Kamu Penulis? Harus Disiplin Fisik dan Mental!

POSTED ON:

BY:

Halo sobat blogger! Pada post kali ini, saya mau sedikit berbagi pengalaman selama menjadi penulis cerita fiksi. Waktu awal-awal menulis, saya memang masih belum konsisten. Nah, barulah ketika saya berhasil menerbitkan karya di penerbit mayor, saya mulai bertekad untuk terus menulis novel. Memang banyak yang mengapresiasi, banyak juga yang bertanya tips dan triknya, tak jarang pula teman-teman bertanya tentang apa sih kiat-kiat menjadi novelis saat dirimu adalah novelis pemula.

Well, jawaban dari semua pertanyaan itu beneran nggak sesederhana bayangan orang. Nulis, kasih ke penerbit, di-ACC, lalu terbit dan jadilah best seller. Nggak! Beneran nggak kayak begitu. Jadi novelis adalah perjuangan antara hidup dan mati (tsadis~~), perjuangan antara lupa makan dan lupa tidur, perjuangan supaya work-life balance, dan perjuangan berdarah lainnya. Well, people only see the results and they won’t ever know the process when creating a good result.

Jadi, di sini saya nggak akan berbagi yang indah-indah dari dunia menulis ya, tapi saya akan berbagi kisah yang pahit dan sedih-sedihnya. Betapa menulis itu menyenangkan dan pahit dalam satu paket. :)))

Perjuangan berdarah itu udah serupa perjuangan tentara. Perlu konsistensi dan pastinya disiplin yang tinggi. Menjadi novelis berarti menjadi orang yang nggak buang-buang waktu. Setiap hari adalah waktu yang tepat untuk menulis. Novelis harus disiplin. Novelis harus tetap hidup. Jadi, bukan berarti kamu lupa makan, minum, tidur, hanya gara-gara menulis novel. Ternyata, banyak penulis yang tetap menyeimbangkan antara kehidupan dan pekerjaan. Kenapa disebut pekerjaan? Karena dalam konteks ini, menulis novel bagi saya adalah sebuah pekerjaan.

Ada banyak penulis dunia yang menginspirasi saya dengan kisah-kisah kedisiplinan mereka sendiri. Beberapa penulis dunia memiliki rutinitas sebelum dan sesudah mereka menulis. Dan semua kegiatan itu dilakukan hampir setiap hari. Kebayang kan bagaimana mereka mendisiplinkan diri mereka sendiri dalam menghasilkan karya-karya besar nan magis?

Seperti yang saya kutip dari interview dengan Paris Review, Haruki Murakami berkata, “The repetition itself becomes the important thing.” Pada 2004, wawancara Haruki Murakami dengan Paris Review, mendiskusikan kondisi fisik dan mentalnya saat menulis. Beliau berkata, “Ketika saya dalam mode menulis novel, saya bangun setiap jam empat pagi dan menulis sekitar lima sampai enam jam. Pada siang harinya, saya berlari sekitar sepuluh kilometer atau berenang sepanjang 500m (atau melakukan keduanya), lalu saya membaca sedikit dan mendengarkan musik. Saya pergi tidur jam sembilan malam. Saya menjaga rutinitas ini setiap hari tanpa variasi. Rutinitas inilah yang menjadi kunci penting; yaitu bentuk dari hipnosis diri. Saya menghipnosis diri sendiri untuk mencapai kondisi terdalam pikiran. Tapi untuk bertahan pada pengulangan seperti itu sekian lama—sekitar enam bulan sampai setahun—membutuhkan kondisi mental dan fisik yang kuat. Oleh karena itu, menulis novel panjang sama halnya seperti pelatihan bertahan hidup. Kekuatan fisik sama pentingnya dengan sensitivitas artistik.”

Ada lagi cerita dari Ernest Hemingway dalam wawancaranya dengan George Plimpton, “Ketika saya sedang menulis buku atau cerita pendek, saya menulis setiap pagi sesegera mungkin setelah cahaya pertama muncul. Tak akan ada yang mengganggumu di pagi hari dan udara masih dingin, lalu kau menjadi hangat saat mulai menulis. Kau akan membaca yang telah kau tulis dan kau berhenti membaca ketika mengetahui apa yang akan terjadi berikutnya dalam tulisanmu, lalu berangkatlah menulis dari sana.”

Pada wawancara tersebut, Ernest Hemingway menyebutkan bahwa beliau menulis hingga siang hari, atau beberapa saat sebelum siang hari. Ketika beliau berhenti menulis, beliau merasa kosong tapi pada saat yang bersamaan juga merasa penuh, rasanya seperti telah mencintai penuh seseorang yang dicintainya. Dan itu terus berulang hingga esok hari ia menulis kembali.

Ada pula kisah lain dari Kurt Vonnegut, yang pada tahun 1965 menulis surat pada istrinya, Jane, tentang rutinitas menulisnya (diterbitkan juga dalam bukunya “Kurt Vonnegut: Letters”). Beliau bangun pada pukul 05.30, menulis sampai pukul 08.00, sarapan, lanjut menulis hingga pukul 10.00, lalu keluar rumah untuk jalan-jalan beberapa blok. Saat istirahatnya dipakai untuk mengerjakan pekerjaan rumah dan pergi ke kolam renang terdekat, untuk berenang selama setengah jam. Lalu, beliau kembali pukul 11.45, membaca surat, dan makan siang. Pada sore hari, beliau biasanya mengajar atau bersiap-siap mengajar. Setelah kembali dari tempatnya mengajar pada pukul 17:30, beliau bersantai dengan kombinasi air dan Scocth, memasak makan malam, membaca dan mendengarkan musik jazz dari radio. Beliau baru tidur pada pukul 10 malam. Selain itu, beliau juga melakukan push-up dan sit-up sepanjang waktu, untuk menjaga tubuh agar tetap sehat.

Dan banyak pula rutinitas untuk mengasah mental dan fisik secara disiplin, agar para penulis dunia ini bisa tetap menghasilkan karya-karya yang kita nikmati bersama. Sebutlah Khaled Hosseini (The Kite Runner; A Thousand Splendid Suns; And the Mountains Echoed), Jack Kerouac (On the Road), Ray Bradburry (Fahrenheit 451), bahkan Dee Lestari (serial Supernova), dan masih banyak lagi (boleh baca aja nih writer’s habits di brainpickings.org untuk tahu rutinitas penulis lainnya dan baca juga page James Clear untuk cek “The Daily Routines of 12 Famous Writers).

Semua hal yang mereka lakukan adalah hal yang mereka anggap nyaman dan dapat menstimulasi kinerja otak mereka sebelum menulis. Ibarat kendaraan, rutinitas tersebut adalah proses memanaskan mesin, sehingga ketika digunakan mesinnya tidak kaget. Dan hal tersebut saya anggap perlu dilakukan, bagi mereka yang bekerja sebagai penulis, novelis, atau apapun yang setiap hari selama berjam-jam ada di depan komputer atau mesin ketik. Karena, kondisi duduk yang terlalu lama dapat menyebabkan otot-otot kaku dan tubuh mudah lelah. Jadi, penulis harus dapat menyeimbangkan kesehatan mereka dengan menerapkan rutinitas yang lama-lama menjadi kewajiban (karena terbiasa).

Jadi, bagi teman-teman yang masih berminat untuk menjadi seorang penulis novel yang notabene formatnya panjang sekali, maka teman-teman perlu memperhatikan kedisiplinan diri sendiri, juga apa saja hal-hal kurang penting yang perlu dikurangi agar manajemen waktu menjadi lebih baik. Sebab, menulis itu seperti perang. Kita tak mungkin menembak di medan kosong bukan? Begitulah menulis novel, bagaimana mau mengedit atau melanjutkan bab cerita, kalau memulai saja belum? (Seperti dikutip dari kata-kata Jodi Picoult tentang rutinitasnya).

Kalau saya sendiri sih, biasanya sebelum menulis saya minum susu dahulu supaya rileks. Lalu, saya menyiapkan air mineral kurang lebih satu liter, untuk diminum saat menulis. Jadi, kalau haus tidak perlu bulak-balik ke dapur. Saya jarang makan cemilan kalau lagi menulis, karena takut mengotori papan ketik. Jika lapar, biasanya saya berhenti menulis, simpan dulu data, dan pergi ke dapur untuk makan. Olahraga dilakukan pagi dan sore hari, tapi akhir-akhir ini sih lagi jarang. Paling nyuci baju dan ngepel rumah aja untuk pengganti olahraga. :))

Nah, semua hal itu kan sederhana, tapi kalau jadi rutinitas maka dengan sendirinya kita pun akan terbiasa.

Mulailah melakukan rutinitas sederhana dari sekarang, untuk menopang kegiatan menulismu! Tetap semangat menulis dan jangan lupa olahraga! 😛



Related posts

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Search


Out Now!


Click banner to buy Not for IT Folks with discount!

Recent Posts


Tags


7 Divisi (7) Advertorial (4) Album Review (4) Antologi Ayu Welirang (4) Antologi HISTERY (2) Ayubacabaca (62) Ayu Welirang's Bibliography (9) Blogging Story (2) BS-ing everyday (7) Buku (63) Cabaca (3) Central Java (14) Cerita Detektif (7) Cerita Investigasi (4) Cerita Persahabatan (2) Cerpen (10) Cerpen dari Lagu (5) Drama (6) Editing Works (3) Februari Ecstasy (2) Fiksi Kriminal (3) Forest Park (2) Got Money Problem? (4) Halo Tifa (3) Heritage Sites (4) Hiking Journal (10) Hitchhike (4) Horror (3) Indonesia (37) Interview (2) Jakarta (10) John Steinbeck (3) Journal (18) Kopi (2) Kuliner (3) Kumcer (10) Latar Novel (2) Lifehacks (3) Living (4) Local Drinks (4) Local Foods and Snacks (5) Mata Pena (4) Media Archive (4) Menulis Adegan (2) Metropop (8) Mixtape (4) Mountain (18) Museum (2) Music Playlist (7) Music Review (4) My Published Works (13) NgomonginSeries (5) Nonton (6) Not for IT Folks (3) Novel Keroyokan (2) Novel Kriminal (4) Novel Thriller (3) On Bike (3) On Foot (4) On Writing (25) Pameran (2) Panca dan Erika (3) perjalanan dalam kota (3) Photo Journal (12) Potongan Novel Ayu Welirang (3) Publishing News (3) Review (72) Riset Tulisan (2) Rumah Kremasi (2) Santai (10) Sayembara-Novel-DKJ (3) Sci-fi (6) Sequel (4) Serial Detektif (2) Series Review (5) Short Stories (11) South Tangerang (1) Sumatera (3) talk about living my life (3) Tentang Menerbitkan Buku (7) Terjemahan (6) Things to do in Jakarta (4) Thriller (7) Tips (35) Tips Menulis (28) to live or not to live (6) Translation Works (6) Travel Guide (3) Traveling (4) Travel Notes (2) Travel Stuff (2) Waterfalls (2) Wedding Preparation (5) Wedding Vendor Bandung (3) West Java (15) Worldbuilding Novel (2) Writing for Beginner (27) Writing Ideas (17) Writing Journal (38) Writing Prompt (9)

Newsletter


Create a website or blog at WordPress.com

%d bloggers like this: