Kantor baru, semangat baru. Jadwal kerja dan jadwal liburan pun baru! Hehehehe.
Di hari Natal dan Tahun Baru, saya mendapat libur beberapa hari. Bersyukur sekali, karena akhirnya saya bisa melakukan perjalanan lagi ke belahan bumi berikutnya di Indonesia. Dan liburan kali ini, saya habiskan bersama tiga orang kawan untuk mendaki dan mentafakuri keindahan Gunung Sumbing di Wonosobo.
Hari Jum’at, tanggal 28 Desember 2012, jam tiga sore kami berkumpul di terminal Lebak Bulus. Saya, Kang Hilwan, Bang Farhan, dan Mbak Titi bersiap lalu berangkat menuju Wonosobo dengan bis ekonomi. Sekitar 12 jam perjalanan menyusuri pantura dan berbelok ke Purwokerto, kami akhirnya sampai di Wonosobo. Tanya sana tanya sini, sampai ditipu supir angkot yang malah membawa kami ke Tambi – Sindoro, kami pun kembali menumpang angkutan sampai ke Garung Reco. Ternyata, daerah bernama Garung itu di Wonosobo ada dua tempat. Yang satu sebelum agrowisata Tambi, dan satu lagi ada di Kertek. Setelah tertipu, kami pun akhirnya sampai di Garung Reco, Kertek. Nah, bagi yang ingin mendaki gunung Sumbing, turun bis di Terminal Wonosobo saja, dan naik angkutan jurusan Magelang, turun di pos pendakian Sumbing, Garung Reco, Dusun Butuh.
Setelah sampai, kami berjalan sekitar setengah kilometer menuju basecamp Sumbing. Di sini, kami mengisi data dan membayar retribusi sebesar empat ribu rupiah per kepala. Sudah mengisi data dan membayar retribusi, kami mendapat peta sederhana di mana terdapat dua jalur mendaki, yaitu jalur lama dan baru. Setelah menimbang dan memilih, akhirnya kami memilih jalur baru yang cukup curam untuk didaki, karena di sepanjang jalur masih ada sumber air. Maklum lah, kami kan manusia gelonggongan. Hehehe.
 |
Basecamp Sumbing. Dari kiri ke kanan: Mbak Titi, Saya, Kang Hilwan, Bang Farhan |
Mulai mendaki sekitar jam setengah sepuluh pagi. Kami menyusuri desa dan ladang-ladang petani. Berjalan santai dan tidak memburu waktu, karena kami memang tak memburu apa-apa. Kami hanya menikmati pemandangan yang disuguhkan oleh Dusun Butuh saja. Sampai di batas vegetasi antara ladang dan hutan, kami mulai disuguhi tanjakan-tanjakan yang cukup curam dan sudah pasti, LICIN! Licin banget lhooooo.
Kabut turun perlahan, dan rintikan hujan mulai bertahan di jalur kami. Meskipun begitu, niat kami untuk segera sampai shelter Pos 2, tetap tertanam dalam hati. Apapun yang terjadi, target kami hari itu adalah sampai dulu di Pos 2. Sebelum Pos 2, kita akan melewati Pos 1 Bosweisen di mana bisa mengambil air dari mata air sebelum Bosweisen. Nah, setelah mendaki santai, kami sampai di Pos 2 sekitar pukul setengah tiga sore. Lima jam sampai di Pos 2, ya maklum lah. Namanya juga santai. Hahahaha. Di Pos 2, kami mendirikan tenda. Waktunya memasak!
 |
mata air sebelum Bosweisen |
 |
sunset dari belakang shelter Pos 2 |
Makan sudah, ngopi-ngopi juga sudah. Nah, sekitar jam delapan malam, tibalah sesi curhat dan bincang-bincang. Tapi, hujan mulai mengguyur kami dengan derasnya. Kami pun masuk tenda dan berakhirlah sudah. Teman saya rupanya bangun tengah malam. Langit cerah dan bulan sedang penuh-penuhnya. Purnama yang sangat sempurna di hari itu. Sayang, teman saya bilang, ketika saya dibangunkan, saya tidak bangun. Dia bilang juga, kalau saya tidur seperti orang mati. Ya sudahlah, mungkin belum takdirnya untuk melihat purnama yang hampir menabrak bumi. Hehehehehe.
Pagi-pagi, saya dan Bang Farhan memasak sarapan. Kami membuat sereal yang dicampur dari beberapa jenis makanan. Entah bagaimana rasa makanan itu di lidah teman-teman, tapi yang jelas makanan itu habis seketika. Entah lapar atau rakus, saya juga tidak tahu. Hehehehe. Setelah sarapan sekenyang-kenyangnya (meskipun kurang), kami pun packing barang yang dibutuhkan untuk segera summit. Niat untuk summit attack jam tiga pagi terabaikan karena kami semua memang “jago molor dan ngorok”.
 |
yang masak mah masak, molor ya molor |
Minggu pagi, jam delapan kami mulai mendaki. Tenda kami tinggalkan saja, karena kami punya firasat kalau kami pasti camp sehari lagi di Sumbing, mengingat kondisi cuaca yang tidak memungkinkan untuk ngageder turun gunung. Nah, barang-barang penting kami bawa dan mulailah kami mendaki lagi jalur licin nan curam. Kami sampai di pos “in memoriam Tri Antono” dan berdoa sebentar. Setelah itu, kami pamitan dan naik lagi. Saya dan Kang Hilwan berjalan jauh di depan, sementara dua teman kami tertinggal. Karena kagok, daripada berhenti di tengah jalur, kami teruskan saja perjalanan sampai Pasar Setan. Cukup cepat juga langkah kami, dan beberapa menit kemudian, dua teman kami barulah sampai di Pasar Setan atau Pestan. Di Pestan, kami menyempatkan diri untuk bersantai, memandangi Sindoro di depan kami sambil tak henti-hentinya kagum. Saya sempat berceloteh, “Tuhan Maha Keren!” beberapa kali dan entah euforia apa yang menjangkiti saya. Saat itu, langit mulai menghitam lagi. Rintik hujan turun perlahan, dan inilah saatnya kami mulai menempa diri untuk menyusuri sepanjang sabana yang cukup vertikal, sampai ke Pasar Watu.
 |
jempol saya di samping Sindoro 😀 (sebelum Pestan) |
 |
Tanjakan setelah Pestan. Memandang kota dan mendung dari kejauhan. |
Saya merasa langkah saya dan Kang Hilwan terlalu cepat. Beberapa kali, kawan kami tertinggal. Akhirnya sampai di tanjakan menuju Pasar Watu, kami duduk sejenak di bebatuan. Kami keluarkan makanan kecil, karena perut kami mulai berbunyi. Perut minta diisi. Untuk memasak, sepertinya tidak pas kalau di Pasar Watu, karena angin menyapa kami dengan ganasnya. Kami pun duduk di bebatuan sambil ngemil. Sekali lagi, entah lapar atau rakus, cemilan pun habis dengan segera. Hahahaha. Beberapa menit kemudian, teman kami yang tertinggal akhirnya sampai dan kami pun ngemil bersama. 😛
Mbak Titi agak terkilir kakinya, jadi saya putuskan untuk berjalan pelan saja. Lagipula, hujan menambah lelah jadi lebih parah. Stamina kami dihajar habis-habisan. Hujan terus dan yang saya takutkan adalah petir yang kala itu mulai bersahut-sahutan. Sudah makan cemilan, kami putuskan untuk mendaki lagi, setidaknya sampai Watu Kotak, karena di situlah kami bisa terlindung dari hujan angin yang seperti hendak menelan kami.
 |
tertahan hujan – Watu Kotak |
Di Watu Kotak, kami disuguhi dua tenda yang rubuh karena badai. Kami pun memasang perlengkapan masak di dekat tenda yang tak bertuan itu. Mungkin pemiliknya sedang summit. Aduh, kami jadi bergidik sendiri, karena kami tidak mungkin memaksa diri untuk sampai ke puncak. Setidaknya, sudah sampai Watu Kotak pun sudah sangat bersyukur. Dan benar saja, rintikan hujan mulai mengguyur kami dengan deras. Kami pindahkan peralatan masak ke cerukan batu di bawah kami, agar terlindung dari arah datangnya angin dan hujan. Kami memasak dan menghangatkan diri, sementara Bang Farhan menadah air untuk menutup persediaan air yang mulai tipis. Saya dan Kang Hilwan mulai berpikir lagi, apakah kami harus ke puncak atau tidak? Begitulah polemik Watu Kotak terjadi. Sekitar dua jam kami berlindung di Watu Kotak dari hujan, angin, dan petirnya. Dan sekitar pukul setengah satu, hujan mulai reda. Akhirnya, saya memutuskan untuk summit, dengan Kang Hilwan saja. Mbak Titi terkilir kakinya dan Bang Farhan memutuskan untuk menjaga Mbak Titi saja. Sudah fix, saya segera kenakan ponco bak tukang ojek dan mulai mendaki.
Interval waktu yang saya dan Kang Hilwan rasakan, cukup cepat. Sekitar tiga puluh lima menit saja, kami sudah sampai di Puncak Buntu Gunung Sumbing. Meski hujan mengguyur kami, kami tetap berpijak pada tanah-tanah vulkanik yang licin. Dan saya berdoa dalam hati, agar ketika sampai puncak Sumbing, saya diberikan cuaca yang cerah. Benar saja, sampai di puncak, hujan berhenti. Sungguh ajaib! Berhentinya tiba-tiba! Waaaah, pemandangan kota Wonosobo terlihat keren sekali! Meskipun Sindoro tertutup awan, puncaknya tetap mengintip pada kami di atas tanah Sumbing.
 |
Sindoro mengintip di kejauhan |
Sudah foto-foto dan berkeliling menikmati pemandangan, kami memasak air panas untuk menghangatkan badan kami yang diguyur hujan sepanjang jalan. Karena jari sudah kaku semua, maka kami hangatkan dengan uap airnya. Ngopi-ngopi lagi deh! Oh ya, saya sempat menulis sesuatu di dalam pikiran. Kiranya, sebuah puisi. Silakan nikmati. 🙂
Tuhan dan Pertanyaan
Mengapa Kau mencipta?
Apa yang hendak Kau bagi, pada kami, Tuhan?
Ini bumi sungguh indah, berharga bak permata
Ini langit sungguh kelam, kontras dengan tatapan ke depan
Tuhan, kami sungguh takut
jika nanti kami selalu bergelut
dengan mimpi-mimpi yang lamat
menelan kami bulat-bulat
Tuhan, biarkan kami berjalan
menapaki inci bumi dan keindahan
yang Kau ciptakan
sesungguhnya untuk kami rapalkan
dalam doa…
pada semesta…
Tuhan
ini hanya pertanyaan
akan hal-hal yang tak tertahan
sebagai cara mencintai Kau, Tuhan…
mereka ada
pada tiap resah
tiap marah
dan jejak langkah
Tuhan, tapak ini untukMu
tapak ini untuk bumiku
dan perhambaan padaMu
Tuhanku…
jejak langkahku…
Wonosobo, 30 Desember 2012
Saatnya berpisah dengan puncak Sumbing. Hiks. Sedih juga rasanya. Sepertinya damai sekali di atas sana. Tapi, bagaimanapun kami harus turun karena kami harus sudah sampai di Pos 2 sebelum senja tiba. Dua puluh menit kami turun dengan cepatnya, seperti tupai melompat-lompat dan sampailah kami di Pestan. Di Pestan sudah ada Bang Farhan dan Mbak Titi. Setelah kabut di jalur baru tersibak, kami pun berpamitan dengan pendaki yang kami temui di Pestan dan segera menyusuri jalur baru untuk turun ke Pos 2.
Hari mulai gelap, dan kami mempercepat langkah. Saya agak phobia dengan suara ayam hutan, maka saya melangkah lebih cepat lagi. Dan beruntungnya kami, sebelum senja datang, kami sudah sampai di Pos 2. Segera kami rapikan kembali tenda yang sudah berubah bentuk di sana sini sejak terakhir kami tinggal. Sudah rapi, waktunya menyapa Maghrib.
Senja berlalu dan langit pun kembali tak bersahabat. Hujan mengguyur kami lagi dan secara terpaksa, kami pun mempercepat hari esok dengan tidur di tenda. Saya sendiri tidak tidur, maka dengan sisa-sisa baterai di telepon seluler saya, saya putar lagu Slank – Foto Dalam Dompet. Hahahahaha. Galau masbroooooooo! Lama-lama, saya juga tidur dengan sendirinya.
Pagi tiba, langit cerah. Burung-burung berkicau dan saya menuju ke belakang shelter untuk mendapatkan pemandangan gunung Slamet di kejauhan. Yap! Saya mendapatkannya! Kabut tipis berhias di kejauhan dan gunung Slamet tampak cerah. Sekali lagi saya bergumam, “Tuhan Maha Keren!”, sebelum akhirnya bersiap untuk sarapan dan packing. Saatnya berpisah dengan gunung Sumbing. Huhuhuhu.
 |
Gunung Slamet di kejauhan |
Jam delapan pagi kami turun dan jam sepuluh lewat sudah sampai di basecamp Sumbing lagi. Perjalanan yang menyuguhkan banyak sekali pengalaman. Hujan, angin, dan petir membuat kami tak berani berbangga hati, karena hanya dengan itulah kami masih menyadari diri kami sebagai manusia. Masih ada yang lebih kuat lagi dari kami. Karena badai hari itu membuat kami sadar, bahwa kami hanya makhluk tak berdaya yang bisa sewaktu-waktu mati, hilang, dan tak berbekas lagi. Di atas sana, Tuhan lebih tahu apa yang kami mau. 🙂
Jakarta, 02 Januari 2013
12:25 PM
P.S:
- Transport Jakarta – Wonosobo PP Rp 160.000,-
- Wonosobo – Magelang turun Garung Reco, PP Rp 10.000,-
- Retribusi Sumbing @ Rp 4.000,-
Bagi yang berminat, monggo dicoba gunung Sumbingnya. Dan hati-hati, jangan salah turun Garung kayak saya yaaaaa. Turunlah di Garung Reco, Kertek, jangan di Tambi! Ingat! Waspadalah, waspadalah! Penipuan berlaku di mana sajaaaa. Hehehehe.
Have a good trip, mates! 🙂
Leave a Reply