PROLOG
LORONG Lembaga Permasyarakatan khusus remaja di kawasan Bogor tampak lengang. Seluruh narapidana yang terdiri dari remaja dengan usia rata-rata 15-22 tahun sedang mengikuti seminar kecerdasan dan kegiatan aktualisasi diri di salah satu aula. Saat yang lain mengikuti seminar, satu remaja berjalan menyusuri lorong menuju bagian utama lapas. Seorang polisi menggiringnya dengan santun. Remaja itu beberapa kali menghela napas sambil menatap ubin lorong yang kusam dan dingin.
“Silakan, Dik Novian. Yang menjemput kamu sudah menunggu,” gumam polisi itu.
“Ada yang jemput saya? Siapa, Pak?” tanya Novian.
“Saudara kamu.”
Novian berjalan menuju bagian depan penjara. Polisi yang tadi mengantarnya, menunggu di pintu keluar lorong dekat ruang tunggu. Sementara itu, seorang perempuan muda, dengan sepatu gunung dan jaket army, tersenyum menatap Novian.
“Kakak yang waktu itu…” desisnya.
“Hai, Novian! Hari ini lo pulang sama gue. Tifa nyuruh gue jemput lo,” jelas perempuan itu berseri-seri.
Novian bergeming di dekat ruang tunggu. Ia terlalu bingung. Perempuan itu menyebut nama Tifa—cewek yang membuatnya merasa bersalah selama berada di penjara. Jika kali ini ia harus pulang dan menemui Tifa, Novian tentu takkan kuasa menahan rasa bersalah yang terus melingkupinya.
“Ayo, pulang. Ngapain berdiri di situ? Emangnya masih betah di sini?” tanya perempuan itu sedikit bercanda.
Novian mengumpulkan nyali, kemudian berjalan. Ia menjawab sekenanya yang hanya terdengar sebagai gumaman. Sebelum perempuan itu menggiring Novian keluar ruang tunggu dan menuju parkiran, perempuan itu berterima kasih kepada beberapa polisi yang menemaninya selama menanti Novian bersiap-siap tadi pagi.
Perempuan itu merangkul Novian, seolah cowok itu adik lelakinya.
“Nah, sekarang kita pulang. Nanti kita makan sama temen-temen gue ya. Mungkin Tifa bakal nyusul. Dia harus mengurus beberapa masalah di sekolahnya.”
Novian hanya mengangguk, kemudian menghela napas. Ia harus siap diberondong makian dan hinaan dari beberapa orang. Novian juga harus mulai siap menerima pukulan, siksaan, atau… mungkin tusukan? Mungkin yang paling harus ia terima adalah segala macam bentuk balas dendam dari Tifa.
Novian terdiam sampai jip yang ia tumpangi terus melesak di jalanan kota.
Leave a Reply