Hari ini Selasa dan sejak pertama blog ini ganti orientasi menjadi blog segala macam
review, saya bertekad untuk konsisten mengisi blog dengan
entry ulasan buku setiap hari Selasa. Namun, entah kenapa akhir-akhir ini saya agak mengalami penurunan minat baca.
Reading challenge di
Goodreads saya pun agak terabaikan. Saya memang masih sempat membaca, namun bacaan yang saya habiskan adalah bacaan yang belum selesai di akhir minggu bulan April lalu.
 |
Alberthiene Endah |
Jadi, kali ini saya akan membahas tentang buku yang sudah lama saya baca. Bukunya pun buku lama. Kertasnya sudah menguning. Sampulnya sudah sobek disana-sini. Tapi, ada satu kesenangan ketika membacanya. Sang penulis masih ada dalam sisi ‘idealis’ setelah akhirnya banting setir menjadi penulis genre metropop dan semacamnya.
Kali ini, saya akan membahas sebuah buku dari
Alberthiene Endah. Buku ini menjadi salah satu buku di
reading challenge Goodreads saya tahun lalu. Buku ini saya temukan di antara tumpukan buku-buku mengenai pengantar Ilmu Komunikasi, Filsafat Ilmu, dan buku-buku yang saya cari untuk keperluan kuliah. Saya mendapatkannya di toko buku langka dan
second, dekat kontrakan saya di bilangan Pondok Pinang. Nama toko buku itu
Guru Bangsa. Rumah buku–lebih tepatnya saya sebut gudang buku–ini berada tepat di belakang halte busway Transjakarta di Pondok Pinang. Bagi yang ingin mencari referensi untuk mata kuliah atau buku-buku langka yang jarang ditemukan di toko buku berkelas dan terkenal, silakan mampir saja ke sini. Dijamin, para penyuka buku pasti akan betah berlama-lama di sini. Terlebih lagi si pemiliknya yang ramah dan kadang memberi bonus buku secara cuma-cuma sebagai kenang-kenangan. Saya pun kerap kali mendapatkan buku secara cuma-cuma di sini. Hehe.
Judul buku ini mungkin kurang familiar, Jangan Beri Aku Narkoba. Judul yang simple dan isinya pun serupa laporan jurnalistik seorang wartawan. Lagipula, tokoh yang bercerita dalam buku ini memang wartawan. Wartawan dalam buku ini berkisah hanya pada bagian pengantar. Selebihnya, sudut pandang orang pertama diserahkan pada si tokoh yang benar-benar menjadi inti cerita. Arimbi, seorang perempuan yang lahir dari keluarga kaya tapi broken home, dan terjebak dunia narkoba sampai harus menjadi lesbian. Arimbi adalah korban dari keluarga rusak. Keluarga kaya yang rusak sehingga membuat Arimbi harus melarikan diri dan beralih pada narkoba. Orientasi seksualnya yang tak beres karena tak pernah mendapat perhatian orang tua juga mulai menjadi-jadi. Arimbi menjadi lesbi.
Kita akan dibuat berlari, berlomba-lomba untuk sembunyi. Sembunyi dari perasaan sedih dan takut atau malah jijik, saat membaca buku ini. Bagi mereka yang mengutuk pengguna narkoba hanya dari satu sisi, sangat disarankan untuk membaca buku ini. Buku yang bagi sebagian orang mungkin tidak begitu familiar, ternyata isinya sangat sarat akan pesan moral dan sosial.
 |
Cover Buku |
Kita tidak bisa begitu saja menghindari pengguna narkoba. Justru, orang seperti itu harus dibantu, bukannya dijauhi atau dijebloskan ke dalam panti rehabilitasi. Beberapa cerita dalam buku ini sangat bertolak belakang dengan kondisi realita yang ada. Banyak orang mengutuk pengguna narkoba. Banyak orang bilang bahwa pengguna narkoba tidak pantas hidup, mereka pantas dimasukkan ke penjara atau panti rehabilitasi. Padahal, secara psikis, mereka semakin terkikis. Tak jarang pengguna narkoba yang sengaja mengakhiri hidup dengan cara melebihkan dosis obat-obatan mereka sehingga kita mengenalnya dengan sebutan over dosis. Dan jika kita menelaah hati mereka, ada faktor utama yang menyebabkan mereka lari dari kenyataan dan beralih pada narkoba. Mereka bilang, “Ini adalah kebahagiaan meski sesaat, meski nantinya kita mati. Kami bahagia meski dalam hati kami selalu menangis dan menyesali takdir. Memiliki orang tua seperti mereka atau lingkungan yang tak kondusif bagi kami.”
Buku ini benar-benar mengaduk klimaks pembaca. Perasaan pembaca dibuat naik dan turun. Pembaca dipaksa mengerti akan alasan pengguna narkoba. Pembaca dibuat peduli akan derita dan dilema yang mereka harus rasakan. Dan pembaca pada akhirnya akan mengerti, narkoba hanyalah sebuah pelarian. Masalah yang sebenarnya bukan narkoba, melainkan kondisi utama di baliknya. Betapa narkoba banyak melanda kaum sosialita atas. Mereka yang kaya harta, tapi miskin kasih sayang keluarga.
Buku ini pun sempat diangkat ke layar lebar dengan judul Detik Terakhir. Dengan pengubahan nama dan alur kisah, film tersebut sempat menuai kritik pedas karena sarat unsur pornografi. Padahal, setelah saya menonton sendiri, nyatanya biasa saja. Malah, saya dibuat mengerti dan lebih peduli dengan sosial mereka. Dan saya janji untuk membuat ulasan mengenai film tersebut nanti.
Bagian terakhir buku ditutup dengan hal yang tidak diduga-duga. Dan saya tidak akan jelaskan di sini, supaya kalian penasaran. Silakan cari bukunya di toko-toko buku langka di sekitar kalian. Hehe. [Ayu]
Judul: Jangan Beri Aku Narkoba
Penulis: Alberthiene Endah
Penerbit: Gramedia
Genre: Metropop, Criminal, Adult-content
ISBN: 9792207007
Halaman: 243
Harga: Rp 33.000,-
Rating: 5/5
Gambar: random google
Review lain: http://www.goodreads.com/book/show/3056223-jangan-beri-aku-narkoba
Leave a Reply