Kalau kita benci
Jakarta, kenapa masih berusaha untuk tunduk dalam kepadatan arus lalu lintas dan hiruk-pikuknya? Kenapa masih mau dikangkangi oleh kota yang tak ada hijau-hijaunya? Sebenarnya, apa yang kita cari di Jakarta? Sebenarnya, apa yang membuat Jakarta–
si pelacur tua–terus berdenyut? Bahkan, mungkin detak jantungnya semakin kuat. Padahal, dari denyut itu, kita tak pernah menemukan titik pusat denyutan. Kita tak pernah menemukan posisi jantung yang terus berdenyut, terus memompa darah ke seluruh nadi kota Jakarta. Bukan pemerintahan, bukan orang-orang yang duduk di balik kursi menteri, bukan pula para pelaku bisnis raksasa yang bermain di balik pelarian grafik-grafik saham. Sesungguhnya, apa yang saya tangkap akhir-akhir ini adalah,
bukan mereka yang besar dan berada di atas, yang memompa darah untuk memaksa Jakarta berdenyut, melainkan mereka yang kecil-kecil, seperti gotong royong para semut.
Mungkin begitu analoginya. Saya juga tak tahu. Sebab, hidup di sini malah membuat saya lebih banyak berkontemplasi. Kadang lucu, tapi ya begitulah adanya. Di sela-sela hidup yang semakin menguras air mata dan keringat, rupanya Jakarta memberikan kesan yang lain. Memberi experience yang berbeda. Masih tak terdefinisi oleh saya, tetapi kurang lebih seperti itulah! 😀
Maka dari itu, saya membuat sebuah mixtape. Musik-musik yang saya kompilasikan, untuk sekedar diunduh atau diabaikan juga tak apa. Musik-musik yang mungkin bisa merepresentasikan Jakarta dengan macam-macam pompa denyutnya.
 |
artwork mixtape, dibuat ngarang aja gitu… 😛 |
Arus dan Denyut. Inilah mixtape sederhana, memuat beberapa lagu sederhana tentang Jakarta. Mengekor di dalam arus dan denyut Jakarta, 10 lagu ini saya susun untuk teman-teman semua. 🙂
1. Iwan Fals – Lagu Dua (Jakarta)
Lagu ini mungkin semacam representasi atas kondisi Jakarta dan orang-orang di Jakarta. Bagaimana mereka harus membeli air dari PAM, sebab air bersih tak tersedia begitu saja, tidak mengalir seperti air yang didapat orang-orang kaki gunung. Dan di Jakarta, membeli air PAM mungkin harus berpeluh dulu, banting tulang. Katanya, Indonesia ini
tanah air, tapi kok tanah dan airnya mahal di Jakarta? Memang,
Jakarta cuma enak buat cari duit! Kalau sudah punya duit, pulang saja! Hehehe. 😀
2. Amazing In Bed – Jakarta Lovely City
“Jakarta lovely city. Poverty… Opportunity. Jakarta lovely city. Thousands of plans and millions of man…”
Ya. Jakarta. Antara kesempatan dan kemiskinan. Jakarta yang dicintai orang-orang. Jakarta yang memiliki beribu rencana, dari beribu manusia. Nikmatilah… 🙂
3. Ramondo Gascaro – Oh Jakarta
Lagu ini adalah salah satu lagu favorit saya. Menggambarkan tentang sosialita Jakarta. Mereka, orang-orang yang tertawa dengan botol sampanye di tangannya, padahal dalam hati mungkin saja menangis. Mereka tertawa di
malam pesta, padahal dalam hati mengutuk macet, mengutuk pengendara motor dan kendaraan umum yang serampangan. Padahal, sudah tahu macet, masih mengutuk juga. Oh Jakarta! 😀
4. Benyamin Sueb – Kompor Meleduk
Ini yang paling legendaris. Menggambarkan banjir Jakarta, yang selalu terjadi setiap lima tahun sekali. Banjir kiriman dari Bogor, kota hujan. Aliran sungai Ciliwung yang terbagi di Pulo Geulis itu akan bermuara ke laut utara. Namun, sebelum melalui laut utara, aliran air hujan itu akan melewati Jakarta dulu. Dan seperti yang sudah-sudah, karena tersendat sampah di Jakarta, maka hujan pun jadi genangan yang membuat orang-orang di daerah rawan banjir akan wara-wiri keserimpet. Pet! Hehehe. Tapi, kata Pak Jokowi, sedang berusaha dibenahi. Maka, berdoa sajalah untuk kelangsungan program penanggulangan banjir ini. Beruntung, banjir kirimannya lima tahun sekali. 😛
5. Iwan Fals – Kontrasmu Bisu
Di lagu ini, saya mengiyakan isi dari lagunya. Tinggi gedung membuat iri gubuk-gubuk pinggir kali. Kota ini pincang. Saya sendiri melihat perbedaan. Di balik Lotte Shopping Avenue, Jalan Prof. Dr. Satrio, saya jajan pecel ayam. Tidak terlihat lho, di belakang Lotte itu ada warung pecel ayam, sebab masuk ke gangnya saja sudah saling membelakangi. Agak kumuh memang, karena
rumah tinggal yang terpaksa digusur itu kini mulai membangun diri mereka kembali. Meski mendapat sisa-sisa sampah dan limbah dari Lotte Shopping Avenue, rumah tinggal berikut isinya itu tetap bertahan. Saya jadi ingat sajak Wiji Thukul tentang
Bunga dan Tembok. Kelak, akan tumbuh di tembok-tembok angkuh itu, akar-akar pohon yang baru. Sampai pada waktunya nanti, akar-akar itulah yang akan merobohkan para tembok.
6. Iwan Fals – Sore Tugu Pancoran
Anak-anak kecil yang berkelahi dengan waktu. Mungkin ada yang benar-benar melakukannya, ada pula yang melakukan itu karena suatu lembaga ilegal yang memperjualbelikan anak untuk diserahkan ke jalanan, menjadi raja jalanan untuk mencari uang si penjual yang bersangkutan. Miris memang. Meski begitu, ada yang benar-benar turun ke jalanan untuk mencari sesuap nasi, atau menambah-nambah uang SPP, alih-alih membantu orang tua yang hanya bekerja serabutan sebagai tukang bengkel, pemulung, joki
three-in-one, dan lain sebagainya. Anak-anak inilah yang patut saya beri penghargaan. Kalau benar ada penghargaan itu, maka piala dan hadiah patut dikalungkan pada anak-anak yang bisa membagi waktu antara berada di jalanan dengan kepentingan pendidikan.
7. Slank – Jakarta Pagi Ini
Saya hampir tak pernah bisa melihat
sinar mentari di Jakarta. Pagi-pagi buta, berangkat kerja agar tak terkena macet. Bekerja menguras otak di dalam ruangan ber-AC, dan pulang di malam buta setelah populasi kendaraan di jalanan tak
bottle neck lagi. Hahaha. Jadilah, tak ada sinar mentari. Lagu ini menggambarkan pesimisme terhadap Jakarta saat menyambut pagi. Sendiri di dalam keramaian, sambil memandangi hiruk-pikuk pagi hari kota Jakarta. Tetap sepi, meski orang-orang berjalan lalu-lalang di trotoar.
8. Bangkutaman – Ode Buat Kota
Lagu yang ini mungkin lebih bernuansa bahagia. Lebih optimis dari lagu-lagu sebelumnya yang mengkritik kondisi sosial Jakarta dengan berbagai cara dan emosi musiknya. Di lagu ini, Bangkutaman membawa kita pada sebuah ode, sebuah syair indah untuk Jakarta. Dialamatkan kepada suara bising di tiap jalan, langkah kaki yang berlalu-lalang, sirine raja jalanan, dan suara sumbang yang terus berdentang. Dan lagu ini tetap riang, meski menceritakan bagaimana kita besar di Jakarta dengan sungai yang kian menghitam. Kita tetap riang, meski keriangan itu didapatkan dari bawah kolong jembatan. Lalu, Bangkutaman pun menyanyikan lagu ini untuk kami, para perantau yang selalu homesick. Ingin pulang tapi terjebak macet, dan pada akhirnya kesepian di tengah malam.
9. White Shoes and The Couples Company – Kisah Dari Selatan Jakarta
Saya sebenarnya tidak kuasa mengartikan isi lagu ini. Namun, karena hanya di Jakarta Selatanlah semua keriangan itu bermula, saya kira lagu ini cocok. Hehehehe. Suasana yang ‘agak’ nyaman itu, menurut saya ya Jakarta Selatan. Mungkin malah, saya bisa menyebut kalau Jakarta Selatan itu nggak Jakarta banget kok! Semua orang dari penjuru kota yang mencapai Jakarta, mungkin akan bertemu di satu pintu, Jakarta Selatan. Bisa di Tanjung Barat, di Lebak Bulus, di sana, di situ. Karena dekat dengan perbatasan kota-kota lain, seperti Depok, Bogor, Tangerang, maka Jakarta Selatan itu sudah sangat multi-etnis. Makanya, di sini wajah Jakarta tak begitu terlihat. Kita bisa melihat orang ini dan itu, nongkrong bareng. Di sudut manapun.
10. Farid Hardja – Jakarta
Nah, lagu bergaya rockabilly ini memang tidak sebombastis Karmila. Tapi, lagu ini menggambarkan muda-mudi Jakarta yang gemar kongkow di kelab malam. Mencari keriangan dengan cara lain. Mencari keriangan dengan nongkrong di mana saja, bersama teman-teman serupa, dengan gaya celana yang warnanya luntur, jahitan timbul. Lagu yang menggambarkan muda-mudi Jakarta, bunga-bunga Jakarta yang kelak akan jadi penyambung tembok angkuh, atau penyebar benih bunga yang mungkin akan merobohkan tembok-tembok itu, seperti pada sajak Wiji Thukul.
Ya begitulah, sedikit denyut-denyut Jakarta yang dapat kita dengar dan juga baca dari sebuah lagu. Untuk mengunduhnya, sila kunjungi
tautan ini.
Salam!
Leave a Reply