(Cerpen) Sembunyi di Tepi Jendela Lantai Dua

POSTED ON:

BY:

Lelaki itu datang lagi. Ia datang menawarkan beribu cinta kasih dan tabungan masa depan yang menjanjikan. Sebuah rumah di pinggiran kota yang katanya masih subsidi tapi mahal minta ampun, mobil-mobil terbaru, dan kebun belakang rumah dengan pagar-pagar batu yang tinggi.

“Rumah kayak gini, tahun-tahun besok pasti jadi mahal banget. Makanya, aku beli sekarang, buat nanti kita tinggal bersama, kalau udah menikah,” gumam lelaki itu padaku.

Aku terenyak. Cinta macam apa lagi yang ia tawarkan? Kepedulian apa lagi yang ia tawarkan pada perempuan kepala batu sepertiku? Aku sungguh tidak mengerti. Kemarin-kemarin, aku melempar gelas anggur di restoran mahal yang ia reservasi untuk makan malam kami. Anggur berwarna merah pekat itu terburai di lantai. Sisa-sisa kepingan kaca gelasnya memantulkan bayanganku, yang berdiri mematung. Gelisah pada entah apa. Aku meninggalkan lelaki itu di tengah keremangan malam dan gumam penyanyi jazz di tepi panggung restoran. Lelaki itu pasti kebingungan, tak dapat menebak kemarahanku yang sepertinya datang tiba-tiba. Aku meninggalkan restoran, menanggalkan sepatu mahal yang lelaki itu belikan untukku. Sepatu dengan perasaan palsu. Hujan turun malam itu dan aku pun menari-nari, melepaskan kegelisahan diri.

Di hari sebelum makan malam mewah itu, aku menerima sebuah pesan dari seorang perempuan anonim. Perempuan itu berkata padaku untuk melepaskan lelaki itu. Lelaki yang sudah bertahun-tahun ada di sampingku. Lelaki yang aku sendiri tak pernah tahu, seperti apa rupanya jika ia tidak bersamaku. Akankah tetap seperti ini ataukah benar-benar berbeda? Berwajah serigala? Yang aku tahu, perempuan anonim ini mengatakan kalau ia tengah mengandung seorang bayi lelaki, sudah masuk bulan ke tujuh. Ia dan lelaki itu bertemu di sebuah rapat besar jaringan perusahaan tempat lelakiku bekerja. Mereka menjalani ikatan tiba-tiba, dan itulah hasilnya. Aku tak pernah sangka, kalau ia begitu beraninya menyakiti perasaanku dan perasaan perempuan itu. Kalau saja ia bilang sejak awal, ia ragu-ragu memilihku dan masih membutuhkan perempuan lain sebagai katalog pilihannya, aku lebih mudah menerima. Tapi, seharusnya ia tahu, bahwa aku yang begitu rapuh tak bisa diperlakukan semacam itu. Aku pun limbung dan memutuskan untuk melempar gelas-gelas anggur di restoran, dengan alasan agar ia segera meninggalkan aku tanpa menyakiti dirinya. Lebih baik aku yang menyakiti diriku sendiri. Aku sudah terbiasa dengan hal itu.

Aku mungkin hanya terlalu takut menerima kenyataan, jika pada suatu hari ia tak seperti yang aku bayangkan saat ini. Aku hanya terlalu takut menerima masa depan yang mungkin akan jadi sangat berbeda setelah aku bersamanya dalam sebuah ikatan yang masih tak aku mengerti hingga saat ini. Ikatan yang benar-benar tak bisa terputus seperti ketika aku menggunting benang-benang jahit, menggunting pita, menggunting kertas jadi bentuk-bentuk indah. Ikatan yang bisa membuat seorang lelaki baik, berubah drastis menjadi seorang pemarah, pemukul, pelecut perempuan. Dan kemarin, ia menawarkan keping teka-teki yang membuatku makin terhenyak ke dasar, lekat ke dalam duniaku sendiri. Dunia yang sendirian. Aku bertanya-tanya, harus aku apakan ia?

Dan pada suatu malam yang basah oleh gerimis, lelaki itu meninggalkan cincin yang ia beli dari toko mahal, di meja beranda rumahku. Setelah kukatakan pada Ibu, bahwa aku sedang malas bertemu sapa dengannya, lelaki itu pun pergi dan meninggalkan sekotak kebahagiaan kecil bagi setiap perempuan.

Di dalam kamar, aku menatapi kotak kebahagiaan itu. Kini, kotak kecil itu ada di depanku. Aku menatapinya dengan murung, melihat sebuah cincin emas putih dengan mata berliannya yang mengkilat dan dapat membuat mata perempuan lain menyala-nyala. Tapi tidak denganku. Sebuah lagu berdendang manis, menggema di dalam kamarku, dengan suara-suara kepalaku yang hilir-mudik. Suara pikiranku yang memutuskan untuk menolak segala kebahagiaan itu. Masa depan yang masih semu.

Through the warmest cord of care

Your love was sent to me

I’m not sure what to do with it

Or where to put it*

Pada bait pertama lagu, aku menepi ke jendela kamarku di lantai dua. Aku menulis sebuah surat dengan lirik-lirik lagu itu. Aku membayangkan lelakiku yang manis. Lelaki yang pernah menciumku mesra, di bawah hujan. Lelaki yang belakangan begitu memaksaku agar aku hidup dengannya. Aku membayangkan lengannya yang kokoh, memeluk aku kala sedih dan sekali waktu, pernah memukul wajahku, membuat lingkar mataku biru.

I’m so close to tear

And so close to simply calling you up

And simply suggesting

We go to that hidden place

That we go to that hidden place

Aku memikirkan lelaki manisku yang benar-benar manis, dan pada suatu hari merah wajahnya membenamkan debur di dadaku menjadi depresi. Lelaki manis yang pada keesokan harinya, kembali menjadi lelaki manis.

Now, I have been slightly shy

But I can smell a pinch of hope

To almost have allowed once fingers

To stroke

The fingers I was given to touch with

But careful, careful

There lies my passion hidden

There lies my love

I’ll hide it under a blanket

Lull it to sleep

Aku melihat lelaki manisku di masa depan. Rahangnya yang kokoh itu, menatapi aku dengan bengis. Hingga aku tertidur dan ia memohon maaf pada esok paginya. Lelaki yang akan marah jika pakaiannya tak aku setrika dengan benar. Lelaki yang akan melempar gelas kopi jika kopi yang ia minum tak sesuai yang ia inginkan. Lelaki yang pulang larut malam, dengan wangi-wangi parfum vanila di tubuhnya, yang aku tahu bukan miliknya.

He’s the beautifulest
Fragilest
Still strong
Dark and divine
And the littleness of his movements
Hides himself

He invents a charm
That makes him invisible
Hides in the hair

Can I hide there too?
Hide in the hair of him
Seek solace
Sanctuary

Aku sakit. Tepian jendela sudah terbuka. Aku lupa akan lebam-lebam biru. Aku ingat bahwa aku punya hidupku, yang mungkin masih bisa menjadi indah, dengan warna-warna pelangi. Dengan cericit pagi, setelah malam berhias bintang. Dengan ciuman-ciuman bayangan pada pertengahan malam.

Surat ini kuakhiri. Aku ingat gerimis masih wangi. Bisakah lelaki manisku menemani aku, bersembunyi?

Kuletakkan cincin pemberiannya di atas lipatan surat laguku. Lagu yang aku kutip dari gema di kamarku. Kutorehkan warna cinta di ujung surat itu agar lelaki manisku tahu, bahwa cintaku benar adanya, walau tak bisa dimiliki siapa-siapa. Lelaki manisku, yang kucintai, namun tersakiti oleh ulahnya sendiri. Aku torehkan warna hatiku untukmu lelaki manis. Warna merah. Alir darah…

Bagian lagu terakhir mengalun indah. Echo dari para paduan suara, saling bersahutan.

I’ll keep it in a hidden place…

Keep it in a hidden place…

Hatiku ada di sana, cintaku ada di sana. Di sejuknya pelukan lelaki manisku yang memiliki wajah-wajah berbeda. Lelaki manis yang membuat aku takut untuk memulai sebuah masa.

Lagu selesai, aku menghirup aroma segar. Bunga kamboja di beranda rumah.

Langkahku ringan. Aku melaju, menggapai tepi jendela rumah. Aku terjun bebas, menutup mata dan tersenyum. Tepat saat tubuhku menerjang paving block di depan pintu rumahku, aku tertawa. Aku bebas dan bahagia. Lelaki manisku akan tahu hal itu.

Wangi ini, wangi cintaku…

Warna merah, alir darah…

Berpuluh kilometer dari rumahku, seekor burung gagak hitam menghampiri jendela kamar lelaki manisku. Burung gagak itu tersenyum pada lelaki manisku…

***

Cipinang, 6 Juli 2014

log 5:47 AM

*lirik lagu yang ditulis adalah lagu Bjork – Hidden Place

album Vespertine, 2001



Related posts

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Search


Out Now!


Click banner to buy Not for IT Folks with discount!

Recent Posts


Tags


7 Divisi (7) Advertorial (4) Album Review (4) Antologi Ayu Welirang (4) Antologi HISTERY (2) Ayubacabaca (62) Ayu Welirang's Bibliography (9) Blogging Story (2) BS-ing everyday (7) Buku (63) Cabaca (3) Central Java (14) Cerita Detektif (7) Cerita Investigasi (4) Cerita Persahabatan (2) Cerpen (10) Cerpen dari Lagu (5) Coffee Shop (1) Drama (6) Editing Works (3) Februari Ecstasy (2) Fiksi Kriminal (3) Forest Park (2) Got Money Problem? (4) Halo Tifa (3) Heritage Sites (4) Hiking Journal (10) Hitchhike (4) Horror (3) Indonesia (37) Interview (2) Jakarta (10) John Steinbeck (3) Journal (18) Kopi (2) Kuliner (3) Kumcer (10) Latar Novel (2) Lifehacks (3) Living (4) Local Drinks (4) Local Foods and Snacks (5) Mata Pena (4) Media Archive (4) Menulis Adegan (2) Metropop (8) Mixtape (4) Mountain (18) Museum (2) Music Playlist (7) Music Review (4) My Published Works (13) NgomonginSeries (5) Nonton (6) Not for IT Folks (3) Novel Keroyokan (2) Novel Kriminal (4) Novel Thriller (3) On Bike (3) On Foot (4) On Writing (25) Pameran (2) Panca dan Erika (3) perjalanan dalam kota (3) Photo Journal (12) Potongan Novel Ayu Welirang (3) Publishing News (3) Review (72) Riset Tulisan (2) Rumah Kremasi (2) Santai (10) Sayembara-Novel-DKJ (3) Sci-fi (6) Sequel (4) Serial Detektif (2) Series Review (5) Short Stories (11) South Tangerang (1) Sumatera (3) talk about living my life (3) Tentang Menerbitkan Buku (7) Terjemahan (6) Things to do in Jakarta (4) Thriller (7) Tips (35) Tips Menulis (28) to live or not to live (6) Translation Works (6) Travel Guide (2) Traveling (3) Travel Stuff (2) Waterfalls (2) Wedding Preparation (5) Wedding Vendor Bandung (3) West Java (15) Worldbuilding Novel (2) Writing for Beginner (27) Writing Ideas (17) Writing Journal (38) Writing Prompt (9)

Newsletter


Create a website or blog at WordPress.com

%d bloggers like this: