Agustus berganti September. Ah September ceria. September yang dirindukan. Musim panas yang mungkin akan menyenangkan. September yang bagi saya bukan hanya sebagai bulan di mana saya lahir, tapi juga bulan refleksi, sebab di bulan inilah usia saya bertambah satu.
Di bulan Agustus, banyak hal yang terjadi. Hal-hal yang mungkin akan membantu saya mendewasakan diri. Beberapa hal juga membuat saya jadi (sok) bijak, (sok) memberi petuah padahal hidup saya sendiri saja tidak sesuai petuah tersebut. Hehe. Tapi, tak apalah. Setidaknya, saya belajar dari refleksi orang lain akan petuah-petuah tak penting itu. Harapannya, semoga penting bagi mereka meski setengah mati bagi saya untuk mengaplikasikannya.
Hal-hal yang sempat terjadi itu sempat membuat saya sedikit melantur tentang hidup. Bagaimana kalau A? Bagaimana kalau B? Dan bagaimana yang lainnya. Padahal, dulu saya pernah berjanji pada diri sendiri, untuk tidak mempermasalahkan ‘bagaimana’. Saya pernah menorehkan hutang pada diri sendiri untuk tetap menjalani hidup seperti hari yang sudah-sudah, acuh saja pada halangan. Sebab, saya juga pernah memberi petuah pada seorang kawan di Surabaya yang bunyinya, “Hidup pasti ada ujiannya. Kalau nggak ada ujian, ya pasti nggak akan belajar kan?”
Jadi ingin tertawa sendiri. Padahal saya saja setengah mati susah bergerak dari sebuah ujian kehidupan. Bahkan setengah buahnya tak selesai sudah ditimpa ujian lain. Tapi, ya itulah. Dari sana saya banyak belajar.
Ada beberapa soundtrack kehidupan yang terputar selama bulan Agustus. Lagu-lagu ini cukup merefleksikan bagaimana saya menjalani beberapa ujian hidup di bulan Agustus. Dan kenapa harus bulan Agustus sih? Hmmm.
1. Yeah Yeah Yeahs – Runaway
“I was feeling sad. Can’t help looking back. Highways flew by.
Run, run away. No sense of time. Like you to stay. Want to keep you inside.
Run, run, run away. Lost, lost, lost my mind. Like you to stay. Want you to be my prize.”
Lagu ini sering menemani di kala saya galau karena pekerjaan. Project Surabaya begitu menguras tenaga dan emosi. Cekcok mulut dengan client dan gontok-gontokan di email berantai seringkali membuat saya ingin lari. Hahaha. Tak jarang juga saya kabur dari pekerjaan dan memutuskan untuk tidur saja di homestay sampai sore tiba. Baru setelah bangun, saya mandi dan lanjut bekerja dari homestay. Tak banyak yang membuat saya tertawa ketika di Surabaya, selain karena lelucon kawan satu kantor yang masih bisa memaksakan tawa. Dan, mendengar lagu-lagu sendu entah kenapa jadi pilihan sementara.
2. Yuna – Coffee
Kopi memang sudah jadi partner terbaik dalam menggalau. Hahaha. Galau di sini dalam artian tulis-menulis. Sebab, yang galau yang meracau. Racau dihalau dengan tulisan. Berapa banyak kata mengalir melalui bulir-bulir kopi yang meluncur ke tenggorokan. Tanpa asap (sebab saya sudah tak mengasapi paru-paru lagi). Kopi dan kata, seperti yang Yuna bilang dalam salah satu baris lagunya, “Sipping coffee and nothing to look forward to. Savoring my solitude.”
Sedikit banyak merenung ditemani lagu ini yang samar-samar terdengar di headset. Beberapa naskah lama, seperti salah satu naskah novel distopia dan novel tentang kebetulan kosmik yang sedang saya garap, selesai bab demi bab. Semoga, kopi tetap menemani saya sampai naskah ini selesai utuh. Saya berharap naskah ini selesai, sebagai bentuk hadiah dari tiap soliloquy saya di malam buta.
3. Luluc – Reverie on Norfolk Street
Mengetahui lagu ini dari situs pembajakan lagu terfavorit. Hahaha. Lagunya leak sebelum sempat rilis. Sudah berniat ingin membeli rilisan fisiknya tapi memang Sub Pop ngehe belum bersedia membalas email-email tentang pemesanan karena saya orang Indonesia (gitu kali ya?). Tapi nggak apa-apa. Nanti kalau memang dibalas, ya tinggal beli kan?
Lagu ini memang seperti judulnya. Tentang lamunan-lamunan. Entah lamunan semacam apa yang Zoe Rendell maksudkan. Yang jelas, ini quiet reverie. Saya ikut melamun kalau mendengar lagu ini, sebab lagu ini mengantarkan saya pada rindu yang benar-benar ingin bermuara. Ah, sialan. Lagu ini terus terngiang di mana-mana. Di pohon, di bayangan pohon, di bayangan tangga, di matahari yang membias jingga dari balik gedung Ciputra World. Membias juga di panggilan kota dan sirene mobil para pengendara mobil Surabaya yang kadang menyebalkan. Membias juga lagu ini pada tiap langkah kaki saya yang menjejak trotoar berdebu, trotoar yang bisu.
Intinya dari lamunan lagu ini cuma satu, “Halo… Aku kangen.” *ter-Raisa*
4. Five for Fighting – The Devil and The Wishing Well
Kata pepatah entah, “Di mana ada hari-hari yang gelap, di situlah ada setitik cahaya.”
Nggak tahu apakah lagu ini mengantar cahaya? Tapi lagu ini yang membuat saya bangkit ketika mudun alias down. Dia jadi sahabat baik Agustus. Haha. Saya hanya menggarisbawahi bagian lirik di mana FFF bernyanyi dengan nafas pendek:
“I took a guess and cut a portion out of my heart. He said that’s nowhere close enough but it’s a damn good start. I wrote the secret that I buried on the wishing well wall. He said I’ve seen one… it follows that I’ve seen them all. We spoke of human destination in a perfect world. Derived the nature of the universe (found it unfulfilled). As I took him in my arms he screamed I’m not insane. I’m just looking for someone to understand my pain…”
Ya begitulah. Ketika ada yang menolong saya ketika melantur, saya hanya akan berkata, “Saya bukannya gila. Saya cuma cari seseorang untuk mengerti kesakitan (dalam kegilaan) saya.” Gitu kali ya. Ya sudahlah, nggak penting juga kalau harus dideskripsikan.
5. Jason Mraz ft James Morisson – Details in the Fabric
“Calm down. Deep breath. And get yourself dressed instead of running around and pulling on your threads, and breaking yourself up.
If it’s a broken part, replace it. If it’s a broken arm, then brace it.
If it’s a broken heart, then face it.
And hold your own. Know your name and go your own way.
And everything will be fine.”
Ini lagu tenang. Lagu masa tenang. Saya rasa para capres kemarin yang kalang kabut harus dengar lagu ini. Biar tenang, biar selow. Jangan lupa seduh teh sedikit manis dengan sedikit perasan jeruk nipis. Nongkrong saja di dekat kipas angin, sambil bersandar (maklum saya nggak punya AC). Kipas-kipas saja pakai kertas, kalau kipas angin juga nggak ada. Dan dengarkan setiap baris kalimat liriknya. Dengarkan baik-baik. Semuanya akan merefleksikan ujian-ujianmu dari awal hingga akhir Agustus ini. Sebab September bagi saya adalah bulan sakral, maka saya harus merefleksikan Agustus dengan sangat barbar. Bukan karena apa-apa, Agustus saya kali ini agak sedikit memuakkan. Tapi, seperti yang saya bilang, refleksi Agustus saya putar rekam jejaknya untuk sekedar mengingat, “Apakah ini karma saya?” Memutar rekam jejak Agustus saya secara keseluruhan, ketika itu saya ditemani dengan lagu ini dan sekaleng kopi dingin. Saya tidak minum teh dahulu, meski saya menyuruhmu begitu. Jadi, suka-suka saja lah ya. Yang jelas, dengar ini jadi adem. Aral terjal sedikit rata, mungkin karena digilas roda setum kehidupan (maaf saya nggak tahu bahasa Indonesianya untuk penggilas aspal itu apa).
Akhirnya, refleksi kehidupan itu ada. Hidup selalu berputar. Posisinya selalu berganti. Kalau hari ini kau berbahagia, belum tentu besok begitu. Setidaknya, saya mencoba belajar terus untuk menghargai kebahagiaan kecil yang ada, yang mungkin akan bisa saya nikmati meski hanya sekedar jadi kenangan di esok hari.
***
- “Semua akan baik-baik saja pada akhirnya.” — Calendula yang berubah setiap jam 10 malam
- “Everything happens for a reason.” — Dinda, gadis pecandu Kebetulan Kosmik di Mama Cake
- “Thank Life For Happening, Thank Every Twist And Turn, There Is A Reason For Every Single Thing, There Is A Reason For Every Worry And Concern.” — Dante Jannicelli (quotes colongan goodreads)
- “Mamam tuh quotes!” — Penggila Mario Tegars yang baru gulung tikar
- “Gue nggak butuh quotes, gue cuma butuh peluk!” — Tante Seberang yang butuh pelukan anak muda
Ya udah gitu aja. Ini postingan nggak penting juga sih. :))
Selamat September! Selamat menempuh musim panas!
Leave a Reply