(Terjemahan) Di Pemakaman

POSTED ON:

BY:

DI PEMAKAMAN

oleh Anton Chekhov

Diterjemahkan oleh Ayu Welirang


“Angin beranjak naik, teman, dan langit mulai menjadi gelap. Bukankah sebaiknya kita pergi sebelum semuanya menjadi lebih buruk?”

Angin bermain-main di antara daun pohon betula tua yang kekuningan, dan tetesan-tetesan air hujan yang tebal jatuh pada kami dari daun-daun. Salah satu dari kami terpeleset di tanah liat, dan ia berpegangan pada salib abu-abu berukuran besar untuk menyelamatkan dirinya dari jatuh.

“Yegor Gryaznorukov, seorang konselor yang angkuh,” bacanya.

“Aku kenal pria terhormat itu. Dia sangat menyukai istrinya, dia memakai pita Stanislav, dan tak membaca apa-apa. Pencernaannya lancar, hidup pun baik-baik saja, bukan begitu? Seseorang pasti berpikir bahwa dia tak ada alasan untuk mati, tapi sayang sekali! Takdir rupanya melihat padanya. Seorang yang malang menjadi korban pada kebiasaan observasinya sendiri. Pada suatu kesempatan, ketika dia sedang mendengarkan dari lubang kunci, dia mendapat benturan di kepala dari pintu, di mana dia menderita gegar otak (dia punya otak), dan meninggal. Dan di sini, di bawah batu nisan, berbaring seorang lelaki yang dari lahirnya membenci ayat-ayat dan epigram. Dan seakan ingin mengejeknya, seluruh batu nisannya pun dihiasai ayat-ayat. Ah, ada seseorang datang!”

Seorang pria dengan mantel lusuh, wajah merah-kebiruan sehabis bercukur, menyalip kami. Dia memiliki sebuah botol di bawah lengannya dan sepaket sosis mencuat dari sakunya.

“Di mana makam Mushkin, si aktor?” dia bertanya pada kami dengan suara parau.

Kami lalu mengantarnya ke makam Mushkin, si aktor, yang meninggal dua tahun sebelumnya.

“Kau adalah pegawai pemerintahan, aku tebak?” tanya kami padanya.
“Bukan, seorang aktor. Akhir-akhir ini sulit untuk membedakan aktor dari pegawai di Konsistori. Tak diragukan lagi kalau kau mengira bahwa… Bahwa itu mirip, tapi tidak begitu menyanjung untuk seorang pegawai pemerintahan.”

Saat menemukan makam si aktor, sebelumnya kami dilanda kesulitan. Makam itu telah tenggelam, ditumbuhi rumput liar, dan telah kehilangan semua tampilan sebagai sebuah makam. Salib kecil murahan sepertinya mulai rapuh, dan tertutupi lumut hijau yang menghitam karena embun, dan memiliki nuansa patah hati yang lama dan terlihat—seperti yang terlihat—sakit.

“…Mushkin, teman yang terlupakan,” baca kami.
Waktu telah menghapus yang tak pernah ada, dan membetulkan kepalsuan manusia.

“Ide sumbangan benda peninggalan miliknya muncul di antara para aktor dan jurnalis, tapi mereka meminum uangnya, dan orang terkasihnya…” keluh si aktor, berlutut di tanah dan menyentuh tanah yang basah dengan lutut juga topinya.

“Apa yang kau maksud dengan, meminumnya?”
“Itu sangat sederhana. Mereka mengumpulkan uang hasil sumbangan, menerbitkan artikel tentang itu di koran, dan menghabiskan uangnya untuk minum-minum. Aku tidak berkata seperti ini untuk menyalahkan mereka. Aku harap hal itu memberi mereka kebaikan dan hal-hal yang berharga! Kesehatan mereka baik, dan ingatan yang kekal untuknya.”

“Minum-minum berarti kesehatan yang buruk, dan ingatan kekal takkan ada kecuali hanya kesedihan. Tuhan memberi kita peringatan akan waktu, tapi ingatan yang kekal – apa selanjutnya!”

“Kau benar. Mushkin adalah orang yang terkenal, kau lihat; ada lusinan karangan bunga di peti mati, dan dia kini sudah terlupakan. Mereka yang diberi kebaikannya telah melupakannya, tapi mereka yang disakitinya, mengingatnya. Aku, contohnya, tidak akan pernah melupakannya, karena aku tak mendapat apa-apa kecuali kejahatan darinya. Aku tidak punya cinta untuk yang sudah mati.”

“Kejahatan apa yang ia lakukan padamu?”

“Kejahatan yang besar,” desah si aktor, dan ekspresi kebencian yang pahit menyebar di wajahnya. “Bagiku, dia adalah penjahat dan bajingan – Kerajaan Surga bersamanya! Aku menjadi aktor karena melihatnya dan mendengarkannya. Dengan seninya, dia membujukku dari tempat tinggal keluargaku, dia memikatku dengan kegembiraan dalam hidup aktor, menjanjikan aku semua hal—dan membawa air mata juga kesedihan. Dunia aktor salah satunya adalah kepahitan! Aku telah kehilangan masa muda, ketenangan, dan pemandangan yang indah. Aku tidak punya setengah sen pun untuk memberkati diriku, sepatuku rusak di bagian tumit, celanaku usang dan penuh tambalan, dan wajahku terlihat seperti sudah digerogoti anjing. Kepalaku penuh dengan pemikiran bebas dan tak masuk akal. Dia merampokku dari keyakinanku—sisi jahatku! Semuanya akan jadi sesuatu jika aku memiliki bakat, tapi karenanya, aku rusak bukan untuk apa-apa. Dingin sekali, temanku yang terhormat. Tak inginkah kalian memilikinya beberapa? Ini cukup untuk semuanya. Brrrr. Mari kita minum untuk sisa-sisa jiwanya! Meskipun aku tidak menyukainya dan meskipun dia telah mati, dialah satu-satunya yang kumiliki di dunia ini, satu-satunya. Inilah waktu terakhirku untuk mengunjunginya. Dokter bilang, aku akan mati karena terlalu banyak minum, jadi aku datang ke sini untuk bilang selamat tinggal. Satu orang harus memaafkan salah satu musuhnya.”

Kami meninggalkan si aktor untuk berkomunikasi dengan Mushkin yang sudah mati dan lanjut berjalan. Lalu langit mulai menurunkan gerimis yang begitu dingin.

Sekembalinya kami ke jalan utama yang berkerikil, kami bertemu prosesi pemakaman. Empat pembawa peti, memakai ikat pinggang belacu putih dan sepatu bot tinggi berlumpur dengan daun menempel di sana, mengangkut peti mati berwarna cokelat. Langit mulai semakin gelap dan mereka bergegas, mereka tersandung juga bergetar karena beban mereka.

“Kita baru saja berjalan-jalan di sini untuk beberapa jam saja dan itu sudah yang ketiga yang dibawa masuk. Bisakah kita pulang, teman-teman?”

***

Cerita pendek ini diterjemahkan oleh Ayu Welirang dari “In the Graveyard” oleh Anton Chekhov yang diambil dari sini.



Related posts

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Search


Out Now!


Click banner to buy Not for IT Folks with discount!

Recent Posts


Tags


7 Divisi (7) Advertorial (4) Album Review (4) Antologi Ayu Welirang (4) Antologi HISTERY (2) Ayubacabaca (62) Ayu Welirang's Bibliography (9) Blogging Story (2) BS-ing everyday (7) Buku (63) Cabaca (3) Central Java (14) Cerita Detektif (7) Cerita Investigasi (4) Cerita Persahabatan (2) Cerpen (10) Cerpen dari Lagu (5) Coffee Shop (1) Drama (6) Editing Works (3) Februari Ecstasy (2) Fiksi Kriminal (3) Forest Park (2) Got Money Problem? (4) Halo Tifa (3) Heritage Sites (4) Hiking Journal (10) Hitchhike (4) Horror (3) Indonesia (37) Interview (2) Jakarta (10) John Steinbeck (3) Journal (18) Kopi (2) Kuliner (3) Kumcer (10) Latar Novel (2) Lifehacks (3) Living (4) Local Drinks (4) Local Foods and Snacks (5) Mata Pena (4) Media Archive (4) Menulis Adegan (2) Metropop (8) Mixtape (4) Mountain (18) Museum (2) Music Playlist (7) Music Review (4) My Published Works (13) NgomonginSeries (5) Nonton (6) Not for IT Folks (3) Novel Keroyokan (2) Novel Kriminal (4) Novel Thriller (3) On Bike (3) On Foot (4) On Writing (25) Pameran (2) Panca dan Erika (3) perjalanan dalam kota (3) Photo Journal (12) Potongan Novel Ayu Welirang (3) Publishing News (3) Review (72) Riset Tulisan (2) Rumah Kremasi (2) Santai (10) Sayembara-Novel-DKJ (3) Sci-fi (6) Sequel (4) Serial Detektif (2) Series Review (5) Short Stories (11) South Tangerang (1) Sumatera (3) talk about living my life (3) Tentang Menerbitkan Buku (7) Terjemahan (6) Things to do in Jakarta (4) Thriller (7) Tips (35) Tips Menulis (28) to live or not to live (6) Translation Works (6) Travel Guide (2) Traveling (3) Travel Stuff (2) Waterfalls (2) Wedding Preparation (5) Wedding Vendor Bandung (3) West Java (15) Worldbuilding Novel (2) Writing for Beginner (27) Writing Ideas (17) Writing Journal (38) Writing Prompt (9)

Newsletter


Create a website or blog at WordPress.com

%d bloggers like this: