Esok harinya, saya berniat menyusuri sebagian masa kecil saya yang banyak dihabiskan di kebun belakang rumah nenek. Memanjat pohon kopi, mencari salak yang ditanam sendiri, atau menunggui durian jatuh dari pohon sambil bermain kartu remi. Ya seperti itulah masa kecil saya di Semalen, sebuah desa harmonis di bagian utara Magelang. Dan di usia saya yang sudah kepala dua, saya ingin kembali merasakan udara segar yang pernah saya rasakan pada masa kecil. Maka, sore-sore setelah mencuci pakaian selama mudik, saya bergegas untuk menyusuri kebun.
Banyak yang berubah, terutama sawah yang luas di belakang rumah. Sawah itu kini perlahan tergantikan beton-beton, mengubah bentuknya jadi terasering perumahan, bukan lagi sawah. Kebun kopi yang ada di sebelan wetan, kini sudah berkurang dan tak terurus. Saya bisa pastikan, kini pepohonan itu dihuni oleh berjenis-jenis serangga dan ular. Daun jatuh yang rimbun sangat cocok jadi tempat persembunyian ular kebun. Yah, saya mengurungkan niat untuk memanjat pohon dan meneruskan perjalanan menyusuri kebun bambu sebelum sampai di kebun pohon jarak dan sawah yang tinggal sisa.
“Nanti, sawahnya ini bakal jadi perumahan lagi Mbak Ayu,” gumam sepupu saya. Saya pun terduduk di antara pohon yang masih anak-anak, yang ketika dewasa nanti, kayunya akan sangat mahal sekalli harganya. Melihat sekeliling yang sejuk, sepertinya pada tahun-tahun yang akan datang, tak akan lagi bisa didapatkan. Sedih juga. Ternyata para kapitalis pemakan nuansa hijau mulai bergerak ke pinggiran kota, menuju desa dan mengambil apa yang mungkin diambil. Sedih memang, tapi itu mungkin sudah jadi hukum alam. Dan yang bisa saya lakukan hanya menikmati apa yang masih tersisa dari kampung halaman.
“Mbak ayo cari ikan kecil!” Nafis, sepupu saya yang masih SD lalu berlari melewati kebun jagung, mencari-cari ikan kecil di dekat kebun jagung. Sawah yang sepertinya baru ditanami itu masih berair. Banyak ikan-ikan kecil di sana. Saya tertawa.
Sudah berkeliling, duduk di tepi sawah sambil mengamati perumahan yang akan dibangun secara utuh sampai beberapa tahun ke depan. Sementara itu, Nafis menuju pohon jagung dan mengambil beberapa jagung tua. Kapan lagi bisa memakan hasil bumi sendiri tanpa membeli? Ya saya rasa, di kota tak mungkin mendapatkan hal seperti itu, sebab tak ada lagi yang bisa ditanami di kota. Betapa masa kecil saya di Semalen penuh keceriaan, tak seperti masa tua yang dihabiskan pada lautan robot pekerja di belantara beton.
Empat buah jagung sudah dibawa pulang dan hari pun menjelang malam. Kelak, memori masa kecil saya mungkin akan benar-benar hilang, seperti hilangnya sawah-sawah masa kecil saya. Semua akan terhapus seperti terhapusnya lahan hijau di belakang rumah nenek saya dan berganti sawah-sawah beton dengan pagar tinggi yang dingin dan angkuh. Kalau bisa saya meminta… Kota… Tolong jangan datang ke desa, cukuplah kalian hancurkan kota, tak perlu mengambil seluruh desa masa kecil saya. Kalau bisa… :’)
Ya, ini saatnya pulang, kembali ke rumah lempung nenek, menikmati daging entog yang disembelih sendiri, menikmati jagung bakar yang dipetik sendiri, menikmati sayuran segar dari kebun sendiri dan menikmati sisa liburan pada rumah masa kecil yang entah akan jadi apa di masa depan nanti.
Leave a Reply