Romantisme Pasar Senen

POSTED ON:

BY:

Saya mendadak ingin menulis tentang salah satu sudut kota Jakarta ini karena sedang membaca sebuah buku berjudul “Keajaiban di Pasar Senen”. Buku yang dicetak ulang oleh KPG ini adalah kumpulan cerpen yang ditulis oleh almarhum Misbach Yusa Biran. Tidak tahu? Ya, silakan googling sendiri. Hehehe. 
Buku ini memuat tujuh belas cerpen yang ke semuanya mengambil latar Pasar Senen dengan tokoh para seniman-seniman yang kerap kali mangkal di sana. Menurut buku, seniman suka sekali datang ke Pasar Senen sejak tahun 1930-an. Tapi, almarhum Misbach menggambarkan kondisi Senen pada tahun 50-an, dimana Pasar Senen masih menjadi pusat segala kegiatan jual beli dan juga kegiatan para seniman. Seniman senang berkumpul di sana juga karena Pasar Senen dekat dengan Gedung Kesenian Jakarta dan studio film Golden Arrow. Saya berminat menyusuri Pasar Senen, mencari jejak-jejak seniman yang mungkin masih ada, tapi tak saya dapati. Sayang sekali. Sepertinya, yang tersisa di sana hanyalah tempat pertunjukkan Wayang Bharata. Sisanya, ya hanya pedagang-pedagang yang mangkal. Mungkin, seniman sudah lari ke Cikini, di mana Cikini sudah jadi pusat para seniman IKJ. Entahlah.
Pasar Senen tempo dulu (sumber gambar dari sini)
Pada tahun 1968, gubernur Jakarta Ali Sadikin meresmikan Taman Ismail Marzuki dan kemudian mendirikan Institut Kesenian Jakarta. Selain sebagai obyek wisata, tempat ini juga diperuntukkan bagi para seniman yang hendak mengembangkan bakat dan kemampuannya. Sejak saat itu, maka mereduplah nama besar Seniman Senen. Kini Cikini dengan Taman Ismail Marzuki-nya, telah menggantikan Planet Senen sebagai tempat pembiakan para seniman muda.
Sekarang, satu-satunya yang bisa membuat saya kembali ke Senen adalah pasar barang-barang bekas yang sangat luas itu. Ruko-ruko tua yang dihuni oleh hampir dari beribu-ribu pedagang pakaian dan buku bekas itu nyaris membuat saya kalap. Ini romantisme. Ini masa muda. Maka, dengan segenap hati yang tercuri, saya pasti kembali dan kembali lagi ke sana. Entah akan membeli atau tidak, saya pasti kembali dengan harapan akan menemukan sesuatu. Di sana, saya bisa menumbuhkan minat baca saya yang mulai berkurang karena kurangnya asupan gizi buku yang baik, karena sekarang ini sedang tidak aktif kuliah. Hehehe. Sebenarnya saya sedang malas melihat kampus, makanya saya sudah jarang membaca buku. Saat ini jarang sekali saya mendapatkan waktu luang hanya untuk sekedar membaca. Maka dari itu, saya pasti berangkat menuju Pasar Senen, apabila saya ingin membaca. Biasanya, saya membaca di lapak yang paling luar, dekat dengan pintu masuk terminal. Di sana saya bisa mendapatkan berbagai macam buku, dengan penjual ramah yang mungkin saja kesal ketika melihat wajah saya dari kejauhan akan menghampiri tokonya.
Stasiun Senen tempo dulu
(gambar dari sini)
Sambil membaca, saya mencoba menelusuri lagi romantisme Pasar Senen, apakah masih ada warung masakan Padang “Ismail Merapi” yang diceritakan almarhum Misbach dalam buku? Di sana tempat seniman, pencatut, dan pencoleng berkumpul. Saya melirik ke sekitar, tak ada warung yang dimaksud. Hanya kios-kios tua saja yang menempati, itupun sudah reot. Saya tak melihat lagi romantisme 50-an yang diceritakan almarhum Misbach. Mungkin, ini semua dampak dari pembangunan yang gila-gilaan.
Setelah membaca, biasanya saya mampir ke ruko dengan koleksi barang bekas paling banyak. Di sana kita bisa mendapati pakaian-pakaian tua dan tentu saja bekas. Ada yang ingin kembali ke tahun 80-an? Atau 70-an? Atau mungkin, yang lebih tua lagi? Di sana bisa mendapatkan apa saja. Tapi, tentu saja kita harus pintar memilih barang mana yang layak dan tidak layak. Saya sudah langganan flannel atau kemeja kotak-kotak yang berbahan halus semacam wool. Di Senen, saya bisa mendapatkan berbagai macam kemeja flannel dengan harga murah dan dari berbagai brand. Sebenarnya, sambil mencari flannel, saya juga mencari lokasi para seniman berkumpul di ruko-ruko.
Grand Theater di perempatan Senen (sekarang sudah tidak aktif)
gambar dari sini
Agaknya, sulit sekali membayangkan di mana lokasi sebenarnya dari seniman Senen pada masa itu. Sekarang ini, Pasar Senen sudah berubah, sudah semakin berdenyut. Sudah tak lagi mesra seperti pada cerita-cerita almarhum Misbach Yusa Biran. Pasar Senen sudah tak lagi menjadi satu-satunya tujuan para seniman untuk sekedar minum “kopi kecil” dan makan kue putu yang sering mangkal di dekat pangkalan bensin. Ya, sejarah itu sudah hilang dengan sendirinya, sudah terhapus waktu. Meskipun begitu, setidaknya masih bisa kita melihat bioskop Grand Senen berdiri megah, meskipun tampak layu. Sudah tak lagi kita temui seniman teater di sana. Kini, Pasar Senen sudah benar-benar menjadi pusat lalu lintas manusia yang kompleks. Padahal, kalau tempat-tempat bersejarah bagi kemunculan seniman Senen itu bisa dijadikan museum, mungkin anak cucu kita akan tahu bagaimana sudut Jakarta yang paling romantis tercipta. Ya, sudahlah. Harapan tinggal harapan. Cita-cita pun kandas ditelan zaman.
Mungkin, sedikit kisah ini bisa jadi gambaran romantisme Pasar Senen pada awal mula denyutnya. Mungkin, sedikit cerita yang saya kira-kira ini, bisa jadi gambaran, bagaimana kita harus memandang Pasar Senen sebagai sisi Jakarta yang lain, yang berbeda dari hiruk pikuk kotanya yang gila. Mungkin, kawan-kawan harus membaca sendiri kisahnya, dari salah satu kumpulan cerpen almarhum Misbach Yusa Biran. Mungkin, setelah selesai membaca buku itu, saya akan ulas satu per satu cerpennya. Saya akan ulas, meski tak janji. Hehehe. Jadi, selamat bergerilya! Selamat menyusuri Pasar Senen, jika kalian penasaran. [Ayu]

Jakarta, 23 Januari 2013

TAGS



10 responses to “Romantisme Pasar Senen”

  1.  Avatar

    @Budhy Justicefarmtapi sekarang Senen udah begitu, yaaaa kayak terminal biasa aja. 😦

    Like

  2.  Avatar

    yo kapan2 tak mampir yuk. Kalo pas main ke jkt. Mo liat romantikanya senen 🙂

    Like

  3.  Avatar

    @Della waduh Mama, jangan banyak-banyak dulu, tempat penyimpanan bukunya belum begitu besar. masih dibangun dari kecil soalnya. 😀 hehehehe. ya udah aku hubungi via email yaaa. 🙂

    Like

  4.  Avatar

    @Budhy Justicefarmwah, mmapir dong ke Senen. Hehehehe.

    Like

  5.  Avatar

    Kalo Senen tau, dulu sering dilewatin waktu masih ngantor di Cempaka Putih :)Ayu, gimana ini buku-bukuku yang mau kusumbangin itu, gimana kita ktemuannya ya? Mo bikin daftarnya lupa mulu euy, maksudnya mo minta Ayu pilih aja mau yang mana ;)Atau mau semuanya juga boleh sih 😀

    Like

  6.  Avatar

    xixi… Gak tau kethok ki nangdhi wae yu?Kejakarta cuma lewat doang aku yuk, pernah sekalinya kepasar mayestik hehe..

    Like

  7.  Avatar

    @fauzul_andim Komentarnya? Masa ngeblog cuma “follow, izin follow, follow back yaaaa” doang gitu? ckckckck. 😀

    Like

  8.  Avatar

    Kunjungan perdana gansalam kenalizin follow yadanditunggu follwbacknya

    Like

  9.  Avatar

    @Djal GM Senimannya udah jarang, soalnya sekarang pindah ke Cikini sejak Gubernur Ali Sadikin meresmikan TIM. Lagipula, tempat teater yang biasanya di Senen udah nggak beroperasi. Kalo Bubur Kampiun meneketeheeeeeee, kok komentarnya keluar konteks sih? :p

    Like

  10.  Avatar

    dan baiklah saya akan amankan pertamax sesuai UU perkomenan bebas..tulisan diatas sedikit menggugah diri saya , dimana memang pertamax saya kejakarta sekitar SMP klo ga salah t4 yg sy kunjungi adalah pasar senen, kemudian melipir ke kwitang, dan seingat saya para seniman disana bukannya masih ada sampai skrg walaupun tidak banyak , untuk masakan padang apakah yang dimaksud adalah deket biskop depan atrim kah ? hmmm sepertinyah menarik memang untuk ditindak lanjuti makan masakan padang disimpang tersebut , dan satu yaitu yg pernah saya heran ttg masakan bubur kampiun , maka dari itu coba di cari dung data data ttg sejarah bubur kampiun yg khas tersebut :DCMIWWSalam

    Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Search


Out Now!


Click banner to buy Not for IT Folks with discount!

Recent Posts


Tags


7 Divisi (7) Advertorial (4) Album Review (4) Antologi Ayu Welirang (4) Antologi HISTERY (2) Ayubacabaca (62) Ayu Welirang's Bibliography (9) Blogging Story (2) BS-ing everyday (7) Buku (63) Cabaca (3) Central Java (14) Cerita Detektif (7) Cerita Investigasi (4) Cerita Persahabatan (2) Cerpen (10) Cerpen dari Lagu (5) Drama (6) Editing Works (3) Februari Ecstasy (2) Fiksi Kriminal (3) Forest Park (2) Got Money Problem? (4) Halo Tifa (3) Heritage Sites (4) Hiking Journal (10) Hitchhike (4) Horror (3) Indonesia (37) Interview (2) Jakarta (10) John Steinbeck (3) Journal (18) Kopi (2) Kuliner (3) Kumcer (10) Latar Novel (2) Lifehacks (3) Living (4) Local Drinks (4) Local Foods and Snacks (5) Mata Pena (4) Media Archive (4) Menulis Adegan (2) Metropop (8) Mixtape (4) Mountain (18) Museum (2) Music Playlist (7) Music Review (4) My Published Works (13) NgomonginSeries (5) Nonton (6) Not for IT Folks (3) Novel Keroyokan (2) Novel Kriminal (4) Novel Thriller (3) On Bike (3) On Foot (4) On Writing (25) Pameran (2) Panca dan Erika (3) perjalanan dalam kota (3) Photo Journal (12) Potongan Novel Ayu Welirang (3) Publishing News (3) Review (72) Riset Tulisan (2) Rumah Kremasi (2) Santai (10) Sayembara-Novel-DKJ (3) Sci-fi (6) Sequel (4) Serial Detektif (2) Series Review (5) Short Stories (11) South Tangerang (1) Sumatera (3) talk about living my life (3) Tentang Menerbitkan Buku (7) Terjemahan (6) Things to do in Jakarta (4) Thriller (7) Tips (35) Tips Menulis (28) to live or not to live (6) Translation Works (6) Travel Guide (3) Traveling (4) Travel Notes (2) Travel Stuff (2) Waterfalls (2) Wedding Preparation (5) Wedding Vendor Bandung (3) West Java (15) Worldbuilding Novel (2) Writing for Beginner (27) Writing Ideas (17) Writing Journal (38) Writing Prompt (9)

Newsletter


Create a website or blog at WordPress.com

%d bloggers like this: