Once, in a dream… I saw you, telling me that you’ve traveled in the dark just to find that little spot, how you settled for a light in the vastness of the night. And I saw some tears were coming from your eyes. As you said you’d found your paradise and I began to ask you, “Why you have to cry?”
Saya mengakui, saya kadang pongah dengan alam. Menganggap bahwa gunung kecil kadang tak sepadan dengan pemandangan yang disuguhkan. Tapi, setelah mencapai lokasi Gunung Prau, saya jadi yakin bahwa apapun ekspektasi yang saya lempar terhadap sesuatu, bisa salah juga. Gunung ini ibarat miniatur Semeru, dengan bukit-bukit berundak, savana yang luas, dan ada juga tanjakan savana yang merupa tanjakan cinta. Yah, saya betah di sini, meski saya akui, panas begitu menyengat dan ketika malam, angin dingin menusuk. Inilah gunung yang menyuguhkan keindahan perbukitan di sekitarnya, berada di gugusan Dieng Plateau.
Garis cakrawala, batas antara ada dan tiada. Batas antara pagi, siang, malam. Batas di mana ilham merasuk, membelenggu ego jadi rasa syukur. Batas yang masih bisa membias jingga, yang tak akan kau dapatkan ketika berada di kota penuh polusi…
a few morning dew |
Wangi petrichor sisa hujan, bertemu tanah dan menyisakan rintikannya di badan tenda yang menghangatkan saya dari angin juga cuaca malam. Terbangun dengan rasa syukur berkat gugusan gunung di depan mata. Dan dari sana saya hanya bisa berucap, “Fabi’ayyi ‘ala irobbikumaa tukadzibaan? Maka nikmat Tuhanmu manakah yang kamu dustakan?”
“Have We not made the earth a resting place? And the mountains as stakes?” (An-Naba: 6-7) |
going home… |
Lihat? Bagaimana langit Wonosobo membias sempurna. Merah muda yang tumbuh karena matahari menghias siluet pepohonan yang seadanya di Gunung Prau. Sebab lokasi Gunung Prau yang dominan dengan savana luas, pepohonan yang ada jadi lebih cantik dilihat. Kala malam, bulan yang menerangi savana membuat pepohonan rimbun itu jadi bersahabat. Tak ada rasa takut, tak ada gentar. Saya patut berterima kasih, pada mereka yang masih setia mendaki gunung tanpa mengeksploitasi, karena dengan begitulah gunung-gunung ini masih tetap bisa ditafakuri. Coba, bayangkan saja bagaimana kalau Prau diambil kekayaannya, diubah menjadi sebongkah gugusan beton tanpa nyawa? Coba, bagaimanaaa? Yah… Berada di Prau membuat saya lupa sejenak terhadap kepenatan Jakarta. Semoga sampai nanti, kondisinya tetap begitu ya. Sampai jumpa lagi Prau!
(*) Dewi Lestari’s song, Back to Heaven’s Light
Leave a Reply