Better Man
Oleh: Ayu Welirang
Waitin’, watchin’ the clock, it’s four o’clock, it’s got to stop
Tell him, take no more, she practices her speech
Sudah tidak terhitung, berapa kali aku melirik ke jam meja sambil memutar lagu Pearl Jam yang beberapa hari terakhir aku putar di telepon genggam busuk milikku satu-satunya. Jam di atas meja mungil di samping kasur yang sudah tak terasa lagi, apakah kapuk atau kasur batu. Selesai menyeterika, lalu melipat pakaianku dan pakaiannya, aku cukup lelah. Aku ingin ditemani olehnya, namun sampai jam 4 pagi, dia belum kembali. Ku pikir, ya sudahlah, aku tidak boleh menjadi perempuan yang egois. Mungkin dia memang harus bekerja semalaman sampai menjelang pagi, mencari nafkah untukku dan masa depan kami berdua. Aku tidak bisa tidur. Aku lelah dan aku tidak ingin tertidur karena menjaga pintu agar dia dapat masuk ketika pulang. Kalau aku tertidur, aku khawatir dia akan tidur di luar atau di jalanan.
Sayup-sayup, di tengah kesadaran antara tertidur dan tidak, aku mendengar langkah kaki menaiki tangga kontrakan yang seperti rumah susun ini. Sebuah kontrakan bersusun yang tidak bisa disebut rumah susun, di pinggiran kota Jakarta. Langkah kaki itu cukup pelan, sabar, dan terkesan berhati-hati. Itu dia. Dia pulang. Aku sedikit menitikkan air mata dan aku memaksa diriku untuk berpura-pura tertidur, memaksa diriku untuk tegar, telah tegar menunggunya pulang. Di telingaku masih tertempel headset dari telepon genggamku yang juga masih memutar satu lagu yang daritadi ku putar. Aku masih menangis. Tangisanku samar, karena lampu bilik depan yang kecil dan berfungsi untuk ruang tamu, aku matikan, sehingga hanya menyisakan lampu yang ada di tengah bilik antara dapur seadanya dan kamarku yang hanya sebatas papan saja dengan dapur itu. Aku tidur menghadap tembok kamar, memunggungi dirinya.
As he opens the door, she rolls over…
Pretends to sleep as he looks her over
She lies and says she’s in love with him, can’t find a better man…
She dreams in color, she dreams in red, can’t find a better man…
Aku terisak dan dia mendengar tangisku yang terputus-putus dengan nafas lelahku. Entah dia melakukan apa, aku tidak melihatnya. Suara kompor dinyalakan. Rupanya, dia memasak air hangat. Dari suara, aku bisa tahu kalau dia menuangkan air, mengaduk. Wangi kopi hitam pekat pun tercium. Masih dalam keadaan menangis terisak, ada yang memeluk diriku dari belakang. Memeluk dan bernafas lelah, sama sepertiku. Mencium bahuku dan berbisik. Bisikan menenangkan.
“Neng, maaf pulangnya kemaleman. Tadi pas mau pulang, udah jalan mau ke sini, Cipta malah sms. Dia digebukin sama anak ormas yang pegang parkiran,” katanya padaku.
Aku tidak menjawabnya. Aku melepas headset dan berdiam diri lagi. Kemalaman? Dia bilang ini malam? Apa dia tidak tahu kalau ini pagi? Ah ya, aku baru ingat kalau dia memang tidak pernah mengerti tentang waktu dan kegiatan menunggu. Aku pun akhirnya hanya mencoba menghentikan perasaan sensitif yang membuat aku menangis setiap kali menunggunya pulang. Aku sebenarnya ingin bilang kalau aku lelah menunggu. Aku tidak suka menunggu. Tapi, aku buang jauh perasaan itu dan mencoba membuka mata dan berbalik menyambut dirinya pulang.
“Jangan marah ya Neng,” katanya lagi, sambil mengusap kepalaku dan mencium pelipis kananku.
Aku menarik tangan kanannya ke perutku. Masih membelakanginya. Dia memeluk diriku erat. Mengelus perutku dengan tenang dan sabar. Aku sangat tenang. Dia menenangkanku. Kekhawatiran saat menunggunya pulang, hilang seketika.
Dia mencium perutku dan berkata, “Dede kita apa kabar Neng? Sehat kan? Maaf ya dede, babehnya pulang pagi terus. Cari uang buat kita semua, biar dede kuat kaya babehnya.”
Aku tersenyum dan mengusap rambutnya yang berantakan tidak tersisir rapi. Aku berkata, “Dedenya daritadi nunggu babehnya. Kangen sama babeh katanya.”
Dia kembali ke posisinya. Di sampingku dan dia berbisik lagi, “Dede apa mamanya yang kangen?”
“A, kapan kita pulang ketemu Mama? Biar udah menikah, kalo belum direstui, nggak enak juga,” kataku.
Dia mencium keningku dan berkata, “Sabar ya Neng. Aa kumpulin uang dulu buat kita. Aa pengen tunjukin ke orang tua kita berdua, kalo aa bisa membahagiakan Neng dengan segenap usaha. Nanti kalo uangnya udah banyak, kita pulang. Biar nggak ada yang memandang hubungan kita sebelah mata lagi.”
Aku tersenyum dan membaringkan diriku di bahu kirinya. Mendekapnya seolah tidak ada lagi esok lusa. Aku menangis bahagia. Aku harus menerima dia apa adanya dan tidak meragukan apapun dari dirinya. Meskipun dia adalah orang yang hidup keras di Jakarta, aku tahu, dia pasti akan pulang juga ke sini. Ke rumahku, rumah kami berdua. Rumah kami yang kelak akan bahagia. Hanya tinggal menunggu waktu sampai nanti semuanya terwujud.
Aku pun berkata lagi sambil mengelus perutku, “A, besok kalo ada uang lebih dari markir, beli kasur baru ya. Kasur ini udah keras. Nanti dede kasian.”
“Pasti Neng. Doakan aja ya, supaya semuanya lancar,” jawabnya dengan sabar.
Alunan lagu ku putar dalam memoriku. Tak ada lagi keraguan dan egoisme yang aku tunjukkan. Semua akan ada masanya, semua pasti akan menuju bahagia. Tinggal menunggu waktu saja. Tuhan pasti memberi bahagia…
Talkin’ to herself, there’s no one else who needs to know…
She tells herself, oh…
Memories back when she was bold and strong
And waiting for the world to come along…
Swears she knew it, now she swears he’s gone
She lies and says she’s in love with him, can’t find a better man…
She dreams in color, she dreams in red, can’t find a better man…
Can’t find a better… man…
Leave a Reply