Bacabaca 12: Dataran Tortilla oleh John Steinbeck

Akhir-akhir ini, kecepatan membaca saya agak-agak di luar batas normal. Buku pertama bisa saya habiskan dalam tiga hari meski bermuatan filsafat dan sejarah yang luar biasa banyaknya. Dan  buku kedua baru habis setengah dalam satu hari dari total empatratus lebih halaman. Saya agak aneh juga, karena biasanya membaca roman kelas teri saja saya tidak bisa selesai barang satu hari. Mungkin ini semua tergantung minat baca, ya? Saya lebih berminat baca buku bermuatan filsafat ketimbang buku roman masa kini kelas teri. Menurut saya, novel inspiratif berunsur filsafat maupun sejarah lebih menarik. Ah, entahlah. Ini hanya soal selera saja, tak perlu dipersoalkan.
Beberapa hari terakhir ini saya sedang merasa sangat malas untuk bekerja. Mungkin karena baru sembuh dari sakit, saya menyempatkan diri untuk tak masuk kerja beberapa hari dan memenuhi nutrisi buku saya. Sehabis gajian, antara niat tak niat, saya menuju TM Bookstore – Poinsquare. Toko buku ini besar dan penuh sekali buku-buku yang sangat keren dan juga berbobot. Sayang, karena minat baca penduduk Jakarta Selatan perbatasan Tangerang Selatan ini mungkin masih di bawah minat belanja pakaian model terbaru, jadilah toko buku ini sepi. Hanya beberapa orang saja yang terlihat mengunjungi dan kalau saya tidak salah, dari dulu orangnya bisa ditebak. Si ini dan si itu lagi. Saya tak apa sih, tak juga mempersoalkan hal begini, karena bagi saya, atmosfir baca yang tenang lebih mengasyikkan lagi buat saya. Dan saya pun berkeliling. Di sinilah petualangan dari perubahan genre buku saya dimulai.
Saya sedang mencari-cari karya Arswendo dan Seno Gumira ketika menemukan “Of Mice and Men” karya John Steinbeck di bagian buku-buku sastra. Sungguh kaget dan tidak menduga-duga. Awalnya saya tak berminat membeli buku apapun. Hanya sekedar menumpang baca dan duduk-duduk santai saja sejenak. Nyatanya, saya melihat buku itu dan segera saja otak saya berputar. Motorik saya meminta saya untuk berjalan ke bagian pelayanan dan menanyakan sebuah buku dengan pengarang yang sama. Buku “itu” lainnya. Buku yang berminggu-minggu menghantui saya karena virus-virus paisano sial! Virus-virus sialan dari sebuah blog tentang karya yang mewarnai hidup manusia, bernama Anggur Torelli. Mereka–si virus itu–adalah abang-abang yang namanya diawali dengan huruf “A” besar. Ahmad Makki, Abdullah Alawi, dan Alhafiz Kurniawan. Sungguh sial virus-virus itu!
John Steinbeck — Bengal, keluar dari jurusan Biologi, Stanford University
dan menjadi penulis saja. Mendapatkan penghargaan Pulitzer dan Noble,
untuk buku-bukunya yang sudah beberapa itu.
Dengan perasaan campur aduk saya mengetik judulnya. Sudah benar dan saya klik tombol “search”. Beberapa saat kemudian, muncul hasilnya. Buku “itu” tersisa tiga. Saya langsung memberangus petugas bagian pelayanan itu untuk mengantar saya menuju tempat buku. Setelah ketemu, si petugas malah berkomentar, “Oh buku ini. Kemarin-kemarin ada juga yang beli buku kayak gini Mbak. Temennya ya?”
Saya hanya tersenyum dan berkata, “Oh gitu ya.” 
Dalam hati saya berpikir, “Sial dangkalan! Sepertinya bukan hanya saya yang diiming-imingi buku Steinbeck  oleh virus paisano itu!”
Tanpa berkomentar apapun, saya mengambil buku itu dan secara tidak terduga pula, saya menemukan buku lain yang sama kerennya. Saya mendapati buku karya Misbach Yusa Biran di situ. Aha! Sepertinya saya sedang mujur. Buku “itu” dan buku Misbach, sama-sama sisa tiga. Dengan semangat empatlima dan membuang jauh-jauh keinginan numpang baca, saya segera menuju kasir.
Ada getar yang terasa di dada ketika membawa plastik putih berisikan kedua buku itu. Di reklame, saya langsung membuka buku dan menciumi kertasnya. Hmmm, bukan kertas buku yang biasanya saya suka, tapi tak apa. Ini adalah ritual saya ketika memiliki buku baru. Saya akan menyampulnya, membawanya tidur, dan membawanya sarapan pagi. Aneh? Memang. Tak perlu dipersoalkan. 🙂
Cover Cetakan Baru – 2009
Singkat cerita, ada yang memukul saya telak ketika membaca bab per bab buku itu. Buku dengan judul Dataran Tortilla itu sukses menggambarkan kehidupan yang jauh dari ketamakan dan jejak-jejak kapitalisme. Hidup di pinggiran kota kecil yang hampir terlupa, membuat semua orang tak perlu mengejar apapun selain bahagia. Seperti Danny dan enam kawannya yang secara tak sengaja ikut menumpang di rumah warisan pemberian kakek Danny. Para paisano itu hidup bahagia meski tak beralas tidur, tak bisa makan setiap hari, dan harus melulu ngutang kalau menginginkan anggur dari kedai Torrelli sewaktu-waktu. Sungguh, mereka hidup bahagia meski sederhana. 
Ada-ada saja yang dilakukan sahabat-sahabat Danny. Semuanya demi kelangsungan hidup mereka dan juga Danny, si bekas tentara yang derajatnya naik karena mendapat warisan rumah. Dan teman-teman Danny merasa bahwa Danny adalah malaikat penolong, di saat itu, di saat mereka kesulitan hidup. Banyak hal-hal yang membuat mereka sadar akan kondisi sosial sekitar, karena saat itu, posisi mereka di Tortilla adalah sebagai orang yang naik derajat karena ‘rumah’ warisan. Semakin hari, kegiatan bantu-membantu dan bahu-membahu untuk orang-orang kesusahan mereka lakukan dengan ikhlas. Meski pada dasarnya, mereka adalah mantan bandit-bandit culas dan licik, entah kenapa mereka jadi berbaik hati seperti itu selama beberapa waktu di Tortilla. Mereka menolong sebuah keluarga yang krisis kacang polong, mereka membantu si Bajak Laut agar tak hidup di kandang ayam, dan mereka menolong orang-orang lain. Kelak, kisah mereka akan diingat bak kisah Robin Hood si pencuri. 
Saya tak bisa berkata banyak, bahkan tak bisa lagi berpikir. Bagaimana saya harus mengutarakan buku yang sebegitu bagusnya hanya dalam satu artikel saja? Ada baiknya, kalian semua membaca sendiri buku Steinbeck yang satu ini. Buku yang penuh kisah roman klasik, unsur filsafat hidup, inspiratif dan sekaligus mengocok tawa kita dalam satu waktu. Saya tak pernah menemukan buku sebagus ini, yang membuat saya menerawangi pikiran saya sendiri dalam beberapa hari. Saya kadang berpikir, “Sudahkah saya berbuat baik seperti Danny, yang hanya seorang paisano tak punya apapun? Saya punya rumah lebih baik dan nasib lebih mujur, tapi apakah saya bisa berderma bagai Danny? Saya malu.”
Saya sungguh malu ketika Danny mulai kembali merajai hidup saya. Saya semakin yakin, bahwa kebaikan seseorang tak melulu bisa diukur dari pakaian rapi, harta yang banyak, dan status sosial lebih tingga. Para bandit-bandit Latin seperti Danny dan kawan-kawan mungkin tak rapi, tak punya harta, dan tak berstatus sosial lebih tinggi dari kita, tapi mereka lebih ikhlas membantu sesama tanpa pamrih. Memang, mereka licik. Tapi itu hanya sebatas pertahanan hidup. Saya sangat setuju. Jangan pernah menilai buku, dari sampulnya. 
Akhir cerita, Danny harus mati. Dengan orang-orang yang mengingatnya sebagai tentara baik hati dan dermawan. Dengan catatan, bahwa sobat karibnya sangat malu karena tak bisa hadir di pekuburannya, hanya karena pakaian lusuh. Betapa pada kematian pun, status sosial masih harus diperbincangkan. Sahabat karib Danny hanya bisa menangis dalam hati, mengintip dari semak-semak pekuburan ketika Danny di kebumikan. Dan akhir cerita, mereka membiarkan rumah sebagai lambang persahabatan itu hilang, termakan api. Mereka pun berpisah semua, berjalan masing-masing tanpa tujuan yang sama. 
Saya kira, buku ini akan lebih keren dan dramatis lagi jika dijadikan sebuah film. Begitulah komentar saya mengenai buku keren ini. Ini baru buku pertama, dan untuk buku kedua, akan saya bahas nanti-nanti saja. [Ayu]

Judul: Dataran Tortilla (judul asli Tortilla Flat cetakan pertama 1935)
Penulis: John Steinbeck (diterjemahkan oleh Djokolelono, mula-mula tahun 1977)
Penerbit: Pustaka Jaya
ISBN: 9789794193525
Halaman: 265 hlm
Harga: Rp 48.500,-
Rating: 5/5
Gambar: random google


24 responses to “Bacabaca 12: Dataran Tortilla oleh John Steinbeck”

  1.  Avatar
  2.  Avatar

    salam kenal..n numpang mampir..review y bagus.. sy termasuk pembaca buku tersbut gara2 anggur torelli.review buku tersebut bener bgt spti postingan ini..mampir balik y..

    Like

  3.  Avatar

    @Ayu Welirang nyahaha, saya dipanggil mbak..:P

    Like

  4.  Avatar

    saya ragu..ada scanner mungkin di mata anda sehingga terlalu cepat membacanya…*kabur!tapi nanti balik lagi..lho?!

    Like

  5.  Avatar

    @NFHahahaha, emang cocok banget ama koboy… 😀

    Like

  6.  Avatar

    @enhas noteTerima kasih supportnya yaaa Mbak Enha.. 🙂

    Like

  7.  Avatar

    @mohamad rivaiOke, dengan senang hati. 🙂

    Like

  8.  Avatar

    jadi endingnya ga happy ya? sepertinya benar2 buku yang menguras energi pembaca.. kalau baca buku seperti ini yang kebayang film koboi

    Like

  9.  Avatar

    Kecepatan membaca bertambah, berbanding lurus dg jarangnya posting?Gak tahu kenapa, tiba2 jd merinding nih waktu baca bagian2 akhir dari resensinya. Sumpah, saya enggak bohong.oia, jaga kesehatan ya sist. Jangan sampai sakit lagi.

    Like

  10.  Avatar

    kunjungan gan .,.Menjaga kepercayaan orang lain lebih penting daripada membangunnya.,.di tunggu kunjungan balik.na gan.,.

    Like

  11.  Avatar

    review buku yang bagus mbak.tulisanya rapi banget, tak baca dari awal mpe akhir loh.tapi nggak mau koment mbanyak nie.btw, minta ijin masang link mu yo mbak di blog q.(ge nyari yang sejenis nie)

    Like

  12.  Avatar

    Nice blog sobat.. postingan2nya juga sangat bagus, menarik dan bermanfaat sakali..:)terus menulis menulis yaa..^^oia salam kenalkalau berkenan silahkan mampir ke EPICENTRUM folloback juga ya buat nambah temen sesama blogger,,tukeran link juga boleh,,makasih..^^

    Like

  13.  Avatar
  14.  Avatar

    @SkydrugzJadi, kamu kuliah medis apa ilmu budaya? 😀 Keren gitu komentarnya. 😀

    Like

  15.  Avatar

    @Ocha RhoshandhaBelum dibaca kok udah bilang ogah? Wah, jangan jadi generasi muda yang pesimis ah.

    Like

  16.  Avatar

    ….jaga kesehatan….jangan sakit lagi. karena sakit itu tidak enak…sakit itu mahal.

    Like

  17.  Avatar

    Melalui buku itu Steinbeck mau menunjukkan bahwa sosialisme bisa timbul dengan sendirinya dengan evolusi budaya, tidak seperti yg dipercaya selama ini, yang menyatakan bahwa kapitalisme adalah akar dari segala kebudayaan. Rasa kepemilikan adalah sumber kreativitas manusia ketika membentuk kebudayaan.

    Like

  18.  Avatar

    wew wew… mbaca buku pelajaran aja aku ogah, apalagi beginian. Haduuuuh, hebat bener deh mbak…

    Like

  19.  Avatar
  20.  Avatar

    Ehh.. ketinggalan yuk, habis dari sakit ya?? syukurlah kalo sudah sembuh 🙂

    Like

  21.  Avatar

    Wah, pakarnya resensi buku baru kelihatan lagi neh hehehee..Di kasih rating 5 ya yuk? Berarti bener2 bagus nih buku. Betul sekali, belum tentu orang yang derajadnya tinggi iklas memberi walaupun memberi lebih banyak. Mereka yang orang susah masih bisa membantu dengan ikhlas.

    Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Search


Out Now!


Click banner to buy Not for IT Folks with discount!

Recent Posts


Tags


7 Divisi (7) Advertorial (4) Album Review (4) Antologi Ayu Welirang (4) Antologi HISTERY (2) Ayubacabaca (62) Ayu Welirang's Bibliography (9) Blogging Story (2) BS-ing everyday (7) Buku (63) Cabaca (3) Central Java (14) Cerita Detektif (7) Cerita Investigasi (4) Cerita Persahabatan (2) Cerpen (10) Cerpen dari Lagu (5) Drama (6) Editing Works (3) Februari Ecstasy (2) Fiksi Kriminal (3) Forest Park (2) Got Money Problem? (4) Halo Tifa (3) Heritage Sites (4) Hiking Journal (10) Hitchhike (4) Horror (3) Indonesia (37) Interview (2) Jakarta (10) John Steinbeck (3) Journal (18) Kopi (2) Kuliner (3) Kumcer (10) Latar Novel (2) Lifehacks (3) Living (4) Local Drinks (4) Local Foods and Snacks (5) Mata Pena (4) Media Archive (4) Menulis Adegan (2) Metropop (8) Mixtape (4) Mountain (18) Museum (2) Music Playlist (7) Music Review (4) My Published Works (13) NgomonginSeries (5) Nonton (6) Not for IT Folks (3) Novel Keroyokan (2) Novel Kriminal (4) Novel Thriller (3) On Bike (3) On Foot (4) On Writing (25) Pameran (2) Panca dan Erika (3) perjalanan dalam kota (3) Photo Journal (12) Potongan Novel Ayu Welirang (3) Publishing News (3) Review (72) Riset Tulisan (2) Rumah Kremasi (2) Santai (10) Sayembara-Novel-DKJ (3) Sci-fi (6) Sequel (4) Serial Detektif (2) Series Review (5) Short Stories (11) South Tangerang (1) Sumatera (3) talk about living my life (3) Tentang Menerbitkan Buku (7) Terjemahan (6) Things to do in Jakarta (4) Thriller (7) Tips (35) Tips Menulis (28) to live or not to live (6) Translation Works (6) Travel Guide (3) Traveling (4) Travel Notes (2) Travel Stuff (2) Waterfalls (2) Wedding Preparation (5) Wedding Vendor Bandung (3) West Java (15) Worldbuilding Novel (2) Writing for Beginner (27) Writing Ideas (17) Writing Journal (38) Writing Prompt (9)

Newsletter


Create a website or blog at WordPress.com

%d bloggers like this: