Jurnal Perjalanan: Hilang Arah di Cianjur, 20Km Menuju Gunung Padang

POSTED ON:

BY:

Rencana hadir tak bisa diduga. Seperti sebuah perjalanan singkat yang mendadak dilakukan. Seperti hari Minggu, 27 Januari 2013 kemarin, di mana saya dan Mizan memutuskan untuk menyusuri jalan panjang menuju situs megalitikum Gunung Padang di Cianjur.
Awalnya, saya berniat untuk pergi sendiri ke daerah adat Baduy di Banten sana. Saya memberitahu rencana ini ketika sedang nongkrong di Ciputat bersama kawan-kawan reklame. Mizan berpesan bahwa ke Baduy tidak cukup sehari, kalau memang berniat untuk melihat kultur yang ada, bukan sekedar datang dan berfoto. Maka, pilihan kedua saya jatuhkan ke situs megalitikum Gunung Padang yang sekarang sedang santer terkenal di se-antero Indonesia. Mizan pun bersedia mengantar saya dan berangkatlah kami pada pagi harinya.
Berbekal mata yang selalu ingin terpejam karena semalam habis nongkrong di Situ Gintung sambil bergitar dan berbincang yang aneh-aneh, saya dan Mizan berangkat pagi-pagi sekali menuju terminal Kampung Rambutan. Naik 510 dari Ciputat dan sampailah kami di Pasar Rebo, sebuah putaran jalan dimana semua bis yang keluar dari Rambutan sudah pasti melewatinya. Bis menuju Garut via Puncak pun lewat dan setelah negosiasi, naiklah kami. Beruntung kami mendapatkan kursi yang nyaman, sehingga bisa menambal hutang tidur yang belum dibayar.
Sepanjang jalan kami tertidur dan dua jam kemudian, kami terbangun dan mendapati diri kami sudah dekat dengan daerah Cianjur. Turunlah kami di by-pass, dan menepi sejenak untuk minum kopi sambil sarapan. Cuma sarapan gorengan sih, tapi ya sedikit menambal perut kami yang karet ini. Hehehe. Sudah makan, kami tak naik angkot, dan mulailah perjalanan panjang kami.
Warungkondang, masih 20Km lagi ke Gn. Padang :hammer:
Kami jalan kaki, mungkin sekitar lima kilometer sampai ke daerah Joglo. Di Joglo, kami sambung angkutan kota untuk ke Warungkondang, gerbang pertama menuju Gunung Padang. Sampai di Warungkondang, rupanya kami masih harus berjalan lagi 20 kilometer ke lokasi sebenarnya. Dan setelah menimbang, untuk sedikit menghemat biaya, kami berjalan kaki dulu. Nanti, kalau sudah menyerah barulah kami naik angkot, ojek, atau numpang truk. Hehehehe.
Berjalan sekitar enam kilometer dengan tanjakan yang tidak ada habisnya membuat kami lelah. Berhubung dadakan, kami belum banyak persiapan. Nasi bungkus tak ada, warung nasi pun tak kami temukan di sepanjang jalan. Hanya ada warung kecil saja. Jadi, Mizan berhenti untuk membeli stock rokoknya dan saya pun membeli ali agrem. Itu lhooo, makanan semacam donat yang kecil-kecil warna coklat itu. Kalau tidak salah, bahannya dari gula merah dan…hmm, apa ya? Lupa juga. Hehehehe. Sudah belanja keperluan seadanya, kami lanjut jalan.
Mungkin sudah 10 kilometer kami berjalan. Karena benar-benar sudah lelah, kami menepi dan menunggu truk. Akhirnya, supir truk yang baik hati pun mau memberi tumpangan. Kami naik truk sampai 2 kilometer. Dari sini, kami lanjut naik angkutan terakhir, sampai ke Stasiun Lampegan. Dari stasiun ternyata masih 6 kilometer lagi! Haduh, capeeeeek sekali. 😥
Numpang truk
Stasiun Lampegan – masih 6Km ke Gn. Padang
Tanjakan aspal masih menghiasi sepanjang jalan. Hanya saja, panas sudah tergantikan oleh teduhnya pepohonan yang berselang-seling di antara perkebunan teh. Sesekali kami berhenti sambil berharap ada angkutan yang bisa kami tumpangi. Tapi, truk dan mobil pick-up itu tak kunjung kami temui. Huhuhu. Gempor deh.
Jalan dan jalan kaki. Kami sampai di desa terakhir, kira-kira masih tiga kilometer lagi ke Gunung Padang. Di sini, kami beristirahat lagi dan membeli makanan kecil, karena ali agrem tadi pagi belum cukup mengganjal perut kami. Setelah makan, kami berjalan lagi menyusuri jalur berbatu. Sampai di perempatan tugu, kami masih harus berjalan dua kilometer lagi. Dan setelah berjalan terus, kami sampai juga di lokasi. Ada gerbang yang bertuliskan, “Situs Megalitikum Gunung Padang Cianjur”. Di sini kami mulai mencairkan lelah lagi, karena akhirnya sampai pada tempat yang dituju.
Pemandangan Bukit 
Tanjakannya kayak gitu tuuuuhhh, panas 😦
akhirnya sampai juga
Kami membayar retribusi lokasi wisata dan bersiap mendaki. Ada dua jalur untuk sampai di punden ke lima Gunung Padang. Jalur yang dibuat pemerintah memang lebih panjang dan memutar, tapi kita tidak akan kelelahan karena sudah dibuat tangga semen. Kalau lewat jalur aslinya, mungkin lebih melelahkan, karena kita harus menapaki anak tangga dari batu megalit asli dengan sudut kemiringan yang lumayan mengenaskan. Aduh, kalau lihat dari atas, mungkin semacam tangga menuju kuil-kuil di Tibet sana. 
Lelah juga menapaki tangga, tapi itu tak lama. Kita akhirnya sampai di punden pertama. Menurut informasi salah satu guide, Kang Yusuf, situs Gunung Padang ini sudah berdiri sejak 10.000 tahun SM. Bayangkan! Lebih tua mana dari Macchu Picchu? Bahkan, dikatakan pula bahwa Gunung Padang ini adalah rekonstruksi yang sama seperti di Macchu Picchu sana. Dan saat ini, dia berdiri di Indonesia, dengan lima punden dari sebuah konstruksi bangunan punden berundak tua. Sudah patutlah kita bangga! 
Gunung Padang terdiri atas susunan batu andesit yang saling menganyam. Kalau melihat sejarah lama, memang bisa ditemui candi-candi, tapi tak ada yang setua Gunung Padang. Menurut penuturan Kang Yusuf, Gunung Padang ini adalah tempat berkumpul orang-orang suci, semacam tempat peribadatan leluhur yang dulu tinggal di sana. Itu juga bisa dilihat dari kata Padang, di mana merupakan penggabungan antara Pada dan Hyang, yang artinya adalah Tempat Orang Suci. 
Tangga batu andesit, lumayan curam
Penggalian Gunung Padang sekarang sedang dihentikan, dengan hanya menyisakan punden berundak di pucuknya saja. Padahal, kalau tangga naiknya saja sepanjang itu, sebesar apakah bangunannya? Cobalah bermain logika. Mungkin, Gunung Padang ini adalah salah satu situs bersejarah yang tak banyak orang tahu. Karena tak begitu diekspos, tak ada yang tahu juga kalau Indonesia pernah memiliki peradaban maju, dimana hal ini mungkin bisa jadi semangat bagi bangsa Indonesia yang memiliki mental sebagai “bangsa terjajah”. Dan saat berjalan turun, masih ada sekelumit pertanyaan dalam benak saya. Siapakah sebenarnya yang pernah membangun konstruksi semegah dan sekokoh itu? Andai saya bisa mencari tahu, mungkin saya akan senang mengabdikan hidup pada kegiatan arkeologi semacam itu.
Punden pertama

Ini semacam tempat duduk atau ruang makan (?)

Punden kelima, dilihat dari atas saung
Kuntet Mangkudilaga (tokoh Kafir Satanic)
lagi semedi
Sudah sampai di bawah, kami pun bersiap turun ke kota. Kali ini, kami memutuskan untuk naik ojek saja karena hari sudah mulai malam. Kami tak mungkin memaksakan jalan sampai ke terminal, karena pasti akan kelewat malam sekali, mengingat perjalanan awal yang cukup menghabiskan waktu. Setelah berpuluh-puluh kilometer naik ojek trail, kami pun sampai di terminal dan bersiap pulang. Perjalanan satu hari itu rasanya tak puas, karena tak banyak yang kami pelajari. Mungkin, kami akan kembali lagi ke sana, dengan rencana yang lebih matang. [Ayu]

P.S. Rute dan Transport ke Gunung Padang dari Jakarta
Bis Kp. Rambutan – Garut via Puncak Rp 20.000,- turun di Cianjur
Cianjur – Warungkondang Rp 4000,- (naik sampai Joglo baru sambung angkot 43)
Ojek sampai gerbang situs Rp 30.000,- (nego aja sepinter-pinternya. hehe)
Retribusi / Karcis Masuk Rp 2.000,-

Have a good trip, mates! 🙂


Related posts

4 responses to “Jurnal Perjalanan: Hilang Arah di Cianjur, 20Km Menuju Gunung Padang”

  1.  Avatar

    @Mugniar Marakarmaiya nih Mama, jalan-jalan lepas penat. 🙂

    Like

  2.  Avatar

    @Stupid monkeydeket om Manki, Gunung Padang warisan leluhur Indonesia. 🙂

    Like

  3.  Avatar

    Waah asyiknya yang baru jalan2 🙂

    Like

  4.  Avatar

    hmmm … ane malahan belum pernah tuh ke situ, padahal deket aja ya 😀

    Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Search


Out Now!


Click banner to buy Not for IT Folks with discount!

Recent Posts


Tags


7 Divisi (7) Advertorial (4) Album Review (4) Antologi Ayu Welirang (4) Antologi HISTERY (2) Ayubacabaca (62) Ayu Welirang's Bibliography (9) Blogging Story (2) BS-ing everyday (7) Buku (63) Cabaca (3) Central Java (14) Cerita Detektif (7) Cerita Investigasi (4) Cerita Persahabatan (2) Cerpen (10) Cerpen dari Lagu (5) Drama (6) Editing Works (3) Februari Ecstasy (2) Fiksi Kriminal (3) Forest Park (2) Got Money Problem? (4) Halo Tifa (3) Heritage Sites (4) Hiking Journal (10) Hitchhike (4) Horror (3) Indonesia (37) Interview (2) Jakarta (10) John Steinbeck (3) Journal (18) Kopi (2) Kuliner (3) Kumcer (10) Latar Novel (2) Lifehacks (3) Living (4) Local Drinks (4) Local Foods and Snacks (5) Mata Pena (4) Media Archive (4) Menulis Adegan (2) Metropop (8) Mixtape (4) Mountain (18) Museum (2) Music Playlist (7) Music Review (4) My Published Works (13) NgomonginSeries (5) Nonton (6) Not for IT Folks (3) Novel Keroyokan (2) Novel Kriminal (4) Novel Thriller (3) On Bike (3) On Foot (4) On Writing (25) Pameran (2) Panca dan Erika (3) perjalanan dalam kota (3) Photo Journal (12) Potongan Novel Ayu Welirang (3) Publishing News (3) Review (72) Riset Tulisan (2) Rumah Kremasi (2) Santai (10) Sayembara-Novel-DKJ (3) Sci-fi (6) Sequel (4) Serial Detektif (2) Series Review (5) Short Stories (11) South Tangerang (1) Sumatera (3) talk about living my life (3) Tentang Menerbitkan Buku (7) Terjemahan (6) Things to do in Jakarta (4) Thriller (7) Tips (35) Tips Menulis (28) to live or not to live (6) Translation Works (6) Travel Guide (3) Traveling (4) Travel Notes (2) Travel Stuff (2) Waterfalls (2) Wedding Preparation (5) Wedding Vendor Bandung (3) West Java (15) Worldbuilding Novel (2) Writing for Beginner (27) Writing Ideas (17) Writing Journal (38) Writing Prompt (9)

Newsletter


Create a website or blog at WordPress.com

%d bloggers like this: