Signature dish
n hidangan khas dari sebuah restoran atau chef yang memasaknya.
Dalam perjalanan pulang dari tempat kerja, Putu Yuliana dikejar oleh orang tak dikenal. Meski berusaha kabur, orang itu berhasil menangkapnya dan menusukkan sebilah pisau di punggungnya hingga ia tewas. Pembunuhan yang terjadi pada salah satu juru masak restoran premium Salt & Grill Restaurant itu mengarahkan kepolisian untuk menyelidiki juru masak-juru masak lain yang diduga terlibat. Iptu Arga Wibisana menemukan petunjuk dari replika sebuah hidangan appetizer yang ditemukan di TKP, bahwa hidangan bernama caesar salad itu adalah signature dish milik Nadira.
Rekan sesama juru masak di Salt & Grill, Ardi, berusaha menemani dan menenangkan Nadira yang merasa tertekan. Namun, seiring dengan ditemukannya semakin banyak petunjuk yang mengarah padanya, Nadira semakin kesulitan mengelak. Terlebih, satu per satu korban lain berjatuhan. Signature dish milik Nadira lagi-lagi menjadi bukti yang mengerucutkan penyelidikan padanya.
Walau begitu, benarkah Nadira adalah pelaku pembunuhan berantai yang melanda Salt & Grill Restaurant? Iptu Arga Wibisana tidak akan berhenti sampai menemukan jawaban dari pertanyaan itu.
***
Signature Dish adalah novel crime yang bagus eksekusinya dan rapi pula secara penulisan. Bukan tipe whodunit yang slowburn, karena pace-nya pas banget buat saya pribadi, meskipun bagi beberapa pecinta murder mystery dan whodunit mungkin akan kurang suka karena pengungkapan misteri di dalamnya kurang adil bagi pembaca. Namun, saya pribadi suka sekali novel ini dan bakal mengulasnya serta merekomendasikannya ke teman-teman.
Di beberapa bagian, kadang saya menemukan sikap grasa-grusu dari Inspektur Arga. Namun, setelah membaca lagi sampai akhir, kurasa itu hanya semacam pengalihan sikapnya untuk menutupi bahwa dia adalah seorang “bayangan” yang diutus kepada anak, saudara, dan kerabat orang-orang berpengaruh bagi negara. Saya juga malah suka tokoh Sintia yang muncul sesekali. Walau dia kadang membuat curiga, tapi sedikit banyak pembaca akan bisa menebak siapa dia. Karakterisasi Sintia menurutku mantap. Haha!
Sementara itu, tokoh utamanya dibuat mudah terguncang, memiliki sedikit masalah mental, juga kekurangan yang wajar bila seseorang dianggap sebagai tersangka. Hal bagusnya, kekurangan tokoh utama sangat nyata. Dia orang kaya, tapi sebenarnya dia tak ingin menjadi orang kaya dan memilih untuk jadi orang biasa dengan mulai menjadi asisten dapur. Dia juga baik pada semua orang, tapi ternyata banyak orang tidak suka dengan Nadira sang tokoh utama. Sehingga, Nadira malah dijebak dan menjadi tersangka dalam kasus pembunuhan yang disajikan. Anehnya, di beberapa kesempatan, Nadira seperti kurang memiliki empati terhadap korban pembunuhan. Dia bisa dengan mudahnya bersikap dan berwajah datar saat korban teronggok lemas di hadapannya. Aneh, kan? Jangan-jangan karena dia memiliki sedikit masalah mental?
Pelaku juga dengan sengaja menaruh ciri-ciri serta tanda-tanda yang mengarahkan pada Nadira sebagai pembunuh. Pada awalnya, saya agak jengkel dengan sikap Inspektur Arga yang mudah sekali menebak, bahkan main tebak-tebakan. Tapi seperti yang saya sebutkan di awal, sikap Inspektur Arga ini mungkin hanya pengalihan saja, supaya orang tidak tahu siapa sebenarnya dia. Hanya saja, pengungkapan identitas Inspektur Arga di akhir-akhir bab agak terlalu buru-buru.
Novel Signature Dish memuat paket lengkap. Selain police procedural tipis-tipis, novel ini juga menunjukkan kerasnya kerja di dapur restoran. Ternyata, banyak kecemburuan yang terjadi di antara para kru dapur. Misalnya, tidak terpilih menjadi asisten dan hanya jadi tukang cuci piring bisa meningkatkan motif pembunuhan. Ternyata dapur bisa seberbahaya itu. Signature Dish juga unik karena memakai Bali sebagai latar. Ada sedikit banyak bahasa Bali yang disajikan, meskipun kadang saya kurang paham artinya.
Terlepas dari kekurangan pengungkapan murder mystery yang tidak fair play, novel ini dieksekusi dengan rapi. Penyuntingan novel juga baik dan naskahnya enak dibaca. Tidak terlalu menggurui, tapi tidak juga terlalu penuh dialog. Porsinya pas. Novel ini membuatku belajar juga, cara mengeksekusi sebuah fiksi kriminal yang dinamis. Soalnya saya sering bikin fiksi kriminal yang slowburn dan membosankan. Entahlah, mungkin memang selera penulisanku memang macam itu. Saya akan mencoba teknik-teknik percampuran narasi dan dialog, teknik latar, sampai pengungkapan kasus di sepanjang plotnya untuk karya sekuel crime fiction dan investigasi punyaku yang tengah kugarap.
Akhir kata, saya hanya ingin mengatakan bahwa, ternyata tidak hanya buku cetak milik penerbit jempolan saja yang berkualitas. Novela 13 bab ini, yang tayang lewat platform digital seperti Cabaca dan bisa kalian baca secara cuma-cuma pada #JamBacaNasional, rupanya menyajikan kisah kriminal yang berbeda. Kalian harus mencobanya sendiri dan cek sendiri.
Leave a Reply