Hari Jum’at, 20 Desember lalu, saya berkesempatan untuk mengunjungi kembali Gunung Gede, namun lewat jalur Selabintana yang selama ini hanya sebagai jalur cadangan ketika quota jalur lain penuh. Jarang sekali pendaki mau lewat sana, entah kenapa. Namun, menurut cerita beberapa teman yang sudah naik lewat Selabintana, jalur ini berkesan.
Jalur menuju Pondok Halimun rupanya memang sepi. Tidak ada lampu jalan, tidak ada rumah-rumah yang menyalakan lampu. Sepanjang jalan, hanya lampu mobil saja satu-satunya cahaya yang menerangi jalanan. Di kanan kiri hanya tanaman, mungkin kebun milik warga. Intinya, dari gerbang Selabintana menuju Pondok Halimun, suasananya mencekam. Dan setelah menanjak dengan mobil sekitar empat puluh lima menit, kami pun sampai.
olesin minyak telon pagi-pagi, eh… minyak sereh! :3 |
Singkat kata, beberapa dari kami begadang sampai pagi. Ada yang baru mau mulai tidur, tapi terbangun karena jadwal kami mendaki Gede via Selabintana itu jam enam pagi. Lalu, sekitar pukul setengah enam pagi, kami pun packing ulang barang dan mulai mengolesi tangan kaki dengan minyak sereh. Kenapa? Ya karena itu… BANYAK PACET! (serem deh pokoknya, nanti lihat aja di postingan bawah :P)
Nah. Kami mulai mendaki dengan gembira. Hehe. Menuju pintu gerbang pendakian, seperti biasa diadakan pengecekan SIMAKSI. Surat yang kami bawa rupanya salah tanggal. Bukan salah sih, tapi sengaja. Kami tidak kebagian surat untuk mendaki hari Sabtu-Minggu, karena quota sudah penuh. Yah, tapi mau gimana lagi. Sudah kadung sampai di Salbin masa harus turun lagi? Akhirnya kami beranikan lewat pos pengecekan dan kami malah disambut dengan sukacita oleh Bapak Ranger yang baik hati. Bapaknya sudah cukup berumur, dengan rambut gondrong berubannya. Karena jarang yang mendaki via Selabintana, akhirnya kami masuk dengan lancar. Kata Bapaknya, “Hati-hati ya di jalan. Kalau ada sesuatu yang aneh, langsung turun saja daripada bahaya.”
Bapa Balai TNGGP Halimun yang kece. 😀 |
“Ok!” jawab kami. Nah loh! Saya berpikir, apa ya yang aneh? Sambil membuang jauh pemikiran itu, saya lanjutkan jalan di paling depan. Biar enak gitu, paling depan sendiri.
Kami berjalan santai. Tapi, lama kelamaan, kami jalan sambil banyak mikir. Ternyata, meskipun jalur Selabintana tidak begitu curam, jalur tersebut tetap menyeramkan. Di kanan kiri, ditemukan pacet. Itu, hewan melata yang ada dua jenis, pacet daun dan pacet tanah. Warna pacet daun hijau kekuningan dan pacet tanah warnanya cokelat. Beberapa teman mendaki saya sempat disedot darahnya oleh pacet-pacet itu. Jadi, perjalanan yang tadinya santai berubah jadi perjalanan yang banyak pikiran.
curam dikit |
Surken masih jauuuhhh! |
Waduh. Aku takut digigit. Waduh, kok gatel-gatel yah, pasti ada pacet nih!
Kira-kira seperti itulah pikiran saya. Jadinya, saya dan yang lain kelelahan bukan karena jalur yang sulit, melainkan karena pacet yang menyita pikiran itu. Saya baru pertama kali melihat pacet benar-benar banyak. Mulai merambat di celana dan kaos saya. Saya sampai teriak-teriak sendiri waktu lihat para pacet mendaki ke kerudung. Untunglah beberapa yang lain memang pemberani, jadi bisa menyingkirkan pacet itu. Saya sempat melihat ular kecil, tapi yang saya teriaki bukan ular, malah pacet. Hehe. Sumpah, geli! :))
Ini namanya PACET DAUN! Tuh, saya ZOOM biar kalian juga geli! :)) |
Setelah melewati serangan pacet, kami sampai di pos yang menyimpang ke arah mata air dan Alun-Alun Suryakencana yang tembusan dari Selabintana. Di plang tertulis 2.5 kilometer, menuju Suryakencana. Saya semangat. Tapi, karena masih beban pikiran pacet itu, jalanan tak kunjung mencapai tujuan. Saya kesal, sampai hujan segala di jalan. Biasanya saya santai aja kalau hujan deras sekalipun. Tapi, karena mood sudah rusak sama pacet, jalan pun jadi ogah-ogahan. Dan teman-teman yang lain pun misuh-misuh karena jalurnya panjaaaaang sekali. Landai sih landai, tapi sudah capek sama hujan dan pacet.
hujan. buka flysheet dulu dan anget-angetin badan dulu. |
2.5 kilometer yang PHP banget! :)) |
di mata air yang masih beberapa kilometer menuju Surken (katanya sih dari sini sudah dekat) |
buka flysheet lagi di mata air. hujan deras. |
Di mata air itu pas hujan deras dan jadi istirahat terakhir kami sebelum melanjutkan perjalanan. Ketika hujan mulai reda, kami mulai melanjutkan perjalanan. Saya paling depan. Saya berlima sama Bang Apuy, dan tim ngebut (Febi, Sintia, Kang Hilwan). Saking ngebutnya, kami sampai duluan di pintu gerbang menuju Suryakencana (dari arah Geger Bentang). Di sini malah kena hujan angin. Gemuruh anginnya seram dan kami harus lanjutkan jalan. Kalau tidak, malah kedinginan.
Bukannya egois, tapi kami terpaksa meninggalkan teman-teman yang tertinggal karena sakit di belakang. Mengapa? Karena keluar Suryakencana, kami diterpa badai angin. Tak ada penghalang dari pohon maupun bukit atau batu-batuan. Jadi, kami terpaksa lanjutkan jalan untuk mencari tempat berteduh dan membangun shelter/tenda. Salah satu dari kami, yang masih kuat (Febi), kembali ke arah kami keluar tadi dan menjemput yang lain agar tidak nyasar. Lalu, sisanya mulai membuat minuman hangat agar ketika yang sakit sampai, sudah tinggal menghangatkan diri dan masuk tenda saja.
Jadi begitu. Ini bukan satu bentuk keegoisan, karena kami meninggalkan yang lain untuk menyelamatkan diri kami semua. Kalau kami berdiam di pusat badai, apa kami masih ada sampai sekarang? Pusat badai waktu itu benar-benar dahsyat. Saya saja yang pakai raincoat nyaris terbang. Untung aja ditahan sama beberapa Abang-Abang yang kuat dan gembul (termasuk Kang Hilwan, wkwkwkw).
Kira-kira, dari PH Selabintana sampai ke Suryakencana itu, kami mencapai 12 jam waktu pendakian. Karena santai-santai, banyak ngerokok dulu di jalan, ngopi-ngopi, dipotong hujan dan buat flying camp, lalu ada yang sakit, ada yang digigit pacet dulu dan shock, lalu begini dan begitu. Ya kira-kira totalnya 12 jam lah sampai Surken.
Saya sudah lupa kelanjutan ceritanya, karena ini posting super telat. Perjalanan Desember baru ditulis Mei, siapa yang bisa menjamin saya masih ingat? Hehe. Singkat kata, setelah makan dan ganti pakaian basah sambil menggigil, kami mulai tidur karena di Suryakencana juga masih hujan badai. Jadi, tidak ada yang bisa dilihat. Keesokan paginya, baru deh kami foto-foto dan persiapan turun melalui jalur Cibodas. Sampai di top Gunung Gede juga sedang kabut tebal, jadi kami teruskan saja turun. Lagipula, sudah sering juga foto-foto di Gunung Gede. Hehe. Maklum lah, gunung yang terdekat dari Jakarta. Kalau dibilang bosan, nggak juga sih. Cuma, untuk foto-foto ya masih sama seperti foto yang lama pastinya. 😀
tuh, tembok putih doang. hujan angin pula. |
Kami turun dan berpencar-pencar. Ada yang sampai di Cibodas Maghrib (termasuk saya dan tim ngebut). Ada juga yang sampai sekitar jam sembilan malam, karena saya juga tidak ingat kita berpisah di mana. Yang jelas, saya saja waktu itu jalannya cuma berdua. Sisanya jauh di depan dan jauh di belakang. Ketika ingat dan ditunggu untuk jalan bersama, malah lama sekali. Akhirnya, daripada kaki keburu kedinginan, saya dan Bang Apuy melanjutkan jalan, meski terpisah dengan yang lain. Alhamdulillah, semuanya tetap sampai di Cibodas dengan tak kurang satu apapun.
Jadi, mungkin hanya segitu ceritanya. Kalau butuh detail perjalanan dan angkutan, bisa PM saya saja ke motherofhumanity@gmail.com atau via twitter saya di @ayuskeptika.
Oh ya, salah satu catatan penting. Berhati-hatilah memilih waktu pendakian, karena salah-salah, malah dapat hujan badai kayak saya. Hehehe. Yah, namanya juga musim, kan nggak ada yang tahu. Memang waktu itu, kami sudah terlalu bersemangat untuk mendaki via Selabintana, jadi tidak memperhatikan cuaca yang sudah masuk penghujan.
Okay, sekian jurnal kali ini! Berhubung saya sudah lupa, silakan lihat foto-foto di artikel ini saja ya untuk membantu jurnal.
[ayu]
Leave a Reply