Menulis Berbagai Omong Kosong dan Bergembira

POSTED ON:

,

BY:

“Ketika sebuah karya selesai ditulis, maka pengarang tak mati. Ia baru saja memperpanjang umurnya lagi.” ― Helvy Tiana Rosa

***

Ternyata, banyak hal yang terjadi sejak saya iseng mencoba dunia kepenulisan. Berawal dari menulis omong kosong di blog pribadi, lalu masuk ke komunitas menulis dan terus menulis omong kosong yang lain. Tak cuma itu, tertawa sendiri dan berandai-andai tentang bayangan yang perlahan menjadi nyata. Kadang saya berpikir, benar ataukah tipu daya?

Semua itu adalah suka-duka yang saya rasakan ketika mulai menulis. Menulis apapun. Sajak, curahan hati, ulasan yang ‘sok nyeni dan tendensius’, catatan harian, jurnal perjalanan, dan omong kosong. Dari semua itu, tentu saja omong kosong lah yang menempati urutan pertama.

Tentu sudah banyak fiksi yang saya tulis. Semuanya berawal dari khayalan yang tinggi. Khayalan itu notabene adalah buah pikir saya yang kelewat liar. Saya ingin menjadi seorang astronot, maka saya tuliskan. Ingin menjadi seorang musisi yang ahli, saya tuliskan ke dalam fiksi-fiksi itu. Bahkan, saya ingin menjadi seorang yang menyukai sesama jenis, saya juga menuliskannya. Banyak karakter yang muncul seiring khayalan itu berkelana. Bahkan, kadang saya mendapati diri saya sedang tersenyum, ketika bercengkerama dengan tokoh-tokoh hasil buah pikir saya sendiri. Itulah sebabnya, El Doctorow berkata, “Writing is a socially acceptable form of schizophrenia.” Dan ‘mereka’ yang hadir dalam setiap tulisan saya, membuat saya tidak pernah kesepian. Mereka selalu hidup. Seiring halaman dokumen yang terus terisi, mereka pun semakin kenyang. Mereka tak akan mati, kecuali saya menginginkannya. Mereka tetap ada di sana, meski saya bertambah usia. Hal itulah yang membuat saya semangat untuk terus menulis.

Lalu, hal apa lagi yang membuat saya bersemangat menulis?

Tentu saja banyak hal yang membuat saya bersemangat, dan menulis dengan gembira. Omong kosong yang banyak itu, kadang mengantarkan saya untuk bertemu dengan orang-orang tak terduga. Kadang, omong kosong itu juga dilirik oleh beberapa orang yang tertarik untuk menyebarkan sabda-sabda bohong yang saya tuangkan dalam halaman kosong. Dari sana, saya semakin bersemangat. Rupanya, ada juga orang yang menelan omong kosong itu. Justru, inilah titik di mana saya makin antusias, karena saya bisa mengetahui pikiran orang itu mengenai isi pikiran saya.

Selain itu, omong kosong mengantar saya pada pertemuan dengan dua penulis lainnya. Sejak pertemuann itu, kami sepakat untuk menulis omong kosong bertiga. Ditetapkan oleh Mbak Annes–salah satu rekan penulis–bahwa kami akan menulis romance-thriller. Wow! Ini sepertinya menyenangkan. Eksplorasi karakter tidak dibatasi, asal sesuai dengan tema dan garis besar cerita yang sudah disepakati bersama. Kami mengerjakan perjalanan hidup yang liar dan penuh darah, di sebuah rumah susun tua yang sudah tinggal tunggu roboh. Kira-kira, selama satu bulan, kami menggarap novel trio yang akan terbit pada bulan Februari ini. Setelah selesai, kami baca lagi karya kami. Ada rasa puas dan keanehan yang timbul. Bagi saya pribadi, ini adalah naskah yang paling cepat saya bereskan. Mungkin, karena dikerjakan oleh tiga orang, naskah ini jadi cepat selesai. Naskahnya pun dilempar ke editor yang bersangkutan, lalu kami melakukan koreksi di beberapa titik, sambil menunggu sampul yang didesain oleh pihak penerbit. Setelah semua prosesnya selesai, kami tinggal menunggu kemunculan ‘dia’, si calon bayi. Saya sendiri senang bukan main, dan saya menunggu hal yang paling ditunggu oleh mereka yang suka menulis.

Setiap orang yang suka menulis, pasti menunggu hasil tulisannya berada di tangan pembaca. Banyak faktor yang membuat senang, tapi yang ada di atas segalanya adalah ketika tulisan atau karya menemukan pembacanya sendiri. Sebagai seseorang yang menulis karya itu, tentu saya menilai secara subjektif. Tapi, ketika saya memposisikan diri sebagai pembaca, penilaian saya sendiri menjadi objektif. Ada beberapa adegan yang menurut saya tidak efektif, tapi saya bahkan tidak menyadarinya ketika menulis hal itu. Dan setelah begini, saya tentu jadi terpacu untuk menulis omong kosong lebih banyak dan lebih baik lagi. Jika saya saja bisa menemukan hal-hal yang kurang, apalagi pembaca lainnya?

Bagi saya, kelahiran karya yang saya tulis adalah kesenangan yang luar biasa. Seluruh jerih payah yang saya berikan untuk karya tersebut, terbayar lunas setelah karya itu sudah ‘live’. Saya bahkan sering menjelma seorang yang sebut saja ‘norak’, menjelang hari lahirnya tulisan saya. Saya sering menanyakan pada teman-teman di berbagai kota, apakah novel atau buku saya sudah ada di sana? Kalau ternyata sudah muncul, bahkan sebelum tanggal kemunculannya, saya jadi makin senang. Saya juga sering melakukan promosi, dengan mengirim foto-foto novel tersebut dari toko buku yang berbeda, ke beberapa jejaring sosial. Anggaplah saya norak, saya tidak peduli. Rasa puas dan kegembiraan ini, mungkin hanya bisa dirasakan oleh orang yang menulisnya. Euforia tentu berbeda saat karya tersebut diterima penikmat karya.

Dari semua kesenangan dan pengalaman itu, saya jadi kecanduan untuk terus menulis omong kosong. Kelak, saya akan menulis omong kosong yang lebih besar, yang lebih memikat, menulis sendirian, atau bahkan menulis beramai-ramai. Saya ingin tahu rasanya menulis omong kosong dalam medium dan pencapaian yang berbeda.

(Ayu)



Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Search


Out Now!


Click banner to buy Not for IT Folks with discount!

Recent Posts


Tags


7 Divisi (7) Advertorial (4) Album Review (4) Antologi Ayu Welirang (4) Antologi HISTERY (2) Ayubacabaca (62) Ayu Welirang's Bibliography (9) Blogging Story (2) BS-ing everyday (7) Buku (63) Cabaca (3) Central Java (14) Cerita Detektif (7) Cerita Investigasi (4) Cerita Persahabatan (2) Cerpen (10) Cerpen dari Lagu (5) Drama (6) Editing Works (3) Februari Ecstasy (2) Fiksi Kriminal (3) Forest Park (2) Got Money Problem? (4) Halo Tifa (3) Heritage Sites (4) Hiking Journal (10) Hitchhike (4) Horror (3) Indonesia (37) Interview (2) Jakarta (10) John Steinbeck (3) Journal (18) Kopi (2) Kuliner (3) Kumcer (10) Latar Novel (2) Lifehacks (3) Living (4) Local Drinks (4) Local Foods and Snacks (5) Mata Pena (4) Media Archive (4) Menulis Adegan (2) Metropop (8) Mixtape (4) Mountain (18) Museum (2) Music Playlist (7) Music Review (4) My Published Works (13) NgomonginSeries (5) Nonton (6) Not for IT Folks (3) Novel Keroyokan (2) Novel Kriminal (4) Novel Thriller (3) On Bike (3) On Foot (4) On Writing (25) Pameran (2) Panca dan Erika (3) perjalanan dalam kota (3) Photo Journal (12) Potongan Novel Ayu Welirang (3) Publishing News (3) Review (72) Riset Tulisan (2) Rumah Kremasi (2) Santai (10) Sayembara-Novel-DKJ (3) Sci-fi (6) Sequel (4) Serial Detektif (2) Series Review (5) Short Stories (11) South Tangerang (1) Sumatera (3) talk about living my life (3) Tentang Menerbitkan Buku (7) Terjemahan (6) Things to do in Jakarta (4) Thriller (7) Tips (35) Tips Menulis (28) to live or not to live (6) Translation Works (6) Travel Guide (3) Traveling (4) Travel Notes (2) Travel Stuff (2) Waterfalls (2) Wedding Preparation (5) Wedding Vendor Bandung (3) West Java (15) Worldbuilding Novel (2) Writing for Beginner (27) Writing Ideas (17) Writing Journal (38) Writing Prompt (9)

Newsletter


Create a website or blog at WordPress.com

%d bloggers like this: