Bacabaca 56: Si Pembunuh Elemen oleh Miguel Angelo Jonathan

POSTED ON:

,

BY:

Judul: Si Pembunuh Elemen
Penulis: Miguel Angelo Jonathan
Tahun Terbit: 2019
Penerbit: Pustaka Kaji
Tebal: 221 halaman, paperback
ISBN: 978 602 573 521 9

Seusai menuntaskan sebuah kasus pembunuhan, mendadak Detektif Morgan Somer menerima panggilan telepon mengenai kebakaran di suatu kompleks perumahan elit. Sesosok mayat yang diperkirakan sebagai jasad si pemilik rumah ditemukan terpanggang di sana. Tentu Detektif Morgan Somer tidak akan dipanggil jika tak ada keanehan yang ditemukan di sekitar tempat kebakaran tersebut. Seluruh hewan peliharaan dan tanaman hias milik si empunya rumah diletakkan begitu saja di depan rumahnya yang terbakar, tanpa ada yang mati ataupun terluka sedikit pun.

Morgan Somer mengabari sesama rekan detektifnya, Edward Norton, untuk mendalami kasus ini. Masalah semakin bertambah ketika sebuah emblem dari permata berwarna merah yang berbentuk seperti kobaran api ditemukan di rumah Erik yang telah terbakar, dalam sebuah kotak besi tahan api.

Keduanya dapat memastikan bahwa telah terjadi pembunuhan. Mereka kini berhadapan dengan seorang pembunuh yang begitu penuh siasat dan berbahaya. Semakin mendalami kasus tersebut, Morgan dan Norton terus menerus menemukan emblem-emblem peninggalan sang pembunuh, yang kesemuanya melambangkan suatu elemen tertentu. Waktu terus bergerak, dan pada setiap penbunuhan yang gagal mereka cegah, mereka akan terus menemukan oleh-oleh berupa emblem berbentuk elemen dari sang pembunuh.

***

Novel ini adalah debut Miguel Angelo Jonathan, seorang mahasiswa di Universitas Negeri Jakarta. Saya pertama kali bertemu Miguel di acara kumpul-kumpul dan diskusi bareng Komunitas Detectives ID. Di acara tersebut, kami saling berbagi rekomendasi bacaan dan juga literatur detektif era lama di Indonesia.

Si Pembunuh Elemen bercerita tentang duo detektif bernama Morgan Somer dan Edward Norton yang sedang membereskan kasus pembunuhan seorang pria terhadap istrinya. Ketika Norton sedang berusaha menangkap tersangka yang lari ke resornya di Kepulauan Seribu, datanglah laporan kasus lain yang mengharuskan Morgan Somer datang ke TKP (Tempat Kejadian Perkara).

TKP yang Morgan datangi adalah tempat kebakaran. Ia mendapati kejanggalan di sekitar TKP. Rumah mewah terbakar hangus, habis tak bersisa, tetapi hewan peliharaan milik empunya rumah dikeluarkan terlebih dahulu. Hal ini tentu saja janggal menurut Morgan. Kenapa pembunuh harus repot-repot mengevakuasi hewan peliharaan? Setelah diidentifikasi dari pihak forensik, bahkan di dalam rumah tak ada hewan lain yang ikut terbakar.

Kejanggalan itu semakin diperkuat dengan adanya barang bukti, berupa kotak besi tahan api. Di dalamnya, ada permata berwarna merah, berbentuk seperti api. Di sinilah Morgan sadar. Tersangka bukan sembarang pembunuh yang motif awalnya merampok, tapi lebih jauh dari itu. Morgan bahkan menyangkal kemungkinan bahwa pembunuhan ini akan berantai, karena ia malas mengusutnya di kala tanggal pensiunnya sudah dekat.

Itu adalah sedikit intisari dari novel Si Pembunuh Elemen yang terbit pada Mei 2019, setebal 215 halaman. Sebagai debut Miguel, novel ini asyik. Saya berhasil menamatkannya dengan cepat. Tak seperti novel detektif lainnya yang kadang terlalu njelimet. Novel ini memiliki alur yang runut, ringkas, dengan penyelidikan detektif yang tangkas tak banyak bertele-tele.

Walau begitu, sebagai novel debut, ada pula beberapa kesalahan teknis yang rasanya tak bisa saya abaikan begitu saja. Cukup banyak kesalahan penulisan, typo, juga beberapa kata yang luput dari suntingan.

Misalnya saja, ada cukup banyak kesalahan penulisan redaksional kalimat langsung. Biasanya setelah kalimat langsung, tanda kutip itu diikuti setelah koma, lalu dilanjut dengan redaksional kalimat langsung tersebut, seperti “kata”, “sahut”, “balas”, “jelas”, “tegas”, “seru” dan lain-lainnya.

Sebagai contoh:

“Jelas. Lihat emblem ini.” Kata Morgan sambil menunjukkan emblem berbentuk api itu.

Biasanya, kalimat langsung seperti di atas, dituliskan seperti ini:

“Jelas. Lihat emblem ini,” kata Morgan sambil menunjukkan emblem berbentuk api itu.

Saya sendiri belum melakukan pengecekan menyeluruh sampai googling, apakah penulisan redaksional seperti itu memang lumrah? Tapi, rasanya pengiring kalimat langsung memang seharusnya dituliskan seperti contoh kalimat kedua yang telah saya perbaiki. Dan kesalahan ini cukup banyak, sehingga saya agak sering mengernyitkan dahi.Beberapa penulisan nama Morgan pun mengalami typo, menjadi Mogran. Juga beberapa kesalahan teknis lainnya.

Namun, jika kita mengabaikan kesalahan teknis tersebut, novel ini layak disebut sebagai debut yang baik. Mungkin ke depannya harus lebih diperhatikan lagi kesalahan teknis ini.

Kini kembali ke ulasan terhadap isi novel. Saya senang sekali karena Si Pembunuh Elemen berhasil memasukkan beberapa kritik atas banyak hal. Mulai kritik lingkungan sampai kritik atas kejahatan genosida yang terjadi di tahun 1998; di mana sangat banyak etnis Tionghoa yang terkena dampak diskriminasi akibat krisis moneter dan kerusuhan yang kalau menurut novel ini, adalah akibat dari hasutan intel yang diperintah oleh angkatan bersenjata. Ini mengerikan. Bahkan, rasa ngeri di bab pendek yang membahas diskriminasi terhadap etnis Tionghoa, serta perempuan Tionghoa yang menjadi korban pemerkosaan kala itu bisa merasuki saya. Membacanya sekilas saja, tapi benar-benar terasa sakitnya.

Selain hal itu, topik utama yang ingin disampaikan dari novel ini adalah tentang bagaimana manusia seharusnya hidup berdampingan dengan alam. Terasa sekali bahwa penulis begitu mencintai alam dan lingkungan sekitar, hingga beberapa pemikiran si pembunuh berantai mungkin saya tebak berasal dari pemikiran penulis sendiri. Pemikiran yang sangat matang dan menarik dari mahasiswa kelahiran 1998 ini.

Di samping kedua hal di atas, tokoh detektif yang diceritakan dalam novel ini bukanlah detektif sempurna. Memang mereka cerdas dan tangkas, tapi bukan berarti mereka luput dari masalah pribadi. Norton yang keras hati dan cenderung mudah blingsatan, punya masalah dengan keluarga. Begitu juga dengan Morgan Somer yang berpembawaan tenang, tetapi ternyata tak kalah bermasalahnya seperti Norton. Keduanya seperti saling melengkapi, seperti bapak dan anak.

Namun, ada beberapa karakterisasi yang tidak saya sukai. Kedua detektif ini dikatakan bekerja di biro detektif. Saya sedikit bertanya-tanya, “Apakah mereka ini sejenis private investigator?”

Kalau sudah dibaca-baca sih, sepertinya benar memang dari kepolisian dan bukan P. I. Namun, entah kenapa saya kurang sreg dengan karakter yang memakai topi fedora dan jas panjang, seolah-olah itulah gambaran ikonik seorang detektif. Padahal, mungkin lebih tepat kalau dibuat yang sesuai dengan kondisi Indonesia. Negara kita kan negara tropis, jadi mengapa tidak membuat tokoh detektif yang lebih “Indonesia”? Misalnya, pakai kemeja, pakai jaket jins, atau pakai kaus juga tidak apa. Dan mereka mungkin lebih tepat kalau disebut penyidik saja, jangan detektif karena nanti saya jadi bias berpikir apakah mereka P. I. atau bukan.

Satu hal lagi terakhir, yang mungkin akan terlalu panjang kalau dibeberkan semua di sini. Saya suka sekali dengan filsafat Tionghoa yang coba Miguel masukkan dalam novel ini. Penjelasannya tentang konsep wu xing dan bagaimana ideologi si pembunuh berantai, membuat saya jadi malah menyukai tokoh villain. Seperti di V for Vendetta, di mana saya lebih suka tokoh jahatnya karena dia melakukan kejahatan karena alasan yang bagi rakyat tentu saja normal, walau bagi orang lain kadang tidak terima karena sudah ada hukum maka tak boleh main hakim sendiri.

Kira-kira itu saja unek-unek saya atas novel debut Miguel Angelo Jonathan yang berjudul Si Pembunuh Elemen. Empat bintang dari lima, tentu saja karena dialog Morgan dan Norton yang kadang-kadang kocak juga.

Rating:

Rating: 4 out of 5.


Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Search


Out Now!


Click banner to buy Not for IT Folks with discount!

Recent Posts


Tags


7 Divisi (7) Advertorial (4) Album Review (4) Antologi Ayu Welirang (4) Antologi HISTERY (2) Ayubacabaca (62) Ayu Welirang's Bibliography (9) Blogging Story (2) BS-ing everyday (7) Buku (63) Cabaca (3) Central Java (14) Cerita Detektif (7) Cerita Investigasi (4) Cerita Persahabatan (2) Cerpen (10) Cerpen dari Lagu (5) Drama (6) Editing Works (3) Februari Ecstasy (2) Fiksi Kriminal (3) Forest Park (2) Got Money Problem? (4) Halo Tifa (3) Heritage Sites (4) Hiking Journal (10) Hitchhike (4) Horror (3) Indonesia (37) Interview (2) Jakarta (10) John Steinbeck (3) Journal (18) Kopi (2) Kuliner (3) Kumcer (10) Latar Novel (2) Lifehacks (3) Living (4) Local Drinks (4) Local Foods and Snacks (5) Mata Pena (4) Media Archive (4) Menulis Adegan (2) Metropop (8) Mixtape (4) Mountain (18) Museum (2) Music Playlist (7) Music Review (4) My Published Works (13) NgomonginSeries (5) Nonton (6) Not for IT Folks (3) Novel Keroyokan (2) Novel Kriminal (4) Novel Thriller (3) On Bike (3) On Foot (4) On Writing (25) Pameran (2) Panca dan Erika (3) perjalanan dalam kota (3) Photo Journal (12) Potongan Novel Ayu Welirang (3) Publishing News (3) Review (72) Riset Tulisan (2) Rumah Kremasi (2) Santai (10) Sayembara-Novel-DKJ (3) Sci-fi (6) Sequel (4) Serial Detektif (2) Series Review (5) Short Stories (11) South Tangerang (1) Sumatera (3) talk about living my life (3) Tentang Menerbitkan Buku (7) Terjemahan (6) Things to do in Jakarta (4) Thriller (7) Tips (35) Tips Menulis (28) to live or not to live (6) Translation Works (6) Travel Guide (3) Traveling (4) Travel Notes (2) Travel Stuff (2) Waterfalls (2) Wedding Preparation (5) Wedding Vendor Bandung (3) West Java (15) Worldbuilding Novel (2) Writing for Beginner (27) Writing Ideas (17) Writing Journal (38) Writing Prompt (9)

Newsletter


Create a website or blog at WordPress.com

%d bloggers like this: