan narasi latar atau narasi suasana dan memotong kata-kata Veranda dalam dialog-dialog pendek.
- Kurangnya deskripsi tentang tempat itu sendiri. Namun, hal ini masih bisa dimaafkan dengan adanya plot device MacGuffin yang dialamatkan pada si lukisan.
Leave a Reply