Saat ini, siapa yang masih awam dengan ihwal “pendakian gunung”. Bagi hampir sebagian orang menuju dewasa, saat ini sudah paham dengan kegiatan outdoor yang lebih terkonsentrasi pada kegiatan mountaineering dan semacamnya. Semua orang sudah paham dan tahu bagaimana menjadi seorang pendaki, tanpa perlu masuk ke dalam organisasi ataupun wadah kepecintaalaman yang penuh kode etik dan aturan. Tapi, dengan menjadi seorang freelancer dalam sebuah pendakian gunung, belum tentu kita boleh sembrono dalam mendaki. Kode etik itu tetap berjalan, selama kita menjadi pendaki dalam sebuah organisasi, atau hanya sebagai seorang freelancer.
Siapa di sini yang belum pernah mendaki? Saya, anda, kita, sudah pernah mendaki, meski itu bukit atau gunung-gunung tertinggi. Pendakian adalah hal yang sakral, karena bukanlah hal yang bisa serta-merta dilakukan begitu saja. Perlu ada persiapan yang matang terkait itu semua. Maka dari itu, dataran tinggi apapun, baik gunung maupun bukit biasa, tetap harus dipikirkan tingkat persiapannya. Kita tidak pernah tahu ada hal apa yang menimpa kita di gunung.
Seperti yang menimpa saya dan kawan-kawan ketika mendaki Cikuray, dan juga kawan-kawan saya yang mendaki Gunung Salak pada saat yang sama ketika saya mendaki Cikuray. Hal ini bukanlah hal yang patut dibanggakan sebenarnya, karena dari hal inilah saya baru mengerti, kalau ketika mendaki saat itu, saya sangatlah pongah. Ya, meski tidak, mungkin saya belum bisa memberitahu kawan saya yang pongah, sehingga dampaknya itu diberikan pada semua teman yang ikut mendaki.
Sebuah kalimat, “Gue ingin taklukkan gunung!” atau “Sepulang dari Semeru, saya mau taklukkan Rinjani.” atau pemisalan yang lain, adalah suatu bentuk kepongahan. Ketika itu, saya pernah berkata demikian, dan akhirnya ditegur oleh kakak saya yang notabene adalah penghuni lerengSlamet di jalur Guci. Dia berkata, “Nduk, kalau kamu bilang mau taklukkan gunung, berarti kamu sudah ditaklukkan oleh omonganmu sendiri! Kamu kalah Nduk!”
Dari perkataannya itu, saya jadi merenung. Selama ini, kepongahan saya itulah yang menekan saya untuk terus berambisi menaklukkan gunung. Padahal, kalau dipikir ulang, gunung itu bukanlah musuh para pendaki, melainkan sahabat. Mengutip perkataan seorang kakak saat mendaki Cikuray kemarin, bang Zen namanya, yang berkata, “Inget aja. Kita butuh gunung dan gunung butuh kita juga, jadi jangan ngerusak lah.” Begitulah kira-kira kalau saya tak salah dengar, kalau salah ya berarti saya tambahkan saja beberapa kata. Hehe.
Bahkan, ketika seseorang meremehkan gunung dan berkata, “Ah, kecil gunung begini mah.” Maka, ada saja hal buruk terjadi. Entah diganggu tuan rumah, entah ditegur tuan rumah, bahkan teman saya yang mendaki gunung Salak kemarin, berhari-hari diikuti oleh si Neng penghuni Cidahu. Semalam, saya bercerita panjang lebar dengannya dan jadi ngeri sendiri. Si teman saya ini, barulah sadar sambil bergumam, “Mungkin gara-gara gue ngomong, ‘Ah Salak doang ini’, eh si Neng itu sampe ikut pas di kereta segala, lewat perantara mbak-mbak yang duduk deket pintu masuk kereta.” Sampai sekarang, si teman saya itu bahkan tak mau berfoto jika kelewat Magrib, meski tak di gunung, karena takut mendapatkan hasil seperti di Salak kemarin. Saya bergidik ngeri, dan tak akan mengulangi kepongahan kata-kata semacam itu.
Saya pikir, memang benar juga adanya, kalau gunung bukanlah sesuatu yang sedemikian jahatnya untuk ditaklukkan. Gunung bukanlah suatu benda pemuas ambisi para pendaki yang kadang lupa akan hakikat pendakian itu sendiri. Maka dari itu, saya beranggapan bahwa mulai saat ini, kita tak boleh pongah, tak boleh ambisius sampai ingin menaklukkan gunung di bawah kaki kita. Karena kita adalah sahabat alam, maka gunung adalah sahabat kita.
Ayu Welirang
Jakarta, 26 Agustus 2012
Leave a Reply