Bacabaca 42: Aroma Karsa oleh Dee Lestari

Judul: Aroma Karsa
Penulis: Dewi ‘Dee’ Lestari
Tahun Terbit: 2018
Penerbit: Bentang Pustaka
Tebal: 724 halaman, paperback
ISBN: 9786022914631

Dari sebuah lontar kuno, Raras Prayagung mengetahui bahwa Puspa Karsa yang dikenalnya sebagai dongeng, ternyata tanaman sungguhan yang tersembunyi di tempat rahasia.

Obsesi Raras memburu Puspa Karsa, bunga sakti yang konon mampu mengendalikan kehendak dan cuma bisa diidentifikasi melalui aroma, mempertemukannya dengan Jati Wesi.

Jati memiliki penciuman luar biasa. Di TPA Bantar Gebang, tempatnya tumbuh besar, ia dijuluki si Hidung Tikus. Dari berbagai pekerjaan yang dilakoninya untuk bertahan hidup, satu yang paling Jati banggakan, yakni meracik parfum.

Kemampuan Jati memikat Raras. Bukan hanya mempekerjakan Jati di perusahaannya, Raras ikut mengundang Jati masuk ke dalam kehidupan pribadinya. Bertemulah Jati dengan Tanaya Suma, anak tunggal Raras, yang memiliki kemampuan serupa dengannya.

Semakin jauh Jati terlibat dengan keluarga Prayagung dan Puspa Karsa, semakin banyak misteri yang ia temukan, tentang dirinya dan masa lalu yang tak pernah ia tahu.

***

Saya membaca Aroma Karsa awalnya sih ngebut. Jadi pas bukunya sampai, saya diamkan dulu beberapa minggu. Barulah ketika pekerjaan kantor sudah santai, saya mulai membaca. Soalnya, dari pengalaman saya yang sudah-sudah, buku-buku Ibu Suri pasti selalu bikin saya begadang. Ketagihan. Mau tidur jadi kepikiran kalau belum selesai dibaca. Maka saya putuskan buat membacanya pas memang lagi senggang banget.

Alkisah, saya baca ini memang di akhir minggu. Ada 61 bab total di buku ini. Kira-kira, sekitar dua hari lah ya bisa selesai dan memang bukan dalam kondisi non-stop baca. Saya kadang tinggal masak sebentar, tinggal jajan sebentar, atau tinggal blogging dulu. Lalu, saya pikir bakal selesai dua hari saja, tapi ternyata malah ada kerjaan. Saya baru selesai setengah buku dan sisanya saya cicil. Karena kerjaan itulah, hari ini saya baru selesaikan 100 halaman terakhir dan baru sempat mengulasnya.

Novel ini tebal. Banget. Namun, ada kenikmatan yang tidak bisa didefinisikan sih saat membaca Aroma Karsa. Saya bisa merasakan bahwa di karyanya yang satu ini, Ibu Suri benar-benar melakukan riset mendalam. Mulai dari jalan-jalan ke Bantar Gebang sampai riset di pabrik parfum. Ini merupakan karya yang nggak main-main dan memang begitulah seharusnya. Karya yang nggak main-main dalam riset, benar-benar memanjakan pembaca.

Di novel ini pula, beberapa kelakar dari orang-orang di sekitar Jati, mengingatkan saya akan kebodoran Empret di Supernova. Di sini ada Sarip, penjaga lapas tempat ayah Jati dipenjara yang logatnya Betawi-Bekasi banget. Lemparan jokes-nya benar-benar khas Bekasi, karena saya juga punya teman yang berasal dari sana dan saya nggak bisa nggak membayangkan dia saat membaca dialog antara Sarip dan Jati. Untuk satu hal ini, saya kepingin menjura sama Ibu Suri, karena apa yang disajikan benar-benar alami dan seolah nyata.

“Bujubuneng! Mau linglung gimana juga tetap saja ngerti kalau lihat orang cantik, mah!” — Sarip, hal. 289

“Aji-aji lu emang bangke, calon lu cakep bener!” — Sarip, hal. 681

Untuk karakter selain Sarip, saya juga suka. Ada perbedaan di masing-masing karakter itu, sehingga bisa membuat kita simpati pada yang satu bahkan memaki-maki yang lain. Porsi kemunculan mereka juga tidak terlalu berlebihan dan pas takaran. Menurut saya, tidak mudah untuk membuat banyak tokoh dalam suatu novel, karena bisa bertabrakan. Namun, dengan teknik yang jitu, sudah pasti hal itu bisa diakali.

Di versi cetak ini pula, cukup banyak typo yang tertangkap mata. Biasanya sih, di Supernova dulu, saya jarang menemukan typo. Di Aroma Karsa ini, ada beberapa kata yang terulang dan bahkan salah tulis. Memang tidak mengurangi kenikmatan membaca, tapi ya jadinya kentara saja. Soalnya, karena terbiasa membaca buku-buku Ibu Suri dengan saksama, ketika ada typo pasti langsung kelihatan. Namun, membaca novel setebal ini, tidak begitu lelah seperti membaca novel-novel misteri dan konspirasi dari Dan Brown. Di sini, masih ada beberapa kutipan yang bisa membuat kita berhenti sejenak dan merenung.

Dunia ini sesungguhnya dunia aroma. Penciuman adalah jendela pertama manusia mengenal dunia. Manusia lebih mudah dipengaruhi oleh yang tidak terlihat. (hal. 153)

Empu Smarakandi menggelengkan kepala. “Asmara. Tidak bisa dipahami, cuma bisa dirasakan akibatnya.” (hal. 661)

Saat Aroma Karsa keluar versi digital terlebih dahulu, saya sebenarnya kepingin mencoba untuk membaca lewat Bookslife. Namun, karena saya orangnya suka penasaran dan susah menunggu apalagi kalau kentang, jadi saya memutuskan untuk ikut PO versi cetak. Karena itulah, saya tidak terlalu bisa membandingkan bagaimana sensasi membaca di versi digital dengan di cetak. Bagi saya, mungkin sama saja ya… nggak tahu kalau yang lain.

Intinya sih, ini benar-benar novel tebal yang tidak membosankan. Saya berharap banget, mungkin suatu saat novel ini bisa jadi kanon di dunia kesusastraan Indonesia. Kalau tidak jadi kanon, ya minimal Aroma Karsa dibawa juga ke festival luar negeri, seperti karya-karya Eka Kurniawan yang menang award misalnya. Karena, bagi saya, Aroma Karsa ini sudah layak disandingkan dengan kanon-kanon dunia.

Aroma Karsa merupakan paket lengkap; mitologi, sains fiksi, petualangan, misteri, fantasi, sekaligus fiksi sejarah mungkin ya. Pokoknya, semua campur aduk di sini, seperti macam-macam aroma yang juga akan banyak kalian temukan saat membaca Aroma Karsa.



Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Search


Out Now!


Click banner to buy Not for IT Folks with discount!

Recent Posts


Tags


7 Divisi (7) Advertorial (4) Album Review (4) Antologi Ayu Welirang (4) Antologi HISTERY (2) Ayubacabaca (62) Ayu Welirang's Bibliography (9) Blogging Story (2) BS-ing everyday (7) Buku (63) Cabaca (3) Central Java (14) Cerita Detektif (7) Cerita Investigasi (4) Cerita Persahabatan (2) Cerpen (10) Cerpen dari Lagu (5) Drama (6) Editing Works (3) Februari Ecstasy (2) Fiksi Kriminal (3) Forest Park (2) Got Money Problem? (4) Halo Tifa (3) Heritage Sites (4) Hiking Journal (10) Hitchhike (4) Horror (3) Indonesia (37) Interview (2) Jakarta (10) John Steinbeck (3) Journal (18) Kopi (2) Kuliner (3) Kumcer (10) Latar Novel (2) Lifehacks (3) Living (4) Local Drinks (4) Local Foods and Snacks (5) Mata Pena (4) Media Archive (4) Menulis Adegan (2) Metropop (8) Mixtape (4) Mountain (18) Museum (2) Music Playlist (7) Music Review (4) My Published Works (13) NgomonginSeries (5) Nonton (6) Not for IT Folks (3) Novel Keroyokan (2) Novel Kriminal (4) Novel Thriller (3) On Bike (3) On Foot (4) On Writing (25) Pameran (2) Panca dan Erika (3) perjalanan dalam kota (3) Photo Journal (12) Potongan Novel Ayu Welirang (3) Publishing News (3) Review (72) Riset Tulisan (2) Rumah Kremasi (2) Santai (10) Sayembara-Novel-DKJ (3) Sci-fi (6) Sequel (4) Serial Detektif (2) Series Review (5) Short Stories (11) South Tangerang (1) Sumatera (3) talk about living my life (3) Tentang Menerbitkan Buku (7) Terjemahan (6) Things to do in Jakarta (4) Thriller (7) Tips (35) Tips Menulis (28) to live or not to live (6) Translation Works (6) Travel Guide (3) Traveling (4) Travel Notes (2) Travel Stuff (2) Waterfalls (2) Wedding Preparation (5) Wedding Vendor Bandung (3) West Java (15) Worldbuilding Novel (2) Writing for Beginner (27) Writing Ideas (17) Writing Journal (38) Writing Prompt (9)

Newsletter


Create a website or blog at WordPress.com

%d bloggers like this: