Senin kemarin, saya sengaja tidak masuk kerja agar bisa menemani Bunda Giri dan Pakde Prapto untuk singgah sementara di kontrakan saya. Beliau ini sudah seperti orang tua sendiri ketika naik ke gunung-gunung mana saja. Dan Senin kemarin, seperti halnya pelancong luar kota, saya bermaksud untuk mengajak mereka berkeliling Jakarta, utamanya sih daerah Monumen Nasional. Sambil menunggu keberangkatan Tawang Jaya jurusan Jakarta – Semarang pada hari Senin malam, sebelumnya Bang Farhan mengajak saya, Zhygoth, dan mereka berdua untuk menuju Monas, dari Stasiun Pasar Senen. Menyusuri RSPAD Gatot Soebroto dan sekitarnya.
Di Depan Museum Stovia – Farhan, Bunda, Saya |
Saya memang jarang sekali berkeliling Jakarta. Jadi, saya ini sebenarnya baru mengetahui kalau Senin lalu itu, saya telah menginjakkan kaki di salah satu gedung yang mengawali tonggak sejarah pemuda dan Kebangkitan Nasional. Sayangnya, setiap museum tutup pada hari Senin. Tapi, dengan segenap rasa tidak-tahu-malu, saya dan Zhygoth memberanikan diri untuk meminta izin pada satpam agar diperbolehkan berkeliaran di sekitar museum yang tutup.
Salah satu keinginan saya untuk menyukseskan program “Visit Museum 2010 – 2014” akhirnya bisa terlaksana lagi pada Senin kemarin. Pasalnya, dalam kurun waktu tiga bulan terakhir, saya aktif mengunjungi berbagai jenis museum. Tidak seperti teman-teman satu kampus saya dan satu kantor saya yang senangnya berkeliaran di pusat perbelanjaan, saya malah mengunjungi museum. Kadang, ada saja teman saya yang iseng dan bertanya, “Kok kayak orang tua aja sih Yu? Masa main di museum?” Loh? Ya saya jawab saja, silakan lakukan agamamu dan jangan usik agama saya. Kurang lebih seperti itulah. Hehe.
Kelas Kartini – STOVIA |
Justru, dengan mengunjungi museum, kita tak serta-merta melupakan sejarah. Meski tak begitu memberi kontribusi, setidaknya kita masih ingat, bahwa ada satu peninggalan yang patut untuk kita tengok. Bagaimana seluk-beluk dan awal mula terjadinya kita, merdekanya kita, dan bisa makan enaknya kita.
Hobi saya memang selalu dipertanyakan orang. Kenapa saya naik gunung terus? Kenapa saya pergi ke museum terus? Ya mau bagaimana lagi. Saya memang hobi dan kecintaan akan sesuatu itu tak perlu menuntut jawaban. Saya sendiri bahkan tidak tahu apa jawabannya. Jadi, saya hanya bisa mensyukuri dan menikmati setiap inchi perjalanan hidup yang kadang dipertanyakan orang ini.
Kembali ke museum.
Turun Gede, rasanya lucu kalau langsung mampir ke museum. Mana museumnya sedang tutup dan tetap memaksakan diri untuk masuk. Banyak pelajaran yang saya dapat. Banyak kejadian dan sejarah yang bisa saya rapatkan dalam benak. Bahkan, Pakde Prapto jadi bernostalgia. Beliau takjub melihat STOVIA. Sekolah kedokteran di awal zaman pergerakan nasional itu berhasil beliau singgahi. Sayang sekali, waktu yang tidak memungkinkan membuat kami semua harus segera beranjak dari ex-Gedung STOVIA, Museum Kebangkitan Nasional saat ini.
Dan perjalanan pun kami lanjutkan menuju Monas. Menyusuri Kwitang, wisata buku tua, gedung aparat negara yang berhiaskan rusa-rusa kecil, dan jalanan Jakarta yang terhujani.
Ini nostalgia…
Senarai kisah dipetik dari sejarah.
Meski gedung-gedung dipugar, meski jarum jam berputar, meski lampu taman kota semakin berpendar, sejarah akan tetap menyusur langkah. Sejarah, akan tetap merah. Tak padam, tak buram…
[Ayu]
Jakarta, 1 Mei 2012
Leave a Reply