Judul: Sophismata
Penulis: Alanda Kariza
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Terbit: 12 Juni 2017
Tebal: 272 halaman, paperback
ISBN: 9786020356747
What happens when you dislike politicians so much, yet you fall in love with one?
Meski sudah tiga tahun bekerja sebagai staf seorang Anggota DPR, Sigi tidak juga bisa menyukai politik. Ia hanya ingin belajar dari atasannya itu, mantan aktivis 1998 yang sejak lama ia idolakan. Dan ia juga berharap ia bisa segera dipromosikan menjadi tenaga ahli. Tetapi, semakin hari ia justru dipaksa menghadapi berbagai intrik yang baginya menggelikan. Hingga ia bertemu lagi dengan Timur, seniornya di SMA yang begitu bersemangat mendirikan partai politik. Cara pria itu membicarakan ambisinya menarik perhatian Sigi. Perlahan Sigi menyadari bahwa tidak semua politisi seburuk yang ia pikir.
***
Ini novel percintaan bermuatan politik pertama yang saya baca. Novel lain memang ada juga sih yang bermuatan politik, tapi agak lebih berat dan lebih menekankan ke politiknya daripada konflik personal si tokoh. Nah, di novel ini, konflik personal berputar dalam tokoh utama bernama Sigi. Secara garis besar, saya hanya bisa memberikan bintang 4, itu juga setelah saya bulatkan dari 3.5, karena beberapa pertimbangan tambahan.
Ada beberapa yang saya kurang sreg sih, sebenarnya karena ini isinya tentang politik, seharusnya Mbak Alanda lebih paham lagi bahwa antara tingkat Legislatif (di mana Sigi bekerja sebagai staf administrasi) dan keinginan Sigi bekerja yaitu tingkat lembaga Eksekutif, semuanya merupakan suprastruktur politik.
Jadi, saya agak sedikit melongo ketika Sigi bilang dia mau bergerak ke jenjang lain yang lebih tinggi atau lebih bisa memberikan kontribusi bagi negara. Itu alasan yang agak klise. Jelas-jelas kalau “legislatif” dan “eksekutif” itu sama-sama suprastruktur politik yang menopang kegiatan pemerintahan, jadi seharusnya nggak perlu dibeda-bedakan (kecuali perbedaan pada tingkat pendapatan saja). Kalau masalahnya cuma pendapatan, Sigi tinggal bilang saja kan sama Timur, Cipta, dan Johar, “Kerja sama JS, gajinya nggak sepadan. Saya pengen naik ke jenjang yang lebih tinggi, demi alasan karir dan tentunya pendapatan yang lebih layak.” (Mungkin, ini jawaban saya kalau ditanya kenapa pengen pindah ke staf kepresidenan. Hehe.)
Hal kedua yang saya kurang sreg adalah ketidaksukaan Sigi terhadap politik, namun di judul itu disebutkan kalau ia tidak suka ‘politisi’. Antara politik dan politisi ini sudah berbeda secara teks dan konteks. Jadi, apakah Sigi memang memutuskan menarik diri dari politik dan menjadi apatis, atau Sigi masih bisa berkompromi dengan ‘intrik politik’ dari politisi tertentu? Saya juga bingung, kenapa Sigi bisa dengan mudah memilih kerja di DPR, padahal dia tidak suka politik atau politisi? Lebih anehnya lagi, dia mengidolakan mantan aktivis ’98, yang kini menjadi bosnya, yaitu Johar Sancoyo (JS). Beliau kan politisi, wahai Sigi.
Chemistry hubungan antara Sigi dan Timur juga terlalu buru-buru, walau bisa dibilang mungkin memang awal hubungan mereka adalah efek instan pasca minum alkohol. Semua terasa blur, terasa sureal seperti yang Sigi katakan. Mungkin memang diawali nostalgia masa SMA, ditambah mereka kini bekerja di dunia yang hampir sama–yaitu dunia politik, dan kecerdasan Sigi yang tergambarkan dari hobinya membaca 1984 punya George Orwell di kantin sekolah SMA, yang membuat Timur suka sama Sigi. Saya menyimpulkan, Timur ini sih, sudah suka Sigi dari dulu dan bisa langsung suka kembali saat bertemu dengan Sigi di tempat yang tidak disangka-sangka, terlebih lagi Timur sering menyebutkan kalau mempunyai pasangan yang bisa diajak ngobrol berat itu memang utopia buatnya.
Kekurangan lain ada di beberapa typo atau penulisan kata yang saya pikir tidak seharusnya ada di situ. Iya, saya memang detail sekali dalam membaca Sophismata ini, karena tidak ada satu pun paragraf atau kalimat yang saya hindari. Saya cukup menyukai alur novel ini, sehingga tidak membaca ala skimming. Selain itu, kekurangan lainnya ada di ujung-ujung buku yang saat baru saya buka, saya pikir ada noda tinta.
Terlepas dari beberapa kekurangan itu, ada beberapa poin yang saya suka. Timur yang menghormati wanita banget dan penggambaran realita bahwa di Indonesia ini, semua masih didominasi oleh lelaki. Budaya patriarki masih sangat kental, di mana dalam sistem sosial negara kita, laki-laki masih dominan dan bebas menganggap remeh perempuan. Peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial, dan tingkat pendidikan masih menjadi pertimbangan absolut dalam memilih partisipasi juga pekerjaan perempuan. Hal ini digambarkan dalam keluh kesah Sigi pada Timur, di mana Timur menimpalinya dengan sangat tenang dan tak menghakimi. Timur sukses mencuri hati saya sebagai pembaca, dengan sifatnya itu.
Hal lainnya adalah penggunaan istilah-istilah politik dan bagaimana sistem kerja di Komisi DPR tertuang dalam novel ini. Sedikit banyak, sebagai masyarakat awam yang tidak tahu-menahu bagian dalam lembaga negara, jadi bisa sedikit mengintip pekerjaan para anggota dewan itu. Saya jadi sedikit bergumam, “Oh, ternyata ada juga yang kerja seperti JS.” Ya walau ujung-ujungnya, program koperasi JS hanya untuk kendaraannya menjadi Menteri. Sedikit kecewa sama JS, tapi ya sudahlah. Namanya juga politisi.
Sisipan tentang filosofi dalam membuat kue juga teriring dengan baik pada alur dalam novel ini. Jadi, kita seolah dibuat rehat sekejap, setelah menelan istilah-istilah politik yang ada.
Novel ini, seperti mewakili pandangan milenial akan politik. Ada yang kontra dan apatis, seperti Sigi yang mewakili sebagian besar milenial. Sedangkan, ada juga yang masih ingin perubahan signifikan di Indonesia, seperti Timur. Sedangkan JS dan Cipta, semuanya adalah generasi tua yang nantinya digantikan oleh generasi muda seperti Timur. Novel ini, seperti yang dikatakan Salman Aristo pada blurbs maupun halaman pertama novel, merupakan novel yang diperuntukkan bagi kita semua, wahai kaum milenial!
Leave a Reply