Perjalanan
gowes ke Bogor Selatan beberapa waktu lalu, memang meninggalkan banyak kesan. Di samping melampaui diri sendiri, yang berandai-andai, “Apakah saya bisa sampai ke Bogor dengan sepeda?”, kesan lainnya adalah, saya bisa jauh dari Jakarta barang beberapa lama. Menghirup udara yang masih murni di kaki gunung Salak, dan tertawa-tawa melihat asap polisi berada di atas kota Jakarta seperti genangan busa di atas air. Kira-kira seperti itulah saya melihat sejauh pandangan mata ke arah Jakarta. Dari atas sini, perspektif memang selalu nampak berbeda dan menarik.
Saya tak tidur. Menunggu matahari terbit di sebuah kebun keluarga seluas 4 hektar, memang menyenangkan. Seperti menikmati matahari dari ruang pribadi. Dan pagi itu, matahari tampak tertutupi lembah di sebelah selatan, dekat gunung Gede – Pangrango. Meski begitu, pagi tetap sentimentil. Menutup perjumpaan dengan matahari, saya pun tidur sejenak sekitar jam sembilan pagi, sebelum akhirnya terbangun lagi karena adzan shalat Jum’at sudah berkumandang.
Teman saya dan Abang, bergegas untuk shalat Jum’at, sementara saya duduk-duduk di beranda sambil menyesap kopi yang terlambat dihidangkan. Bogor siang ini cukup terik. Matahari tepat di atas kepala, tapi saya tetap santai berleha-leha di rumah kayu milik teman saya. Ah… Akhir Minggu yang saya dambakan setelah beberapa hari lamanya.
Sepulang shalat, teman saya ini bergegas mengambil motor matic dan mengajak kami berdua. “Ayo, bonceng tiga!”
Saya mengiyakan, dan kami pun jalan-jalan.
Teman saya yang baik ini, membawa kami berkeliling tempat tinggalnya di Cijeruk, kaki gunung Salak. Setelah puas melihat kota dari ketinggian pagi tadi, kali ini teman saya mengajak kami ke sebuah lokasi jajan di Bogor Selatan, tepatnya daerah Cihideung.
“Ini jalur lintas Bogor – Sukabumi, makanya banyak tukang jajanan,” gumam teman saya. “Mau makan apa nih? Tenang, gue yang traktir!” lanjutnya.
Wah. Mendengar kata traktiran, hati jadi gembira. Kaki yang lelah mengayuh sepeda, rasanya tak ada. Hehehe. Tanpa pikir-pikir, saya yang memang sedang menginginkan olahan durian, langsung memesan Es Cendol Durian. Karena belum makan, saya kombinasikan saja es segar itu dengan Laksa, kuliner khas Bogor. Sementara itu, Abang memesan es cendol saja, tanpa durian, dengan toge goreng. Teman saya memesan laksa, dan es cendol durian, sama seperti saya.
 |
duren 😀 |
Teman saya malah berkelakar pada Abang, “Puy, lu gak suka duren? Ah rugi lu gak suka duren!”
Saya tertawa. Memang benar. Rasanya rugi sekali, kalau di dunia ini kita tidak suka durian. 😀
Pesanan siap. Kami pun makan dengan lahap. Siang yang terik ini, seperti biasa saja. Bogor sedang bersahabat juga rasanya. Es cendol durian ini adalah perpaduan antara cendol hijau, dengan santan dan gula merah yang tidak begitu manis. Namun, setelah ditambahkan potongan duren, rasa manis menjadi pekat dengan sendirinya. Durian ini menambah aroma sekaligus mengikat rasa yang ada pada es cendolnya.
 |
es cendol durian… |
Sementara, Laksa sendiri ternyata jenis makanan berkuah santan, dengan bihun, daun kemangi, ketupat atau lontong, telur, dan tahu. Sama seperti kupat tahu. Bedanya, kuah santannya ini seperti kuah kari, dan di dalam laksa, ada daun kemangi yang membuatnya jadi terasa aneh.
 |
laksa… |
Tak jauh beda dengan toge gorengnya. Toge goreng juga berbahan dasar sama. Ketupat yang disirami toge, tahu, dan bumbu kacang. Kalau melihat tampilannya, sekilas seperti ketoprak. Tapi, kalau sudah dirasakan sih, memang seperti ketoprak yaaa. Bedanya, mungkin kalau ketoprak tidak ada kuahnya, kalau toge goreng ini disiram kuah lagi. 😛
 |
toge goreng… |
 |
toge goreng Pak Abung… |
Di samping laksa, es cendol durian, dan toge goreng, masih ada beberapa pilihan kuliner di salah satu transit Cihideung, jalur Bogor – Sukabumi. Namun, karena perut saya sudah terasa penuh, saya putuskan untuk melihat-lihat saja. Lumayan, mengobati keinginan untuk memakan semuanya. Hehehe.
Leave a Reply