Jakarta sudah habis. Di atasnya berdiri bangunan-bangunan industri. Di sekitar bangunan bangunan itu, bangunin-bangunin memproduksi belatung…
Jakarta sudah habis. Warna tanahnya merah kecoklat-coklatan. Mirip dengan darah. Mirip dengan api. Mirip dengan air mata…
(Iwan Fals – Lagu 2)
Hujan deras melanda Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Waktu di telepon genggam saya sudah menunjukkan pukul enam sore. Hujan itu hujan hari Sabtu, 12 Oktober dan saya menunggu seseorang.
Hari Sabtu itu, saya berniat untuk pulang ke rumah saya di Cimahi, Jawa Barat. Biasanya, seperti yang sudah-sudah, kalau pulang hari Sabtu kemungkinan tidak akan mengantri kendaraan menuju Bandung, untuk kemudian saya akan turun koboi di tengah jalan tol Samsat Cimareme. Namun, rupanya saya keliru. Sabtu itu, banyak para pengantri lainnya. Ah, saya lupa. Rupanya mereka akan ber-Idul Adha.
 |
para penumpang sedang berteduh di depan loket |
Hujan masih saja mengguyur terminal yang bisa dibilang jadi sentral untuk para perantau yang berdomisili di Jakarta Selatan. Pasalnya, Lebak Bulus adalah terminal yang bisa dibilang cukup besar dengan armada bus yang cukup lengkap. Mulai dari ujung barat pulau Jawa, sampai ujung timur. Bahkan, bus lintas pulau pun ada. Dan masalahnya dimulai dari sini, di antara hujan.
Terminal Lebak Bulus pada saat itu cukup ramai. Orang yang saya tunggu tak kunjung datang. Maka, daripada saya mati bosan, saya duduk di tepi terminal, di kursi tunggu penumpang. Sambil menghindari hujan, tak ada salahnya juga mengamati manusia yang hilir mudik, berebut kursi di dalam bus, menghardik orang, mendorong nenek tua, berdesakkan, mencari kesempatan dalam kesempitan, menjadi tega karena satu kata… PULANG.
Memang, sejak saya datang, bus yang ingin saya tumpangi sampai Cimahi tidak terlihat satu pun. Saya biasa menumpang Primajasa untuk sampai di Cimahi. Bis Garut, Tasikmalaya, Bandung, atau apapun yang melewati Samsat Cimareme, pasti saya tumpangi. Yang jadi masalah sekarang adalah, bus itu langka di hari-hari menjelang hari raya. Dan lautan manusia yang ingin menumpang bus itu, bukan hanya saya.
Duduk saya di kursi penumpang, sambil menunggu hujan dan mengamati mereka. Manusia yang beragam. Manusia yang merantau ke Jakarta, katanya untuk bekerja, mengais rezeki, mencangkul berlian, dan apapun yang bisa mereka lakukan di Jakarta. Di hari hujan begini, bukannya berada di rumah, di depan TV sambil bersantai dan minum kopi, tapi mereka semua ada di jalanan, di terminal, di sini bersama saya yang duduk di tepian terminal. Mereka semua terlihat sibuk, cemas, bahkan sedih. Saya bisa melihat hal itu di mata mereka. Ketika bus itu datang, mereka menjelma zombie, berlari menghampiri bus yang seolah berisi makanan dan darah segar bagi mereka. Padahal, bus belum berhenti. Oh, saya memang sudah sering mengalami hal seperti ini, berebut bus dengan para penumpang lain. Tapi, bedanya ini lebih membludak lagi. Saya jadi berpikir, darimana mereka datang? Kenapa zombie-zombie ini semakin bertambah? Rasanya, Jakarta yang sempit ini jadi makin sempit saja. Di tengah hujan, saya tertawa melihat mereka.
 |
atas: hilir mudik manusia bawah: berebut kursi bus Primajasa |
Mereka tak berpayung, tak berjas hujan, tapi mereka rela terhujani di tengah terminal, demi menunggu bus yang mereka idam-idamkan datang. Dan ketika datang, pintu masuk yang belum dibuka, dipaksa untuk terbuka. Bahkan, ada yang rela menyakiti tangannya untuk mengetuk kaca pintu bus, padahal mereka tahu kalau itu memang tak akan dibuka sebelum bus berhenti. Supir dan kondektur yang kewalahan akhirnya mengalah. “Daripada bonyok atau kaca pecah,” begitu gumam mereka.
Saya tertawa lagi. Sebenarnya, ini mau pulang kampung atau demonstrasi? Barbar sekali, pikir saya. Tapi, memang begitulah keadaannya. Lebak Bulus yang sebesar ini tampak kosong tanpa bus-bus kesayangan saya itu. Bus yang bagi sebagian warga perantauan sangat dinanti. Bukan karena apa-apa, tapi lebih kepada faktor ekonomi. Saya dan mereka sama-sama berada di kelas menengah, lebih suka menumpangi bus itu daripada travel atau pesawat. Maklum lah, namanya juga kantong perantau. Sebisa mungkin cari yang hemat. Hehe.
Singkatnya, hujan pun berhenti seiring dengan pemandangan lautan perantau yang mulai berkurang. Orang yang saya tunggu pun sudah datang. Kami menunggu sekitar dua jam sampai suasana kondusif (karena kami sedang lelah kalau harus ikut berhimpitan dengan lautan perantau). Pukul sembilan malam, akhirnya kami memilih naik Primajasa menuju Leuwi Panjang, Bandung, meski turunnya jadi lebih jauh dari daerah rumah saya. Kami menyerah dengan keadaan bus Garut yang belum juga ada solusinya. Rencananya, kami akan pergi ke Cimahi, untuk mengunjungi orang tua saya barang beberapa hari. Pasalnya, saya sudah lama tak pulang, sudah rindu. Tak jadi soal kalau saya harus ikut berdemonstrasi dalam hal rebutan kursi bus. Itu lebih pantas rasanya, daripada berdemonstrasi minta naik gaji seperti para buruh dan pengemis di Bandung. Hahaha.
Yah, setidaknya, saat ini saya pun menulis dari sini, dari Cimahi. Rumah dan tempat saya pulang di kala rindu. Satu-satunya tempat berpijak di tanah, sebab kalau saya di Jakarta, saya seperti terbang. Waktu seperti tak kentara. Saya seperti berada di dimensi lain. Negeri zombie yang nyaris mati. Rasanya, sudah tak ada tempat lagi, bagi para bangunin-bangunin yang memproduksi belatung.
Ah, Jakarta. Memang, cuma enak buat cari duit! Itu kata Iwan Fals. 🙂
Ayu Welirang
Cipageran, 15 Oktober 2013
Leave a Reply