“The good man is the friend of all living things.” — Mahatma Gandhi
***
Di tengah-tengah musik Jesus and Mary Chain yang mengalun ke gendang telinga dan rumah siput yang diam saja di dalam sana, saya menulis artikel sederhana ini. Sedikit artikel atau opini pribadi saya mengenai sosok Gede Robi Supriyanto atau yang biasa orang kenal dengan sebutan Bli Robi, salah satu dedengkot sebuah band asal bali bernama Navicula.
Bisa dibilang, saya bukan orang yang mudah move on terhadap suatu kejadian atau situasi yang menyenangkan dan membuat saya betah. Perbincangan-perbincangan kecil dengan seorang teman yang berujung pada perbincangan sepagian dapat membuat saya susah tidur. Sudah lelah, malah ditambah kegiatan berpikir. Otak saya selalu berputar, bekerja tak kenal waktu setelah mendapatkan nutrisi dari sebuah diskusi. Ya, diskusi yang singkat dengan seseorang atau sekelompok orang.
Kali ini, saya mendapatkan kesempatan itu, bincang-bincang singkat dengan salah satu orang yang hanya sempat saya minta foto bersama, atau bicara kecil-kecilan yang numpang lewat saja. Saya jadi mengerti, perihal susah move on seperti ini memang kerap kali terjadi. Seperti halnya Aris Setyawan yang begitu ingin bertemu dengan Ucok Homicide a.k.a Herry Sutresna, ketika berkunjung ke Bandung, dan tak bisa move on beberapa hari kemudian. Sampai harap-harap cemas ketika berada di kereta yang lajunya hampir memakan waktu sebelas jam. Haha. Saya merasakannya, Ris. Jadi, kita senasib wahai Aris, meskipun Chairil Anwar berkata, “Nasib adalah kesunyian masing-masing.” :))
Banyak orang berkata, bahwa seseorang yang telah menjadi “orang besar” tak pantas lagi diajak berbicara, tak pantas diajak duduk sama rata dan tak perlu diajak menenggak kopi yang sama dari gelas plastik murahan. Saya rasa, hal itu tidak relevan, apalagi jika kau tak pernah mencoba untuk menyapa orang-orang yang menurutmu besar itu. Saya tak berniat untuk mentertawakan orang-orang itu, sebab saya juga pernah menilai orang dengan stereotip yang sama.
Namun, saya ingin tertawa ketika salah seorang teman menaruh nama Bli Robi ada di dalam daftar “orang yang tak pantas diajak minum kopi bersama”. Hahahaha. Mungkin, teman saya harus diajak berbicara dan ngopi bareng dulu, sehingga malu sendiri. Sayang, ketika kemarin saya hadir di acara Surabaya yang bertajuk “Grunge Terror 2” untuk silaturahmi pasca lebaran sekaligus meliput bahan zine, teman saya ini tidak turut serta. Padahal, bisa malu-malu serigala dia jika dihadapkan pada kondisi saling bertatap muka dengan Bli Robi yang kala itu menenteng botol bir besar sambil bertelanjang kaki. Bli Robi yang lelah menghibur partisipan acara dengan lagu-lagu legendaris dan masih bisa diajak bicara santai sampai pagi. Malah, sebelum memulai permainan gitar akustiknya, Bli Robi mempersiapkan sendiri segala kebutuhannya dan berkomunikasi dengna operator di pertengahan gedung serbaguna mengenai settingan audio yang memenuhi kriterianya. Wah, saya terkesan. Bli Robi yang saya baru tahu pada dini hari ini, bahwa beliau adalah orang yang bisa diajak bicara apa saja. Bukan hanya ramah pada sesama tapi ramah juga pada alam raya.
Awal mulanya, saya mencoba bertanya pada Bli Robi pada sesi diskusi singkat malam 10 Agustus itu, ketika acara musik disudahi dan sisanya tinggal santai-santai saja. Saya bertanya tentang efektivitas musik dalam kegiatan aktivisme dan solidaritas, sebab di Indonesia ini cukup banyak musisi yang menyuguhkan lagu dengan isu-isu yang berkembang di masyarakat dan sangat dekat dengan kita. Namun, seberapa besar tingkat efektivitasnya, kita juga tak bisa menebak. Hanya saja saya menangkap, bahwa tugas Bli Robi dan Navicula sebagai musisi sudah cukup sampai pada posisi “penggerak poros”, sebagai pemersatu insan yang progresif revolusioner. Sisa perjuangan, setidaknya dari 10 pendengar lagu-lagu yang diusung Navicula, ada satu atau dua orang yang kelak bisa meneruskan atau membuat sebuah pergerakan berdasarkan lagu-lagu milik Navicula, tidak hanya berkutat di esensi lagunya saja, melainkan turun langsung ke dalam implementasi terkait perubahan yang tersugesti lagu. Malam itu, saya begitu berapi-api mendengarkan. Saya melupakan tugas kantor sejenak dan memutuskan untuk mengakhiri malam sampai semua perbincangan benar-benar selesai.
Diskusi yang tidak seberapa lamanya, dengan beberapa pertanyaan yang dilontarkan oleh orang yang itu-itu saja, akhirnya selesai. Semua bangkit berdiri dan pulang ke tempat singgah masing-masing. Sementara saya dan beberapa orang yang masih ada di acara–kebetulan teman-teman dekat saya juga–memutuskan untuk berlama-lama di gedung serbaguna Kampoeng Ilmu Surabaya. Saya tak ingin melewatkan kesempatan untuk berbincang-bincang atau mendengarkan cerita dari Bli Robi, karena saya tahu bahwa kesempatan kecil tak datang dua kali. Maka, setelah menunggui dan sedikit membantu kawan-kawan SGA (Surabaya Grunge Army) untuk membereskan kembali lokasi acara, kami semua turun. Kami menyambung perbincangan yang sebelumnya telah terdistraksi debu-debu, remah langit-langit, dan botol kosong sisa minuman. Di dekat bale bawah, kedai kopi masih buka rupanya. Saatnya menggenapi hari Minggu yang lelah dengan perbincangan sederhana yang dihiasi kepul asap dan kopi pekat.
Ada beberapa ilmu baru yang didapat dari perbincangan singkat. Ilmu-ilmu tentang menghidupi sebuah komunitas dan bagaimana cara mengintegrasikan elemen-elemen yang ada di dalamnya agar bisa sama-sama bermanfaat dan berfungsi sesuai kapasitas masing-masing. Ada juga ilmu yang sungguh sederhana, mengenai budidaya tanaman kopi lokal dan bagaimana cara mengolah kopi yang masih berbentuk buah sampai jadi kopi bubuk. Ada ilmu-ilmu lain juga yang relevan dengan beberapa isu terbaru di negeri ini, yang rasanya sangat pas jika dibicarakan dalam keadaan random, santai dan serba tidak terduga seperti pemilihan presiden–yang baru-baru ini panas sekali–misalnya. Atau, bicara dolly yang bisa jadi akan memunculkan ancaman baru bagi suami-suami para ibu? Hehe. Seperti berbicara dengan teman dekat ketika minum kopi dalam satu gelas yang sama, kata-kata dan pemikiran-pemikiran mengalir dengan derasnya. Maka, nikmat Semesta manakah yang kau dustakan?
Pemikiran saya ketika menghadapi bincang-bincang dengan Bli Robi, persis seperti pemikiran yang Aris tuliskan dalam artikelnya mengenai Ucok. Bli Robi sangat cocok dianggap sebagai teman bicara yang begitu membumi, dengan wawasan seluas lautan yang masih bisa diseberangi. Saya bukan penikmat teori-teori berat mengenai filosofi kehidupan, tapi saya lebih menikmati bagaimana hidup dibaca dari perputaran logika dan realita. Dari sana, teori-teori itu sebenarnya relevan, tanpa kita harus menelan bulat-bulat teori itu hanya sebatas textbook. Begitu banyak kajian filsafat kehidupan dari perbincangan dengan Bli Robi. Bli Robi bukanlah orang yang jauh di atas langit, seperti yang teman-teman saya dakwahkan. Mungkin… Ini mungkin saja. Bung Teman memang belum pernah berbicara langsung atau sekedar menyapa Bli Robi, mungkin Bung Teman segan dan malu, sehingga ia membuat sebuah stereotip bahwa, orang-orang yang sudah besar atau terkenal seperti Bli Robi, tak perlulah diajak berbincang dan minum kopi bersama. Bung Teman saya ini sepertinya menanamkan majas pars pro toto. Batang hidung untuk seluruh. Padahal, tak semua orang seperti yang dia utarakan. Saya jadi ingin mengajaknya bertemu langsung dengan Bli Robi, mungkin nanti kita ke Bali? Hehe.
Maka, saya menganggap bahwa Bli Robi adalah buku pengetahuan berjalan yang bisa kapan saja ditanyai, dan dimintai pendapat. Bli Robi begitu terbuka. Ilmu kehidupan yang didapatkan benar-benar bebas disebar dan difotokopi maupun diperpanjang. Anggaplah saya sedang belajar, sebagai orang yang baru-baru ini melihat kisruh dalam realita kehidupan, saya belumlah jadi apa-apa. Saya menjura.
Setelahnya, anggaplah Bli Robi sebagai teman bicara yang rumahnya selalu terbuka, sebab ketika saya berbicara dengannya, dengan beberapa teman (Mbak Wenny dan Mbah Man), saya seperti sedang menghadapi teman sepermainan yang sedang melakukan pertukaran pikiran. Saya hanya ingin membuang stereotip bahwa Bli Robi bukanlah legenda lama yang hidup di Bali, yang bergerilya membawa nafas grunge dan lupa ketika telah besar. Sesungguhnya, Bli Robi masih berada di dalam lingkaran komunitas itu sendiri, dekat dengan semua manusia dan alam raya. Masih bersuara dengan lantang memikirkan nasib-nasib orang yang tertindas yang mungkin sebenarnya tak kita kenal, atau malah kita komentari, “Siapa sih dia? Untuk apa kita bela dia?” Tapi, Bli Robi mau. Pun dengan Navicula. Bli Robi dengan Navicula-nya, bukanlah dewa atau nabi yang dikultuskan. Mereka hanyalah sekumpulan manusia yang sama dengan kita. Manusia yang besar dari dukungan manusia lain. Makhluk sosial pada umumnya. Bernafas dengan kita. Peduli dengan kita dan negeri kita yang kaya. Kalau mereka saja peduli, mengapa kita pura-pura tidak peduli? Padahal, kita hidup di sini, memiliki sumber daya melimpah ruah tapi setengah mati untuk hidup di dalam arus modernisasi dengan mengonsumsi barang jadi berlabel “West” yang dilempar mentah ke sana, diolah sedikit, dicap “West” lalu kembali ke negeri kita untuk dikonsumsi. Coba mengutip kata-kata, “Kita adalah tikus yang mati di lumbung padi.”
Sungguh lucu sekali rasanya.
Ah sudahlah. Artikel testimoni ini, rasanya jadi semacam sentilan tak berujung yang akan sangat panjang isinya jika saya teruskan kemana-mana. Berhubung banyak sekali orang yang minat bacanya terkikis, alangkah baiknya, testimoni saya untuk Bli Robi Navicula kali ini, saya cukupkan saja sampai di sini. Oh ya, jika kawan-kawan menunggu artikel berikutnya yang berisi diskusi singkat hasil menyimak seadanya pada acara 10 Agustus lalu, harap bersabar. Maklum lah, keinginan menulis banyak hal kadang tak sejalan dengan momentum yang saya miliki pada saat ide tersebut muncul di kepala. Mungkin, saya akan coba menyusunnya tak lebih dari akhir minggu ini. Ditunggu saja.
Pada akhirnya, saya hanya ingin mengucapkan syukur pada Semesta dan kebetulan-kebetulan kosmos yang membuat saya bisa berada di Surabaya pada saat yang tepat dan tak terduga. Semua hal sudah dirancang dan tak ada kebetulan mutlak. Yang ada hanyalah kebetulan yang sebenarnya telah dirancang oleh semesta. Pertemuan, perbincangan, dan aliran hidup yang sudah terjalur akan menemukan muaranya. Dan saya percaya, setiap pertemuan akan memberikan pelajaran berharga pada irisannya.
Saya berpesan pada kawan-kawan untuk tak melihat buku hanya dari harga, melainkan dari isinya. Harga dan sampul bisa menipu, tapi isinya belum tentu. Hehehe. Tetaplah percaya, bahwa tiap-tiap manusia, selalu punya cara untuk memanusiakan manusia lainnya, walaupun setitik. *udah gitu aja*
Surabaya, 11 Agustus 2014
*thanks God, for the fastest Wi-Fi connection from Providence Homestay! :p
*special thanks for SGA, Grunge Terror 2 all participant, Mbak Wenny, and Mbah Man
Leave a Reply