Oleh: Ayu Welirang
Di kampungku, sebuah desa kecil yang tak jauh dari panorama Gunung Sumbing, setiap hari raya selalu ramai dengan keluarga yang pulang dari kota besar. Semua orang berkumpul dengan keluarganya, tak terkecuali aku. Pada suatu malam, setelah sembahyang Isya, Mbah Putri sudah duduk di ruang tamu yang lantainya masih berupa lempung cokelat tua dan sumber cahaya satu-satunya di ruang tamu, datang dari lentera dengan bahan bakar minyak. Sampai saat ini, rumah Mbah Putri baru mulai dipugar dan terbilang telat untuk dipasangi keramik, namun Mbah Putri bilang bahwa Mbah lebih suka kalau rumahnya masih bernuansa tua. Rumah lempung dengan lampu minyak yang menggantung di langit-langit rumah. Sejak cucu-cucunya makin banyak dan makin dewasa, Mbah Putri akhirnya mengiyakan tawaran anak-anaknya untuk dibiayai pemugaran rumah. Lebaran kali ini, baru dapur dan kamar-kamar saja yang berubah, sementara ruang tamu masih dibiarkan berlantai lempung. Takbir bergema dari langgar yang tak jauh dari rumah Mbah, dan kami pun siap mendengar dongengnya.
Aku dan sepupuku—jumlahnya mencapai lima belas orang—duduk mengitari Mbah Putri yang sudah renta, dengan matanya yang menyipit. Menjelang hari raya seperti ini, Mbah Putri selalu mengantarkan cerita-cerita yang menyenangkan pada kami, dan kami senang menemani Mbah Putri bercerita. Dongeng-dongeng yang dilontarkan Mbah Putri seperti dekat dengan kehidupan kami, karena itulah kami suka.
Malam ini, Mbah Putri kembali bercerita tentang kisah lama yang terjadi di Ngadirojo, desa tempat kami mudik. Aku duduk di sebelah kanan, dekat dengan meja yang di atasnya sudah terhidang berbagai kudapan dan minuman. Sementara para orang tua sedang berkumpul di balai depan, kami di rumah duduk santai menikmati kudapan dan bersiap untuk mendengarkan dongeng Mbah.
“Kali ini, Mbah mau bercerita tentang legenda perempuan yang meminta tulang babi ngepet yang sudah mati,” gumam Mbah mengawali dongengnya.
Kami semua terdiam barang beberapa detik. Salah satu sepupuku yang paling kecil lalu bergumam, “Babi ngepet itu apa Mbah?”
Yang lainnya tertawa.
“Itu lho, celeng jadi-jadian yang suka curi uang orang,” jelas Bagus, sepupuku yang usianya hampir sama denganku. Setelah dijelaskan oleh Bagus, sepupuku yang tadi bertanya mengangguk-angguk. Padahal, aku yakin dia juga tak begitu paham maksudnya. Memang dasar anak kecil, yang penting ada penjelasan, selesai perkara.
Mbah Putri geleng-geleng kepala melihat kelakuan cucu-cucunya. Mbah lalu melanjutkan ceritanya yang kini mengalir bagai guru TK bercerita pada anak muridnya yang masih TK.
***
Alkisah, bertahun-tahun lamanya, ketika Mbah Putri masih belia, desa Ngadirojo sedang gencar dibangun. Banyak penghuni desa membangun rumahnya besar-besar, sebagai bentuk keberhasilan mereka. Dari pekerjaan di ladang, pekerjaan ngangon sapi dan kambing milik Pak Lurah, juga pekerjaan lainnya yang menyangkut kota. Rumah Mbah sendiri tak dibangun, sebab saat itu, orang tua dari Mbah Putri sedang bersiap-siap untuk menerima pinangan dari Mbah Kakung. Setelah ditetapkan tanggal akad mereka, singkat kata kakek dan nenekku itu pun menikah.
Kami semua sedikit menggoda Mbah Putri yang ingatannya masih segar kala mengingat cintanya pada Mbah Kakung. Sudah bertahun-tahun lamanya Mbah Kakung meninggal. Kami cucu-cucunya bahkan belum pernah bertemu dengan Mbah Kakung. Maka, Mbah Putri hanya bercerita sedikit tentang romansa masa mudanya itu.
Lantas, beberapa minggu setelah pernikahan mereka lewat, Mbah Putri dan Mbah Kakung memilih tinggal di rumah lempung yang diwariskan oleh Mbah Buyut. Meski rumah itu sederhana, namun rumah itu begitu menyimpan kenangan bagia kedua Mbahku. Aku mendengarkan dengan serius, mencoba menyelami perjuangan masa lalu kakek dan nenekku.
Mbah Putri menenggak teh hangatnya sesekali, sebelum melanjutkan cerita. Lalu, sambil membetulkan syal yang melingkar di lehernya, ia pun melanjutkan.
“Nah, setelah Mbah menikah dan rumah-rumah yang dibangun itu hampir selesai, teror di desa ini dimulai,” jelas Mbah Putri dengan nada yang membuat suasana di ruang tamu sedikit mencekam. Aku pun merapatkan posisi dudukku pada Bagus, sepupuku yang sepantar denganku. Sementara itu, sepupuku yang masih kecil-kecil, duduk di hadapan aku dan Bagus. Sisanya duduk di belakang kami.
Mbah mulai bercerita.
“Rumah-rumah besar itu, rumah orang-orang kaya. Tiap malam ada saja teriakan kehilangan atau kejutan seram. Katanya, mereka melihat seekor babi masuk rumah,” jelas Mbah.
“Bentuknya seperti apa Mbah?” Aku memberanikan diri untuk bertanya. Mbah menenggak lagi teh manisnya dan berkata, “Bentuk e yo celeng. Warna bulunya hitam pekat. Tapi, di antara matanya, ada bulatan emasnya. Nah, yang seperti itulah babi jadi-jadian.”
Menurut dongeng Mbah Putri, babi jadi-jadian itu belakangan mulai meneror warga desa Ngadirojo tiap malam Jum’at. Banyak orang yang pulang mengaji dari langgar lewat tengah malam dan mendengar suara babi lewat sekelebat. Kadang, ada pula yang melihat secara langsung dan ketika dikejar sampai ke kebun, babi itu sudah hilang. Seiring babi itu berkeliaran, selalu saja ada barang yang hilang. Makin lama, rumah orang-orang kaya itu selalu berteriak kehilangan. Entah uang, entah perhiasan, entah barang-barang berharga lainnya. Dan berbulan-bulan lamanya, warga desa belum berhasil menangkap babi itu.
“Terus, terus? Gimana lagi Mbah?” tanya sepupuku yang paling kecil.
Mbah Putri menenggak tehnya lagi dengan khidmat. “Nah, sebentar. Mbah istirahat dulu ceritanya.”
Semua lalu mengangguk. Aku yakin, semua sepupuku pasti penasaran.
Mbah lalu menarik napas dan mulai melanjutkan ceritanya.
“Berbulan-bulan, babi itu tak tertangkap. Warga desa dan beberapa orang tua di desa, mulai menggelar pertemuan kecil di langgar. Mereka berdiskusi tentang cara menangkap babi itu.”
“Langsung karungkan saja kalau ketemu, terus dipukuli!” kata Mbah mencontohkan teriakan warga desa yang memberi saran ketika itu.
Mbah Putri kemudian bercerita bahwa babi jadi-jadian itu tertangkap. Babi itu ditutupi karung dan dibawa ke rumah Pak Lurah. Ketika dibuka, bentuknya benar-benar babi, berbulu hitam dengan moncong yang berlendir. Babi itu berwajah sedih, mungkin khawatir akan dibunuh. Seperti ada tangis di matanya.
Ramai-ramai warga membawa babi itu ke kebun belakang rumah Pak Lurah. Di sana, rupanya warga sudah menyiapkan upacara pembakaran untuk si babi ngepet yang sudah lama meneror warga desa dan menghilangkan barang-barang milik orang-orang paling kaya di desa. Kadang, aku berpikir, mengapa orang kaya begitu marahnya jika kehilangan barang? Padahal, mereka bisa membeli lagi barang-barang yang sama dengan sangat mudah. Harusnya, yang dipertanyakan itu, mengapa mereka bisa menjadi kaya? Ah, rasanya pikiranku lari kemana-mana. Aku jadi kasihan dengan babi ngepet itu, sebab mungkin babi itu hanya mencoba cari uang sedikit untuk keluarga kecilnya. Entahlah, salah saja rasanya membakar babi itu hidup-hidup.
“Lalu, babinya dibakar Mbah?” tanya sepupuku.
Mbah mengangguk dan menghela napas. “Iya, dibakar hidup-hidup sampai suara babi yang sedih itu menggema di desa. Mereka tidak tahu, kalau babinya dibakar, besok pasti malah tambah merajalela. Babi itu kan bukan babi betulan. Tapi, babinya dibakar pakai doa-doa juga, jadi besoknya babi itu sudah tidak kembali lagi.”
Sepupuku mengangguk dan bergidik ngeri.
Lalu, menurut dongeng Mbah, babi itu mati. Tulang-tulangnya yang tersisa, dibersihkan dari daging dan bulu-bulunya yang hangus terbakar. Tulang babi itu lantas disimpan oleh Pak Lurah di suatu tempat dan warga desa pun merayakan matinya babi itu dengan mengadakan pesta besar. Pesta pembersihan dari jiwa-jiwa jahat, katanya.
Pesta besar diadakan dengan mengundang Pak Lurah dan warga-warga kaya yang ikut menyumbang. Dari sekian banyak warga, sepertinya warga desa yang miskin, tidak mendapat bagian. Pesta itu diadakan semalam suntuk. Makanan enak dihidangkan. Orkes keroncong didatangkan dan wayang kulit pun dimulai tengah malam. Anak-anak kecil main dengan senangnya, dan semuanya berbahagia dengan matinya babi jadi-jadian itu.
Padahal, menurut Mbah, tak ada yang tahu kalau di suatu tempat, seorang perempuan muda sedang menangis. Lilin di hadapannya mati, tanda bahwa yang ia jaga telah hilang dan pergi jauh. Perempuan itu, menurut Mbah adalah pasangan babi jadi-jadian itu—yang sebelumnya adalah manusia. Perempuan itu menghuni sebuah gubuk tua. Benar dugaanku, babi itu hanya orang tak punya yang mencoba cari sedikit rezeki meski caranya agak salah. Tapi, bukankah selalu ada ruang di mana manusia harus dimaafkan?
Lalu, beberapa hari setelah pesta itu berakhir, seorang perempuan terlihat mendatangi rumah Pak Lurah pada malam purnama. Orang-orang yang sedang duduk di depan langgar, melihat perempuan itu melintas dan mengikutinya. Sampai di rumah Pak Lurah, perempuan itu mengetuk rumah tanpa berbasa-basi.
“Ada perlu apa ya, Mbak?” tanya Pak Lurah.
Perempuan itu menjawab, “Saya mau ambil tulang babi yang dibakar tempo hari.”
Pak Lurah bingung dan bertanya, “Untuk apa?”
“Untuk saya rebus jadi kaldu dan jadi kuah nasi kerak. Mohon dipahami, saya ini bukan orang kaya seperti warga desa lain,” jelas perempuan itu.
Pak Lurah yang masih mengernyitkan dahinya lalu menuju kamarnya. Ia mengambil segulung kain berisi tulang babi dan menyodorkannya pada perempuan itu. Setelah perempuan itu mengambil tulang babi yang diinginkan, ia pun pergi.
Sejak hari itu, desa Ngadirojo pun aman tenteram. Tak ada lagi desas-desus babi ngepet yang berkeliaran. Kepergian perempuan yang membawa tulang babi pun, tak lagi diungkit-ungkit. Dan sampai situ, dongeng Mbah Putri pun diakhiri.
“Yah, hanya itu, Mbah?” tanya sepupu-sepupuku yang sedikit kecewa.
Mbah Putri hanya mengangguk dan beranjak dari kursi. Bagus membantunya berdiri dan mengantarnya ke ruangan.
***
Sekitar tengah malam, aku terbangun. Semuanya sudah tidur. Suasana rumah Mbah juga sepi. Hanya terdengar suara jangkrik dari kebun di belakang yang bersahutan dengan takbir dari langgar. Aku berjalan menuju dapur, melewati kamar Mbah Putri di bagian belakang rumah. Pintu kamar Mbah rupanya terbuka. Aku mengintip sedikit, terlihat Mbah Putri yang sedang duduk di pinggir ranjangnya. Saat aku akan masuk, aku mendengar Mbah Putri berbicara, hingga aku mengurungkan niatku.
“Mas, cucu-cucu kita berkumpul semua. Selamat hari raya katanya,” gumam Mbah.
Aku bergidik ngeri. Mbah Putri belum tidur tengah malam begini dan di tangannya, sebuah kain terbuka. Di atas kain itu, setumpuk tulang belulang yang sudah kering terlihat menempati kain. Mbah Putri lalu menutup kain itu setelah komat-kamit berdoa dan beranjak tidur.
Aku terpaku di depan pintu, bertanya-tanya. Mungkinkah itu tulang babi ngepet yang Mbah Putri ceritakan?
—
Jakarta, 24 November 2014
Leave a Reply