Penulis: Dian Nafi
Penerbit: Kakilangit Kencana
Terbit: Juni 2015
Tebal: 198 halaman, paperback
ISBN: 9786028556378
Mafazi, Gus di sebuah pesantren yang digadang-gadang sebagai calon pemimpin pesantren, sama sekali tidak berambisi untuk memegang tampuk kepemimpinan. Ia sebisa mungkin berupaya untuk tak sering-sering berada di pesantren dan menggunakan waktu kuliahnya sebagai alasan untuk melarikan diri.
Sama sekali tak pernah ia bayangkan, tiba-tiba Uminya sakit dan meninggal. Lalu Mafazi dihadapkan pada pilihan yang tak ia sukai; mau tidak mau ia harus bertanggung jawab atas posisinya sebagai anak laki-laki satu-satunya.
Satu persatu, masalah datang menghampirinya; Abahnya menikah lagi serta datangnya seorang putra dari istri Abahnya yang bisa mengancam kedudukannya sebagai ‘pangeran’ di pesantren itu. Mafazi pun cemburu, apalagi ternyata Harun, putra tiri Abahnya itu tak hanya cakap tetapi juga memiliki pengetahuan agama yang mumpuni dan berpotensi menjadi pesaingnya sebagai putra mahkota dan pesaing dalam memperebutkan hati seorang gadis.
***
Ini novel so-so lah yaa. Memang bernuansa Islami, tapi juga tak terlalu kental. Pada blurbs dijelaskan tentang sepak terjang sosok Mafazi dalam menghadapi perubahan di pesantren Karomah. Tapi, setelah saya baca, sesungguhnya isi dari novel ini malah lebih mengedepankan sosok Ummi Laili yang berjuang membesarkan pesantren Karomah. Jadi, alih-alih cerita ini membahas Mafazi, malah jadi seperti “Catatan Hati Ummi Laili” (meminjam judul sinetron yang pernah hits di salah satu stasiun TV).
Pesan moralnya cukup banyak dan saya membaca ini hanya dalam waktu satu hari. Tapi, sebenarnya bukan karena nikmat dibaca. Saya menghabiskan ini dengan cepat karena banyak adegan tidak perlu, side story yang tidak perlu, dan juga banyaknya typo yang membuat sedih. Novel bernuansa reliji namun tidak mendoktrin ini terasa jadi tidak menyenangkan hanya karena kesalahan teknis dalam penulisan.
Saya jadi belum bisa menggantikan posisi Kambing dan Hujan sebagai roman sederhana yang juga mengangkat kisah seputar anak golongan mesjid A dan B yang berencana menikah tapi kesulitan karena berbeda pandangan dalam tatacara menyembah Tuhan.
Leave a Reply