Jurnal Pendakian: Gunung Prau dan Romantisme Langit (30 Agustus – 01 September 2013)

POSTED ON:

BY:

Sebenarnya, waktu itu belum gajian dan saya seharusnya ada di kampus untuk mengikuti perkuliahan. Tapi, seorang teman kuliah mengkonfirmasi kalau hari Sabtu, 31 Agustus, kegiatan perkuliahan ditiadakan dan digeser ke Sabtu yang berikutnya. Wah, ingin kemana ya? Bingung juga. Yah maklum lah, pekerja. Kalau gajian belum keluar kan ribet. Hehehe. Tapi tapi tapi… Gajian bukanlah penghalang kaki yang gatal untuk pergi menghilang! Ya, kaki gatal jadi pedoman saya selama ini. Kalau sudah nggak betah, itu artinya saya harus pergi, entah ke gunung, pantai, pasar kaget, museum atau ke mana saja. Dan kali ini, pilihan jatuh ke salah satu gunung yang berada di dataran tinggi Dieng, tepat berada di tiga kabupaten sekaligus karena letaknya yang berada di tengah-tengah perbatasan antara Kabupaten Kendal, Wonosobo, dan Batang. Ya kondisinya seperti gunung Muria yang juga ada di perbatasan para kabupaten di utara Jawa Tengah.

Kali ini, saya berangkat bersama ke dua puluh delapan orang lainnya. Agak lupa sih jumlahnya berapa. Yang pasti, sekitar itulah. Jum’at malam, 30 Agustus, saya dan Abang mulai bersiap (nggak usah tanya abang yang mana ya!). Pulang kerja, langsung menuju kost untuk mengambil ransel berikut perabotan lenong yang sudah saya packing. Hehehe. Langsung ke depan Menara Jamsostek untuk naik Kopaja 66 trayek Manggarai – Blok M via Sudirman. Nanti, rencananya saya akan turun di Gelora Bung Karno, untuk kemudian berjalan kaki sampai ke depan Hotel Mulia. Di sanalah bus pariwisata berjumlah 32 seat sudah terparkir. Saya kira, saya yang terakhir datang. Rupanya, masih ada satu orang yang ditunggu, yaitu Mbak Tiaaaa. Hehehe. Nah, setelah datang, barulah bus benar-benar bertolak dari seberang Hotel Mulia, untuk kemudian ikut berjejalan di jalanan Sudirman yang macet, masuk tol Lingkar Dalam dan bermacet-macet ria sampai nanti keluar tol Cikampek.

Nah, singkatnya (berhubung saya tidur sepanjang perjalanan), hari Sabtu 31 Agustus, bus sampai di Wonosobo terlalu siang. Entah karena supirnya yang penakut atau memang sangat hati-hati, pada saat memasuki Garung, bus sudah mulai tidak stabil. Beberapa kali bus pariwisata kami disalip oleh angkutan-angkutan elf yang menguasai daerah tersebut. Sampai akhirnya, di suatu tanjakan menuju dataran tinggi Dieng, supir bus kami sudah angkat tangan. Bendera putih diterbangkan, dan satu per satu dari kami turun dari bus beserta ransel-ransel kami yang super berat (mau piknik soalnya), dan kami pun memindahkannya ke dua elf yang disewa sampai dataran tinggi Dieng.

Sampai di lokasi wisata, beberapa orang mencari kamar mandi untuk bersih-bersih, beberapa makan, dan sisanya duduk-duduk santai tidak melakukan apa-apa. Hehe. Saya sendiri hanya packing ulang untuk mengecek perlengkapan dan membagi beban bersama dengan Abang. Nah, sambil menunggu Abang selesai makan, saya jalan-jalan keliling, melihat-lihat siapa tahu ada yang menarik. Hehehe.

packing ulang dulu yaaaa

Sekitar pukul setengah dua siang, kami mulai berkumpul untuk naik. Cuaca cukup cerah berawan, sehingga tidak begitu panas ketika naik. Menurut perkiraan dan menurut orang yang sudah pernah naik, katanya untuk mencapai lokasi camp hanya akan memakan waktu tiga jam. Jadi, kami memutuskan naik siang dengan asumsi akan sampai lokasi camp sebelum petang datang dan membuat saya tidak konsen berjalan. Hehehe. Maklum lah, saya agak malas kalau naik malam, sebab saya malas untuk melihat kaki saya sendiri karena terlalu takut melihat sekitar. Oke, abaikan yang ini karena saya hanya berlebihan saja. :p

Pemandangan yang disuguhkan sepanjang jalan menuju campsite memang menakjubkan. Meski gunung ini ada di titik elevasi 2565 mdpl saja, namun karena letaknya yang berada di dataran tinggi membuatnya jadi lebih tinggi dari titik elevasinya sendiri. Kabupaten Wonosobo dengan hiasan Telaga Warna bisa kita lihat di sepanjang perjalanan, belum lagi ketika berhenti di tiap pos. Di pos-pos yang sudah disediakan pihak gunung Prau, kita dapat melihat ke arah Sindoro-Sumbing yang menjadi siluet cantik ketika sore. Awan-awan putih seperti bulu domba terlihat menghiasi langit Wonosobo hari itu. Saya jadi tidak sabar mencapai campsite. Mencuri dengar, katanya lokasi campsite terdiri dari undakan sabana yang luas, seperti bukit teletubbies dan dari sana kita bisa melihat pemandangan yang lebih kaya.

awan bulu domba dan perbukitan
view Telaga Warna dan sekitar
tugu perbatasan Wonosobo – Batang | sayang ada vandalisme 😦

Saya berjalan di kloter pertama, agak terpisah dari Abang yang menjadi sweeper pada hari itu. Saya sampai di titik terakhir yang akan membawa kita berjalan santai sampai ke campsite, yaitu sebuah lokasi terbuka dengan tower atau BTS. Di sini, angin cukup kencang, sehingga membuat saya bergidik. Dan satu per satu rombongan lain pun datang. Waktu itu, jam sudah menunjukkan pukul setengah lima lewat, sehingga semua harus bergerak cepat agar sampai di campsite sebelum petang. Setelah berfoto dengan awan-awan yang manis di bawah kaki, kami pun bertolak lagi untuk berjalan santai di jalur landai menuju bukit teletubbies.

salah satu papan di dinding BTS yang terpagar
batas daerah Wonosobo – Kendal
sempetin foto BTS, padahal udah menggigil


Sekitar satu jam, mulut masih ternganga saja. Jalan menuju bukit teletubbies pun disuguhi pemandangan magis. Awan-awan belum mau beranjak namun langit merah muda bersemu jingga sudah ikut meramaikan sore. Saya ingin menangis, ingin teriak, ingin melakukan apa ya, sampai bingung sendiri. Keindahan Tuhan memang sukar diungkap sebatas kata. Karena, kalau jadi kata ya hanya seperti tulisan ini saja. Hehehe. Hanya mata yang bisa menangkap keindahan, merekamnya, dan hanya alat khusus pembaca pikiran saja yang bisa mengeluarkan imaji itu, tidak dengan foto secanggih apapun karena hasilnya tetap beda. Tapi, bagaimanapun, saya ingin membaginya lewat tulisan ini. Jadi, kalau ternyata berminat, silakan teman-teman berangkat ke sana juga ya! Hehe.

awan lari-lari :p
berjalan di atas senja

Nah, beberapa menit setelah petang, akhirnya suara-suara pun terdengar. Ah, rombongan kami terlambat datang rupanya. Lokasi campsite sudah penuh dengan hiruk-pikuk manusia. Saya agak kecewa juga sih, karena niatan saya untuk menyepi-meditasi harus diabaikan karena suara-suara itu. Tapi tak apa. Toh, esensi berjalan kan bukan hanya untuk memenuhi ego diri sendiri, tapi untuk meleburnya bersama ego lain. Jadi, saya duduk, menunggu aba-aba lokasi mana yang bisa digunakan untuk membangun tenda, dan setelah mandat tiba, saya dan Abang mulai membangun tenda kami. Angin kencang tak menghalangi tangan menggigil saya yang tetap semangat menancapkan pasak tenda ke tanah. Maklum, semangat karena ingin cepat-cepat menghangatkan diri. Hahaha.

Sudah memasang tenda, saya berganti pakaian dengan yang kering dan mulai eksperimen! Apa lagi kalau bukan memasak! Hehehe. Kali ini, seperti biasa saya akan masak omelet dengan roti panggang. Wah, rupanya masakan saya dan Abang laku juga. Buka warung enak kali ya? 😛

Tak banyak yang bisa saya ceritakan pada malam hari, karena masing-masing kami masuk tenda dan tertidur. Kondisi cuaca agak kurang baik. Cerah memang, tapi angin sangat kencang. Hanya suara gitar dan nada-nada beberapa orang saja yang masih terdengar. Kulit mereka mungkin kulit badak, sehingga mereka kuat menyanyi di tengah angin kencang seperti itu. Kalau saya sih, ah mending selimutan di tenda.

Pagi harinya, Minggu 01 September, saya mendapati pemandangan romantis lainnya. Ah, saya suka sekali berada di ketinggian. Sebab, dari sinilah saya bisa melihat awan terbang di bawah kaki. Seperti lagu Vina Panduwinata, awal September ini dilewati dengan ceria. Orang-orang terlihat senang, gembira, sejenak melupakan rutinitas hidup yang membosankan. Semuanya seolah bingung, bagaimana cara terbaik untuk mengabadikan momen tersebut dan membaginya dengan orang lain. Berbekal kamera seadanya, saya pun mencoba untuk mengambil momen-momen penting yang akan dibagikan pada tulisan kali ini.

langit pagi, Sindoro-Sumbing (kanan), Merbabu – Merapi (kiri) | disapa gunung 😀
Haiiiii matahariiii! 😀
let’s jump! 😀

Siklus matahari yang muncul pagi hari selalu ditunggu. Semua bersiap untuk menunggu kelahiran putra pagi ini. Dan setelah itu semua berakhir, matahari seperti biasa saja, berada di atas kepala. Panas, menyengat, namun tanpa saya duga, kondisi gunung Prau yang sedikit pohon menyisakan beberapa siluet pohon di beberapa titik dan itu membuat semuanya jadi lebih romantis. Saya berkeliling untuk mengambil foto, dengan catatan harus kembali untuk masak, beres-beres tenda juga, karena rombongan akan turun dari Desa Patak Banteng dengan target turun pukul sepuluh.

Puas mengambil foto, saya masak untuk sarapan dan beres-beres untuk turun. Sekitar pukul sepuluh pagi, saya benar-benar turun dengan yang lain. Jalan turun ini cukup curam, sehingga jalur agak macet karena antrian manusia yang turun dengan hati-hati. Saya menyempatkan diri untuk memotret lagi. Singkatnya, sampai di perkebunan warga sekitar pukul dua belas siang, dan rombongan saya langsung menuju rumah salah satu kerabat untuk bersih-bersih dan menuju jalan pulang.

Perjalanan kali ini menyisakan kesan mendalam bagi saya. Mengenal orang-orang baru yang belum pernah saya tahu sebelumnya dan berbagi keindahan bersama mereka. Rasanya, tak ada lagi romantisme pagi seperti yang ada pada waktu itu. Entahlah, mungkin saya akan menunggu perjalanan berikutnya yang lebih berkesan. Mungkin…

Salam.

[Ayu]



22 responses to “Jurnal Pendakian: Gunung Prau dan Romantisme Langit (30 Agustus – 01 September 2013)”

  1.  Avatar

    @sinta wulandari hubungi twitter @kukuh_jg aja mbak

    Like

  2.  Avatar

    @erry f muharrom alhamdulillah… cuaca lagi cerah, tapi berangin. hehe.

    Like

  3.  Avatar

    Kalo mau ikut hbungi kemana

    Like

  4.  Avatar

    @erry f muharrom gimana hoki soalnya maaas 😀

    Like

  5.  Avatar

    dapat awan yang bagus kak, sayang pas kesana flat 😦

    Like

  6.  Avatar

    dapat awan yang bagus kak, sayang pas kesana flat 😦

    Like

  7.  Avatar

    @fathurohman arif jarwokatro wawwwww… makasiiiih dah mampir 😀

    Like

  8.  Avatar

    keren mbak cerita sama foto-fotonya 😀

    Like

  9.  Avatar

    @Acen Trisusanto Jiaaaah… Dia terkena sindrom “pengen-banget-ke-PRAU” wkwkwkwk… Mariiii kakaaaa. :p

    Like

  10.  Avatar

    Mau banget kesini! Mau banget! Mau banget!

    Like

  11.  Avatar

    @kalderaprau fotonya situuu juga bagus-bagus 😀

    Like

  12.  Avatar
  13.  Avatar
    Anonymous

    saya indak diajak :(btw nice story kakak 😀

    Like

  14.  Avatar

    bisa hub kang Gustaf di 0857-2441-1985 teh, info lengkapnya bisa di cek di blog kami. :)nuhun

    Like

  15.  Avatar

    @satubumikita wah menarik itu… kira2 kalo mau join, saya hubungi siapa? 😀

    Like

  16.  Avatar

    keren juga teh foto yg terakhir..:).teh kalo ada waktu ikutan yuk event kita, mendaki gunung tampomas sumedang tgl 14-15 september..hehe.nuhun.

    Like

  17.  Avatar

    @Rizal Agustin ada doooooooong… tunggu yaaaaaaah nanti… :p

    Like

  18.  Avatar

    ayu.. gak lengkap kalo ke prau gak ada foto-foto bunga daisy liarnya… 😛

    Like

  19.  Avatar

    @duabadai ayoooo Bang… kita ke sana lagi… 😀

    Like

  20.  Avatar
    Anonymous

    Ayu, I envy you! pemandangannya indah nian! jadi inginku kesana…

    Like

  21.  Avatar

    @Ryan Ariesta mau aja apa mau bangeeeeeeeet? 😛

    Like

  22.  Avatar

    awesome …bisa kali di ajak diriku :p

    Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Search


Out Now!


Click banner to buy Not for IT Folks with discount!

Recent Posts


Tags


7 Divisi (7) Advertorial (4) Album Review (4) Antologi Ayu Welirang (4) Antologi HISTERY (2) Ayubacabaca (62) Ayu Welirang's Bibliography (9) Blogging Story (2) BS-ing everyday (7) Buku (63) Cabaca (3) Central Java (14) Cerita Detektif (7) Cerita Investigasi (4) Cerita Persahabatan (2) Cerpen (10) Cerpen dari Lagu (5) Drama (6) Editing Works (3) Februari Ecstasy (2) Fiksi Kriminal (3) Forest Park (2) Got Money Problem? (4) Halo Tifa (3) Heritage Sites (4) Hiking Journal (10) Hitchhike (4) Horror (3) Indonesia (37) Interview (2) Jakarta (10) John Steinbeck (3) Journal (18) Kopi (2) Kuliner (3) Kumcer (10) Latar Novel (2) Lifehacks (3) Living (4) Local Drinks (4) Local Foods and Snacks (5) Mata Pena (4) Media Archive (4) Menulis Adegan (2) Metropop (8) Mixtape (4) Mountain (18) Museum (2) Music Playlist (7) Music Review (4) My Published Works (13) NgomonginSeries (6) Nonton (6) Not for IT Folks (3) Novel Keroyokan (2) Novel Kriminal (4) Novel Thriller (3) On Bike (3) On Foot (4) On Writing (25) Pameran (2) Panca dan Erika (3) perjalanan dalam kota (3) Photo Journal (12) Potongan Novel Ayu Welirang (3) Publishing News (3) Review (73) Riset Tulisan (2) Rumah Kremasi (2) Santai (10) Sayembara-Novel-DKJ (3) Sci-fi (6) Sequel (4) Serial Detektif (2) Series Review (6) Short Stories (11) South Tangerang (1) Sumatera (3) talk about living my life (3) Tentang Menerbitkan Buku (7) Terjemahan (6) Things to do in Jakarta (4) Thriller (7) Tips (35) Tips Menulis (28) to live or not to live (6) Translation Works (6) Travel Guide (3) Traveling (4) Travel Notes (2) Travel Stuff (2) Waterfalls (2) Wedding Preparation (5) Wedding Vendor Bandung (3) West Java (15) Worldbuilding Novel (2) Writing for Beginner (27) Writing Ideas (17) Writing Journal (38) Writing Prompt (9)

Newsletter


Create a website or blog at WordPress.com

%d bloggers like this: