Coban Rondo, Bukan Sekedar Air Terjun

POSTED ON:

BY:

Kali ini, saya ingin bercerita tentang sebuah tempat yang saya kunjungi sebulan lalu. Pada tanggal 9 Mei, saya mendapat kesempatan untuk mengikuti acara gathering yang diadakan oleh Kaskus OANC. Acara ini akan diselenggarakan di Jawa Timur, dengan panitia yang notabene juga orang Jawa Timur. Acara gathering kali ini bertempat di sebuah camping ground yang adem dan sepi, yaitu Coban Rondo di daerah Batu, Malang.

Gath 3 kaskus, foto ngambil dari FR Gathnas OANC 😀

Kereta yang saya tumpangi menuju Malang agak terlambat beberapa jam. Yah, agak kesal juga sih. Apalagi, sepanjang perjalanan, kursi saya ditempati. Jadi, saya harus duduk di bordes kereta, rebutan dengan penumpang lain yang juga lebih nyaman duduk di sana. Hahaha. Di gerbong yang saya naiki, notabene penumpang adalah mereka yang ingin mendaki Semeru. Rupanya, euforia pendakian kali ini makin tinggi saja, terlebih lagi setelah film 5cm yang mengekspos keindahan Semeru meluncur di ranah perfilman Indonesia.

Turun dari kereta, matahari sudah tinggi. Malang kala itu, panas sekali. Sambil mencari tukang es yang sepertinya segar kalau disatroni siang itu, kami menunggu kabar dari panitia acara, untuk memberikan ancer-ancer ke lokasi gathering. Nah, setelah memesan satu porsi es doger, pesan teks dari panitia pun masuk ke salah satu telepon seluler teman kami.

“Ke terminal Landungsari saja dulu, dari situ nanti ke lokasi acara bareng yang lain,” kata Rombeng, salah satu panitia acara gathering Kaskus OANC yang ke-3.

Nah, maka, setelah menghabiskan satu porsi es doger, berikut perintilan (soto Lamongan dan nasi Padang), kami pun segera menaiki angkot merah yang akan segera menuju Landungsari. Hehehe, perintilannya kok nasi Padang yah. 😛

Di sepanjang jalan, angin sepoi-sepoi khas Malang, disertai panas matahari di atas kepala menghiasi perjalanan kami. Angkutan yang kami tumpangi tidak begitu penuh, sebab kami tak begitu membawa banyak barang. Jadi, satu daypack di masing-masing punggung peserta acara saja sudah cukup. Nah, singkat kata, kami sampai di Landungsari, disambut oleh Rombeng dan beberapa peserta lain. Kami mengisi perlengkapan yang dibutuhkan, seperti spirtus untuk bahan bakar trangia Kang Hilwan dan beberapa logistik untuk mengisi perut selama acara. Meski di tempat acara disediakan makan siang dan malam, rasanya kalau tidak memasak di camp site belum afdol gitu deh. Maka, setelah semua siap sedia, kami melanjutkan perjalanan menuju kota Batu, salah satu kota dengan buah Apel sebagai hasil tani kota tersebut. Kami melewati jalanan berliku, sempat ada longsor juga, melewati alun-alun kota Batu, sebelum akhirnya berbelok ke kanan, menanjak terus sampai ke Bumi Perkemahan Coban Rondo.

Suasana Tenda
sumber gambar dari Rombeng

Setelah mendirikan tenda di lokasi, esok paginya kami semua dibawa oleh panitia untuk mengunjungi air terjun Coban Rondo. Dari lokasi camp, kami harus berjalan sekitar 2 kilometer sampai ke lokasi air terjun. Jalannya cukup bervariasi juga, dari tanjakan sampai turunan yang ke semuanya dilapisi aspal. Mendekati lokasi air terjun, di bagian depan ada tempat parkir yang cukup besar untuk beberapa mobil besar, dan satu area untuk parkir motor. Di area parkir, terdapat warung-warung yang menjajakan makanan seperti sate kelinci, oleh-oleh khas Batu, juga t-shirt bertuliskan Coban Rondo, Not Just A Waterfall. Dan dari air terjun ini, yang membuat saya berdiam diri selama beberapa saat adalah legenda dari si air terjun itu sendiri.

Saya ingat, ketika teman saya di kereta berkata, “Eh, katanya kalau pasangan main ke Coban Rondo, besoknya jadi gak langgeng gitu yah Yu?”

Saya cuma bergumam, “Ya mana gue tahu. Gue kan nggak ngerti mitos.”

Karena papan itulah, saya jadi mencari-cari korelasi antara mitos yang dikatakan teman dengan legenda si air terjun.

Coban Rondo menyimpan legenda unik, bermula dari kisah sepasang pengantin yang baru saja melangsungkan pernikahan. Mempelai wanita bernama Dewi Anjarwati dari Gunung Kawi, sedangkan mempelai pria bernama Raden Baron Kusumo dari Gunung Anjasmoro. Setelah usia pernikahan mereka menginjak usia 36 hari atau disebut dengan Selapan dalam bahasa jawa. Dewi Anjarwati mengajak suaminya berkunjung ke Gunung Anjasmoro, yang merupakan asal dari suami. Namun orang tua Anjarwati melarang kedua mempelai pergi karena usia pernikahan mereka baru berusia 36 hari. Meski dilarang, kedua mempelai bersikeras pergi dengan resiko apapun yang mungkin terjadi di perjalanan.

Coban Rondo, camp site dan air terjunnya

Di tengah perjalanan, keduanya dikejutkan dengan hadirnya Joko Lelono, yang tidak jelas asal-usulnya. Nampaknya Joko Lelono terpikat dengan kecantikan Dewi Anjarwati, dan berusaha merebutnya. Akibatnya perkelahian antara Joko Lelono dengan Raden Baron Kusumo tidak terhindarkan. Kepada para pembantunya atau disebut juga puno kawan yang menyertai kedua mempelai tersebut, Raden Baron Kusumo berpesan agar Dewi Anjarwati disembunyikan di suatu tempat yang terdapat di sebuah Coban atau air terjun. Perkelahian antara Raden Baron Kusumo dengan Joko Lelono berlangsung seru dan mereka berdua gugur. Akibatnya Dewi Anjarwati menjadi seorang janda yang dalam bahasa jawa disebut Rondo.  Sejak saat itulah Coban atau air terjun tempat bersembunyi Dewi Anjarwati dikenal dengan Coban Rondo.  Konon di bawah air terjun terdapat gua tempat tinggal tempat persembunyian Dewi Anjarwati dan batu besar di bawah air terjun merupakan tempat duduk sang putri yang merenungi nasibnya.

Saya di atas bebatuan tempat Dewi Anjarwati
meratapi nasibnya 😀

Kurang lebih begitulah legenda yang berada di balik kemegahan Coban Rondo, air terjun setinggi 84m dan berada di ketinggian 1.135 mdpl. Airnya berasal dari sumber di Cemoro Dudo, lereng Gunung Kawi dengan debit 150 liter per detik pada musim hujan dan 90 liter per detik di musim kemarau.  Curah hujan rata-rata 1.721 mm/th, dengan bulan basah pada bulan November sampai bulan Maret dan bulan kering pada bulan April sampai dengan Oktober dengan suhu rata-rata berkisar sekitar 22°C.

Air terjun ini berada dalam wilayah KPH Perum Perhutani Malang Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan Pujon dan Resort Polisi Hutan Pujon Selatan Petak 89G.

Sebelum menjadi Coban Rondo, sebetulnya di atasnya ada air terjun kembar yang disebut Coban Manten. Mengalir ke bawahnya, air terjun itu menyatu menjadi Coban Dudo. Uniknya, Coban Dudo tersebut mengalir lagi ke bawah menjadi Coban Rondo.

Sumber air dari tiga air terjun tersebut berada di Kepundan, satu dataran yang tanpa pohon satu pun berada di atas Coban Manten. Mereka yang ingin melihatnya, selain harus berhati-hati juga perlu tenaga ekstra. Sebab, selain jalan licin, juga cukup jauh antara 3 sampai 4 km.

Nah, korelasinya sekarang jelas, antara mitos atau kabar yang tersiar dari mulut ke mulut mengenai putusnya sebuah hubungan dengan legenda Coban Rondo. Berarti, harus hati-hati juga ya jalan ke sana, mungkin lebih baik jalan sendirian. Siapa tahu, kalau jalan sendirian malah ketemu sama Joko Lelono. (eh…)

Hehehehe. Jadi, ternyata kisah-kisah legenda dari tempat wisata seperti air terjun ini, bisa menjadikannya bukan sekedar “air terjun”.

😉

lokasi: Coban Rondo,  Batu, Malang
stock photos: pribadi dan stock Rizqi Nurmizan, Rombeng, FR Gathnas dll
artikel terkait Coban Rondo, pustaka ditambahkan dari:  
https://sites.google.com/site/wisataairterjun/jawa-timur/coban-rondo—pandansari—malang


Related posts

14 responses to “Coban Rondo, Bukan Sekedar Air Terjun”

  1.  Avatar

    @cumilebay.com tempatnya rada-rada jauh sih Bang… yak, mungkin harus sewa angkot/carter rombongan… atau pake motor sewa, sekalian keliling kota Batu. heeee. 😀

    Like

  2.  Avatar

    Perna denger cerita mistis nya dari nyokap, zaman gw masih SMP dulu :(baca tulisan nya jadi penasaran pingin kesana

    Like

  3.  Avatar

    @Della kalo gak salah, Joko Lelono itu nama penerjemah yah Mama… :Dbtw, Joko Lelono di sini beda lagi tapiiii… @_@

    Like

  4.  Avatar

    Kayak pernah denger nama Joko Lelono. Kartunis ya? Atau apa? :DTragis legendanya, Yu.. T_T

    Like

  5.  Avatar

    @Indra Setiawan buset… yang ada saya menggigil kurus deh bang… heheeee…

    Like

  6.  Avatar

    Gak nyoba mandi pake selendang di sana?kali aja ada mas joko yg ngambil selendang y..hehe

    Like

  7.  Avatar

    @duabadai bisa, tapi tidak dianjurkan mandi ketika debit air sedang tinggi-tingginya, sebab di ketinggian itu, air pun beku. hehehehe… maksudnyaaa, dingin banget gituuuu… 😀

    Like

  8.  Avatar

    @Yusran Darmawan enak yah Pak? hheuuu… iya nih, baru sempet blogging lagi :Dmakasih Pak, udah mampir.

    Like

  9.  Avatar
    Anonymous

    Ayu, apakah pengunjung bisa mandi2 di air terjunnya? banyak pacet gak? pertanyaan standar menyangkut air terjun

    Like

  10.  Avatar

    hi Ayublogmu makin keren aja nih. desainnya oke. serta bacanya jadi lebih enak. kriuk.. kriuk..

    Like

  11.  Avatar

    @armae realisasikanlah kakaaaak, mumpung masih mudaaaaaaa ~

    Like

  12.  Avatar

    Baru baca kali ini mengenai legenda itu. Dulu taunya ya cuma rondo itu artinya janda.Dulunya juga sempat ada rencana ke Coban Manten, itu juga jalur menuju puncak gunung Kawi ato gunung Putri Tidur kalo gak salah. Tapi semua itu cuma rencana sampe sekarang hiks

    Like

  13.  Avatar

    @octarezka ah masa iya serem? kayaknya sih nggak serem-serem amat. wkwkwkwk. hihiii… mungkin ada, kalo di Jabar kan disebut Curug. Curug Nini sama Curug Aki. 😀

    Like

  14.  Avatar

    legenda nya serreem amatx_xcoban nenek-nenek atau kakek ad gak ya? 😀

    Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Search


Out Now!


Click banner to buy Not for IT Folks with discount!

Recent Posts


Tags


7 Divisi (7) Advertorial (4) Album Review (4) Antologi Ayu Welirang (4) Antologi HISTERY (2) Ayubacabaca (62) Ayu Welirang's Bibliography (9) Blogging Story (2) BS-ing everyday (7) Buku (63) Cabaca (3) Central Java (14) Cerita Detektif (7) Cerita Investigasi (4) Cerita Persahabatan (2) Cerpen (10) Cerpen dari Lagu (5) Drama (6) Editing Works (3) Februari Ecstasy (2) Fiksi Kriminal (3) Forest Park (2) Got Money Problem? (4) Halo Tifa (3) Heritage Sites (4) Hiking Journal (10) Hitchhike (4) Horror (3) Indonesia (37) Interview (2) Jakarta (10) John Steinbeck (3) Journal (18) Kopi (2) Kuliner (3) Kumcer (10) Latar Novel (2) Lifehacks (3) Living (4) Local Drinks (4) Local Foods and Snacks (5) Mata Pena (4) Media Archive (4) Menulis Adegan (2) Metropop (8) Mixtape (4) Mountain (18) Museum (2) Music Playlist (7) Music Review (4) My Published Works (13) NgomonginSeries (5) Nonton (6) Not for IT Folks (3) Novel Keroyokan (2) Novel Kriminal (4) Novel Thriller (3) On Bike (3) On Foot (4) On Writing (25) Pameran (2) Panca dan Erika (3) perjalanan dalam kota (3) Photo Journal (12) Potongan Novel Ayu Welirang (3) Publishing News (3) Review (72) Riset Tulisan (2) Rumah Kremasi (2) Santai (10) Sayembara-Novel-DKJ (3) Sci-fi (6) Sequel (4) Serial Detektif (2) Series Review (5) Short Stories (11) South Tangerang (1) Sumatera (3) talk about living my life (3) Tentang Menerbitkan Buku (7) Terjemahan (6) Things to do in Jakarta (4) Thriller (7) Tips (35) Tips Menulis (28) to live or not to live (6) Translation Works (6) Travel Guide (3) Traveling (4) Travel Notes (2) Travel Stuff (2) Waterfalls (2) Wedding Preparation (5) Wedding Vendor Bandung (3) West Java (15) Worldbuilding Novel (2) Writing for Beginner (27) Writing Ideas (17) Writing Journal (38) Writing Prompt (9)

Newsletter


Create a website or blog at WordPress.com

%d bloggers like this: