Akhir Maret ini kalender sedang bersahabat. Long weekend yang benar-benar membuat mata langsung tertuju pada referensi tempat-tempat menyenangkan untuk dijelajahi dan pilihan pun jatuh pada Gunung Dempo di Pagar Alam, distrik Palembang. Berawal dari ajakan seorang teman dengan niat awal mendaki santai berjumlah tiga orang personil, jadi mendaki kebut-kebutan berjumlah tujuh orang personil. Hehehe. Dan inilah hasil dari perjalanan empat hari yang penuh sukacita juga derai tawa di sepanjang perjalanan. Selamat menyimak.
 |
Background Pelataran Dempo, diambil dari Kawah Marapi |
Pendakian kali ini memakan waktu empat hari penuh. Perjalanan menuju Pagar Alam dengan jalur darat memakan waktu kurang lebih 20 jam, dan kemarin bis yang kami tumpangi sempat mengalami masalah pada ban (gara-gara supir bis gila), sehingga perjalanan pun jadi 24 jam alias 1 hari lamanya.
Siap-siap naik bis Sinar Dempo dari pool Bitung sambil menunggu tim dari Jogja dua orang, dan Bogor satu orang. Jam 12 siang sudah stand by di Bitung, dan bis pun datang jam dua. Tim Jogja dan Bogor sudah naik dari Kalideres, dan kami bertemu di Bitung itu. Memang awalnya agak canggung dengan semua, karena saya hanya kenal satu orang dari enam orang yang ikut naik. Tapi, lama-lama semuanya melebur jadi satu, seperti sudah jadi saudara sendiri. Hehe.
Bis mulai jalan jam 14.45 dan langsung menuju Merak. Dari Merak masuk dermaga lima dan tidak mengantri lama karena lalu lintas pelabuhan tidak begitu padat. Dan setelah masuk, saya dengan yang lain langsung menuju dek kapal, menikmati laut dan menunggu sunset Kamis yang menyenangkan.
 |
Dermaga Lima |
 |
Sunset :’) |
Singkat cerita, di Lampung terjadi insiden. Dan inilah awal mula keterlambatan perjalanan. Supir bis terlalu menikung ketika masuk pom bensin dan ban belakang pun kena. Hancur sudah. Hampir empat kali ganti ban di sepanjang perjalanan menuju Pagar Alam. Estimasi 20 jam menjadi 24 jam dan membuat kami harus memaksa diri untuk naik Dempo di sore hari. Melewati ganti ban beberapa kali, akhirnya bis pun sampai di Pagar Alam pada hari Jum’at, 29 Maret 2013 sekitar jam 14.40, bayangkan betapa sorenya kami sampai. 😦
Makan di warung sambil menunggu Bang Djal nego angkutan yang bisa dicarter sampai Rimau. Setelah dapat kendaraan, jam 15.00 kami berangkat menuju awal pendakian di Tugu Rimau. Sampai Rimau jam 16.30, membayar retribusi dan mulai mendaki, tanpa basa-basi. Yaaa maklum lah, mengejar waktu. Hehehe.
 |
Start pendakian. Kiri ke kanan: Bang Apuy, Bang Djal, Mbah Batok, Mas Imet, Mbak Henny, Mbak Prapti, saya |
Melewati tanjakan tiada ampun selama 7 jam 30 menit, akhirnya tepat jam 24.00, kami sampai di puncak Top Dempo. Ada tanah datar yang cukup untuk tiga tenda kami, akhirnya kami memutuskan untuk camp di sana dan tidak turun ke Pelataran. Lagipula, badan sudah diforsir karena tanjakan tanpa ampun dan hujan rintik yang coba untuk menumbangkan kami. Setelah tenda jadi, masak-masak sedikit, makan, bikin kopi, dan akhirnya tidur dalam mimpi masing-masing sekitar jam dua pagi. Cuma saya yang nggak tidur dan begadang sendiri di tenda. Haduh. -_-
 |
Tanjakan Syaiton -_- |
Baru mau menutup mata jam 05.00, yang lain sudah terbangun. Mereka mulai masak-masak lagi, sarapan, bikin minuman hangat dan saya tidak jadi tidur lagi. Alhasil, saya tahan mata saya yang mulai berat dan ingin tidur itu dengan kopi pagi. Sudah sarapan, semua bersiap untuk menuju Pelataran dan tracking ringan lagi ke Puncak Kawah Marapi.
Pagi yang cerah di Pelataran, menuju Kawah Marapi. Berjalan santai menikmati lembah hijau Pelataran dengan pemandangan ke arah bukit menuju Kawah Marapi. Tampak di beberapa titik, tenda-tenda lain yang terparkir warna-warni di sekitar Pelataran. Tidak begitu ramai, mungkin karena masih hari Sabtu pagi, belum banyak yang naik sejak hari Jum’at. Suasana di lembahan cukup hening dan mendamaikan.
 |
Jalan pagi-pagi 😀 |
 |
Itu ijo-ijo 😀 |
Tracking ringan menuju Puncak Kawah Marapi mungkin hanya sekitar 20 menit saja. Saya saat itu agak kepayahan juga karena belum tidur semalaman. Namun, setelah sampai di puncak, semua lelah dan penat saya terbayar dengan pemandangan kawah, juga pemandangan ke arah tanah Sumatera, dan di bagian selatan, di belakang Pagar Alam, terlihat lautan sisi Bengkulu yang tenang. Ah, Sumatera. Betapa tenangnya suasana di puncak sana.
 |
Kawah Marapi |
 |
Rombongan lain |
Cukup lama berdiam di puncak, mengambil foto dan duduk sejenak. Mencoba untuk bersyukur lagi karena Tuhan telah berkali-kali membuat saya berdecak kagum atas salah satu surga kecilnya yang dititipkan di Indonesia. Saya duduk sambil menikmati makanan ringan dan menahan kantuk yang amat terasa. Apalagi, angin sepoi-sepoi menambah kantuk menjadi lebih kuat lagi. Hehehe.
Menikmati keindahan dan mengabadikannya ke dalam foto sudah selesai, meskipun belum cukup puas, dan sudah pasti tak akan pernah puas. Namun, waktu telah memaksa kami semua untuk kembali ke lokasi camp. Akhirnya jam setengah sembilan kami turun dari Puncak Kawah Marapi. Salam perpisahan semoga bisa kembali lagi.
Tigapuluh menit berlalu dan kami sampai di camp Top Dempo sekitar pukul 09.00 WIB. Packing barang-barang dan sisanya memasak. Kabut menyapa. Beruntung, kabut tidak menghilangkan harapan kami ketika berada di Puncak Kawah, sehingga masih bisa menikmati keindahan kawahnya. Buru-buru kami packing dan turun sekitar pukul 10.00 WIB. Perjalanan turun kami dihiasi gerimis lagi, kabut masih mengelilingi.
 |
Yuks pulang! 😀 |
Turun lewat jalur Kampung IV karena sudah kapok dengan jalur Rimau dan tanjakan tanpa ampunnya. Daripada harus bersalto ria sampai di bawah, lebih baik kami cari yang landai saja. Tapi nyatanya, jalur Kampung IV sama beceknya. Lumpur hampir menenggelamkan kaki saya sampai setengah betis. Tak jarang saya jumpai beberapa pacet kecil menempel di kaki. Duh, ya sudahlah. Untunglah fase turun kami cukup stabil meski diguyur hujan, sehingga sebelum waktu Maghrib tiba, kami sudah mencapai Pintu Rimba, batas vegetasi antara kebun dan hutan montana di Gunung Dempo.
 |
Kondisi turun basah semua -_-“ |
Kebut berjalan agar sampai di kebun teh pada waktu Maghrib, karena sudah lelah sekali dan ingin segera menikmati secangkir kopi, teh, juga mie rebus. Hehehe. Sekitar jam setengah tujuh, kami sampai di warung yang biasa disinggahi para pendaki. Kami pun mengistirahatkan diri, bersih-bersih, dan bersiap lagi untuk pulang.
Jam sembilan malam, mobil carter dengan nego Bang Djal yang sadis akhirnya sampai di Kampung IV. Kami dan ransel-ransel penuh lumpur memasuki mobil satu per satu. Berjalanlah mobil dan kami mengistirahatkan diri di perjalanan pulang. Sepanjang perjalanan memacu adrenalin, karena supir mobil membawa mobil bergaya racing. Hehehe. Jalan berkelok-kelok dan kami pun membuai diri dalam tidur yang setengah-setengah. Singkatnya, sampai di Terminal Rajabasa hari Minggu siang, sekitar pukul duabelas dan lanjut perjalanan ke Bakauheni. Sampai Bakauheni jam setengah tiga, bis ngaret karena berjalan pelan sekali. Kesal sekali saat itu. Tapi, sekali lagi pemandangan laut menyelamatkan saya dari kekesalan itu. Duduk kembali di dek kapal sambil bergumam, “We love Indonesia.” Seperti kata-kata yang tertulis dalam kapal ferry ASDP. Ya, inilah kami. Pejalan yang lelah di tengah samudera yang luas. Inilah kami, petualang yang tak henti bergumam, “Tuhan Maha Keren” di sepanjang bumi berpagar hijau. Dari semesta kami berhimpun, menyatu dalam satu buaian indah yang sama. Selamat pulang, dan bukan ini akhirnya… 🙂
“Bangun sebab pagi terlalu berharga tuk kita lalui, dengan tertidur. Bangun sebab hidup terlalu berharga tuk kita lewati dengan bersungut-sungut. Berjalan lebih jauh, menyelam lebih dalam. Jelajah semua warna, bersama…” — Banda Neira, Berjalan Lebih Jauh
Sekelumit kisah kecil dari kami, para pejalan yang merindu hangatnya rumah, keluarga, kebersamaan. Dari semesta, kami berhimpun, merenda satu mimpi yang sama. Di sana, di ketinggian sana, Tuhan lebih tahu apa yang hambanya mau. 🙂
Jakarta, 01 April 2013
.:dari semesta menuju pagar hijau
Catatan kaki:
- Bis Sinar Dempo ke Pagar Alam @ Rp 150.000,-
- Carter angkutan sampai Rimau @ Rp 20.000,-
- Carter mobil pulang sampai Rajabasa @ Rp 155.000,-
- Bis Rajabasa – Bakauheni AC (tapi dusta AC-nya) @ Rp 22.000,-
- Kapal Ferry @ Rp 11.500,-
- Bis Merak – Rambutan @ Rp 20.000,-
- Total biaya akomodasi: Rp 378.500,-
Pesan:
Bagi kawan-kawan yang mau ke Gunung Dempo, silakan cari referensi sebaik-baiknya dan siapkan tingkatan sabar anda, karena jalur Rimau kadang memberi harapan palsu. Hehehehe. Jangan lupa, jago-jago nawar kendaraan biar pulangnya gampaaang. Hehehe.
Have a good trip, mates! 🙂
Leave a Reply