Shoes and The Story Goes

POSTED ON:

BY:

Sebenarnya saya hari ini lagi libur kerja, karena semalam lembur. Yah, hari libur, sempatkan diri untuk istirahat, mengurus diri yang acak-acakan ini, juga bersih-bersih kontrakan. Rupanya, rak sepatu saya terabaikan. Sepatu-sepatu kesayangan dari dulu sampai yang terbaru, sudah kotor-dikotori debu dan kecoak. Maklum, kontrakan rakyat di sekitar Ciputat memang tak terurus. Hehe. Jadilah, saya sempatkan juga untuk menjemur beberapa sepatu, dan mencuci sepatu yang kotor. Melihat sepatu saya, ternyata cukup banyak juga yang saya pindahkan dari rumah di Bandung ke Jakarta ini. Masih ada sisa beberapa sepatu di Bandung yang tidak saya bawa. Ini membuktikan bahwa selain senang mengkoleksi berbagai macam rasa kopi, saya juga teradiksi pada sepatu-sepatu penghias kaki saya. Ya sudah, simak saja ceritanya. This is about my shoes and the story goes! 🙂

shoes and the story goes

Jadi, ada sekitar sebelas sepatu kesayangan yang sering dipakai. Sebenarnya, masih banyak di Bandung. Tapi, karena belum ada space lagi di kontrakan, belum sempat buat angkutin semua sepatu di rumah saya. Hehe. Sepatu-sepatu ini dipakai karena selain nyaman, mereka juga mempunyai kisah. Yah, begitulah sepatu ini menemani saya dengan kisahnya.
  1. Flat Ovtel. Sepatu flat ini usianya ini sudah hampir delapan tahun. Saya mendapatkan sepatu Ovtel ini di Borobudur Bandung, dari tante saya. Waktu itu, saya paling nggak suka pakai sepatu model perempuan kayak begini. Cuma, karena tante yang membelikan, saya terpaksa memakainya. Hehe. Lama kelamaan, saya lihat modelnya seperti sepatu canvas yang umum dipakai, seperti converse, warrior, atau north star. Sepatu canvas pertama saya memang north star, jadilah saya pakai terus sepatu hijau ini sampai akhirnya, sekarang sudah sobek di sana-sini. Sayangnya, sepatu itu memang semakin sobek, semakin nyaman dipakai. Makanya, saya nggak buang ini sepatu, dan rencananya, baru mau saya servis di sol sepatu terdekat. Hehehehe.
  2. Pentopel Bata. Sepatu ini saya pakai sejak saya bekerja di salah satu perusahaan yang bergerak di bidang pelayanan customer. Di sini, saya harus bekerja secara formal, tentunya dengan penampilan yang formal juga. Berhubung saya nggak punya sepatu formal, akhirnya saat saya gajian, saya carilah sepatu yang formal. Sepatu ini memiliki hak empat sentimeter, dan sebelumnya, saya tidak pernah memakai sepatu dengan hak tinggi. Hahaha. Hasilnya, ya kaki saya lecet di sana-sini. Kenapa saya harus beli sepatu ini? Saya prihatin dengan produsen sepatu dalam negeri yang mulai tergeser produk luar. Saya mendapatkan sepatu ini di bazar yang tidak jauh dari kontrakan saya. Kasihan sama yang kerja di sana, akhirnya saya beli ini. Kondisinya masih sangat baik, tapi diberi harga sampai setengah harga. Dari mana pegawainya mendapat gaji? Ah, entahlah. Sungguh tidak manusiawi sekali ya perekonomian negeri ini. (loh ngelantur). Intinya, saya beli ini bareng sama Abang Zhygoth yang ganteng sekali, jadinya saya minta tolong dia yang pilihin. Hehehehe. (huh ngelantur mulu) Intinya, sampai sekarang sepatu ini masih awet, jadi tidak terbukti kalau barang luar selalu lebih baik. 🙂
  3. Flat North Star. Alih-alih ingin kerja dengan sepatu santai yang tidak terlalu perempuan, tapi juga bukan sepatu lelaki, saya coba hunting ke toko-toko Indonesia punya, yang memanusiakan manusia. Saya nggak begitu suka sepatu luar negeri, karena nggak cocok di kaki. Sepatu luar negeri kan nggak ada ukuran kaki pribumi seperti saya? Hehehehe. Saya akhirnya cari sepatu ini di toko Bata. Saya suka sepatu Bata dan North Star, karena sejak saya SD sudah pakai sepatu itu. Akhirnya, saya keliling dan mendapatkan sepatu ini. Ada warna krem dan biru. Saya maunya beli sepatu yang biru, tapi saya udah punya banyak sepatu biru. Jadi, biar lebih kalem dan feminim, saya beli sepatu yang warna krem deh. Sepatu ini masih awet, berhubung belinya juga belum lama. Hehehe. Saya pakai jalan kaki jauh, masih awet juga. Sepatu ini nyaman, daripada saya pakai sepatu crocs yang di luar negeri saja sudah jadi sepatu buangan. 😛
  4. Converse High (USA Stripes). Saya suka sepatu high, yang menutupi mata kaki. Semacam boots atau canvas shoes. Saya juga suka sepatu yang bermodel old school, seperti sepatu yang sering dipakai Kurt Cobain semasa muda, sampai kematiannya, dan tidak pernah ia ganti. Hehehe. Untuk sepatu seperti ini, saya menjatuhkan pilihan sama converse. Sepatu yang dari masa perang sudah ada ini, selalu ingin saya koleksi. Selain karena warna-warna yang kombinasinya keren, ada yang bermotif juga. Selain nyaman, sepatunya juga awet. Kita sol berkali-kali, tetap bisa dipakai dengan sesuka hati. Hehehehe.
  5. My First Wedges. Sudah saya bilang, saya ini tipe orang yang lebih suka berpenampilan kasual, dengan gaya lelaki. Sepatu wedges? Saya tidak punya! Eh, saya punya satu, itu pun karena dipaksa beli sama ibu saya. Sepatu ini sempat saya pakai di acara wisuda saya. Tapi, berhubung nggak betah, saya langsung ganti sepatu ini sama sendal outdoor, yang sering saya pakai. Hahahaha. Sendal outdoor ini sudah bongkar pasang berkali-kali dan sol sana-sini. Karena sudah nempel di kaki, wedges ini pun saya abaikan dan saya jadikan koleksi rak sepatu. 😀
  6. Sepatu Flat Biru – Unbranded. Saya nggak suka beli sepatu yang bermerek, atau mahal-mahal amat. Intinya sepatu itu kan, meski murah tapi nyaman. Syukur-syukur kalau modelnya lucu. Sepatu ini saya beli seharga Rp 35.000,- dan sampai saat ini masih awet. Saya masih suka pakai sepatu ini lari-lari, karena solnya yang tipis dan warnanya biru seperti warna kesukaan saya. Bahannya campuran perca jeans, dan sepatu ini enak buat pijat refleksi, kalau tiba-tiba lagi jalan kaki, saya menemukan jalan berbatu. Hehehehe. Sepatu favorit saya, dalam ranah sepatu wanita. 
  7. Sepatu Trekking. Sepatu trekking saya ini umurnya baru beberapa bulan saja sudah kotor lagi. Saya merasa harus memiliki sepatu trekking, karena sepatu lain yang saya pakai buat naik gunung, sudah rusak semua. Hehehehe. Sepatu trekking ini unbranded, karena saya nggak butuh merek, cuma butuh kualitas dan kenyamanan. Memang sih, kalau bagi para pendaki yang sudah advance, sepatu harus berkualitas dan mereka sering mengkaitkannya dengan merek. Ah! Persetan merek! Sepatu ini saya beli di Taman Puring dan masih awet sampai sekarang. Bahannya feather keras, dengan bagian dalam yang kuat meski kaki saya dilindas motor. Nggak percaya? Silakan cari sendiri di Taman Puring. Hehehehe.
  8. Canvas Nirvana. Sepatu ini saya pesan dari seorang teman, demi membantunya melancarkan usaha, saya membelinya. Karena itu teman saya dan saya sebagai penglaris pertama, saya minta dibuatkan flat canvas, dengan lukisan logo smileface-nya Nirvana yang terkenal. Hasilnya ya jadi begitu. Ternyata ukurannya terlalu kecil, sehingga kaki saya nggak begitu fit sama sepatu. Tapi, setelah saya pakai, sepatunya menyesuaikan ukuran. Entah sepatunya menjadi besar, atau kaki saya yang mengecil. Hehehehe. Sepatu ini masih awet sampai sekarang, dan biasanya saya pakai buat lari pagi. 
  9. Canvas Biru. Sepatu canvas lagi dan berwarna biru. Memang ini kualifikasi sepatu saya rata-rata. Hehehe. Sepatu ini nggak begitu sering dipakai, cuma dipakai buat lari-lari atau main bola. Karena birunya terlalu terang, jadi saya cuma pakai di malam hari, karena kalau siang, warnanya bakalan jreng banget. Yang jelas, sepatu ini juga tidak ada mereknya, karena saya beli sepatu ya suka-suka saya aja. 😛
  10. Boots Supertex. Yaaaaiiiyyyy!!! Ini sepatu favorit saya! Selain sepatu trekking dan flat hijau yang sudah buluk, boots ini adalah sepatu saya yang paling saya suka. Sepatu boots ini saya beli di gerai sepatu secondhand yang ada di sebelah tempat reklamenya Bang Gondrong ganteng. Hehehehe. Yaaa, waktu itu saya lagi main ke reklame, nongkrong sama teman-teman juga. Pas saya lihat-lihat sepatu, ternyata banyak sepatu yang tidak terduga! Niatnya, saya mau beli sepatu docmart, atau Dr. Marten yang terkenal itu. Warnanya merah maroon dan keren banget! Buat saya naik vespa atau apa gitu, tapi ukurannya buat kaki Bang Gondrong. Akhirnya saya cari lagi dan voila! Saya dapat sepatu supertex yang jarang banget dijual di Indonesia! Wah, tanpa pikir panjang, harganya langsung saya tawar. Lumayan kaaaan. 😀
  11. Canvas Buluk! Sepatu old-school hitam putih ini paling sering dipakai, sampai solnya sudah bolong semua dan saya harus sol lagi berkali-kali. Semakin rusak, semakin nyaman. Itulah prinsip saya. Hehehe. Sepatu inilah yang menemani saya jalan ke Surabaya sampai ke Sumatera. Sepatu kesayangan yang saya beli di toko yang hampir tutup. Sepatu ini judulnya “sepatu humanis” karena sudah berkenalan dengan berbagai manusia di seluruh kota di Jawa dan sudah berhasil memanusiakan saya. 🙂
Dan itulah sepatu-sepatu saya, berikut ceritanya. Entahlah. Mungkin kalian merasa posting ini nggak penting, tapi sesungguhnya, posting ini hanya sebagai cara saya untuk mengingat apa yang ada di sekitar saya, meski bentuknya benda mati sekalipun. Semoga saya selalu bersyukur dengan apa yang saya dapat sampai hari ini dan apa  yang saya kumpulkan dari jerih payah sendiri. Selamat membaca kisahnya dan semoga kalian pun mensyukuri hidup kalian ya! 
Salam jalan kakiiiiiii!~~ 
Ayu W.

TAGS



Related posts

6 responses to “Shoes and The Story Goes”

  1.  Avatar
  2.  Avatar

    naksir sama yang nomer 9 :3

    Like

  3.  Avatar

    mbak kalu nggak dipake sumbangkan sajo samo ambo…….hehehe

    Like

  4.  Avatar

    Dulunya aku ĵµƍα sukanya yg casual simple tapi seiring bertambah umur jadi suka ĵµƍα sama yg berhak 😀 asal makenya nggak ke jalan berat kayaknya nyaman jg kok.Selain sepatu, punya koleksi apa lagi yu? Tas macam2 buat mendaki ∂άn berbagai keperluan? Oh ya cerita tentang perlengkapan daki ĵµƍα yu : request.

    Like

  5.  Avatar

    aq jg g terlalu suka sepatu ber-hak tinggi 😀

    Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Search


Out Now!


Click banner to buy Not for IT Folks with discount!

Recent Posts


Tags


7 Divisi (7) Advertorial (4) Album Review (4) Antologi Ayu Welirang (4) Antologi HISTERY (2) Ayubacabaca (62) Ayu Welirang's Bibliography (9) Blogging Story (2) BS-ing everyday (7) Buku (63) Cabaca (3) Central Java (14) Cerita Detektif (7) Cerita Investigasi (4) Cerita Persahabatan (2) Cerpen (10) Cerpen dari Lagu (5) Drama (6) Editing Works (3) Februari Ecstasy (2) Fiksi Kriminal (3) Forest Park (2) Got Money Problem? (4) Halo Tifa (3) Heritage Sites (4) Hiking Journal (10) Hitchhike (4) Horror (3) Indonesia (37) Interview (2) Jakarta (10) John Steinbeck (3) Journal (18) Kopi (2) Kuliner (3) Kumcer (10) Latar Novel (2) Lifehacks (3) Living (4) Local Drinks (4) Local Foods and Snacks (5) Mata Pena (4) Media Archive (4) Menulis Adegan (2) Metropop (8) Mixtape (4) Mountain (18) Museum (2) Music Playlist (7) Music Review (4) My Published Works (13) NgomonginSeries (5) Nonton (6) Not for IT Folks (3) Novel Keroyokan (2) Novel Kriminal (4) Novel Thriller (3) On Bike (3) On Foot (4) On Writing (25) Pameran (2) Panca dan Erika (3) perjalanan dalam kota (3) Photo Journal (12) Potongan Novel Ayu Welirang (3) Publishing News (3) Review (72) Riset Tulisan (2) Rumah Kremasi (2) Santai (10) Sayembara-Novel-DKJ (3) Sci-fi (6) Sequel (4) Serial Detektif (2) Series Review (5) Short Stories (11) South Tangerang (1) Sumatera (3) talk about living my life (3) Tentang Menerbitkan Buku (7) Terjemahan (6) Things to do in Jakarta (4) Thriller (7) Tips (35) Tips Menulis (28) to live or not to live (6) Translation Works (6) Travel Guide (3) Traveling (4) Travel Notes (2) Travel Stuff (2) Waterfalls (2) Wedding Preparation (5) Wedding Vendor Bandung (3) West Java (15) Worldbuilding Novel (2) Writing for Beginner (27) Writing Ideas (17) Writing Journal (38) Writing Prompt (9)

Newsletter


Create a website or blog at WordPress.com

%d bloggers like this: