Ulasan Personal Album Tentang Rumahku – Dialog Dini Hari (2014)

POSTED ON:

,

BY:

Menerima album Dialog Dini Hari – Tentang Rumahku di meja kerja (waktu masih kerja), sama rasanya seperti saat menerima album OK Karaoke – Sinusoid di meja rumah. Ada rasa puas yang mengalir ketika memiliki album-album dengan packaging lucu-lucu itu, dan tentunya dengan materi yang tak lekang didengar telinga. Dan setelah saya cukup intensif mendengarkan lagu-lagu DDH—begitu grup musik folks ini biasa disapa—seperti biasa saya akan mengulasnya di blog ini.

Sebelas track di album terbaru Dialog Dini Hari yang rilis 2014 ini agak sedikit berbeda dari album-album sebelumnya—saya agak lupa bulan apa rilisnya, kalau tidak salah saya membeli album Dialog Dini Hari ini sekitar bulan Juni-Juli. Mengapa saya katakan sedikit berbeda? Karena memang beda! Hehe. Dialog Dini Hari tetap membawakan musik yang sederhana, dengan permainan gitar akustik Dadang “Pohon Tua” yang melenakan itu, disambangi pertemuan bass Brozio Orah, dan drum dari Bli Deny Surya. Balada yang hidup dari keseharian hidup ketiganya, menjadi napas yang familiar bagi saya, sebab Tentang Rumahku kali ini benar-benar bercerita tentang kerinduan akan kata “pulang”. Dan perbincangan mengenai suatu kepulangan benar-benar sensitif, apalagi bagi perantau seperti saya. Hiks.

Jika di album-album sebelumnya, berikut singel yang sempat diluncurkan oleh DDH agak terdengar lebih bersemangat dan termuat pesan pemujaan terhadap alam raya—semesta beserta isinya—album yang satu ini lebih terkesan sederhana dan terdengar optimistis. Kita akan berkontemplasi seiring mendengarkan lirik-lirik dalam Tentang Rumahku yang mengalir santai dan secara garis besar bercerita tentang kerinduan pada rumah. Saya percaya, musik berlirik bak puisi semacam ini, akan sangat mengena di hati pendengar. Saya bahkan selalu membawa Tentang Rumahku ke mana-mana. Sebab, ketika saya ingat “rumah”, maka lagu-lagu di dalam album ini akan sedikit mengobati kerinduan terhadap rumah semasa kecil saya yang kini agak jarang disinggahi. Setelah memble-memble bicara tentang rumah, sekarang lebih baik saya coba ulas satu per satu lagu di dalam Tentang Rumahku.

Lagu pertama di album ini, bertajuk “360 Batu”. Lagu ini adalah lagu yang paling enerjik di dalam album ini. Ditaruh sebagai menu pembuka, lagu ini mengajak kita untuk menapak tilas kehidupan yang sulit dan sebenarnya tidak perlu dibuat sulit. Di kala sulit, akan ada selalu teman-teman yang bisa diajak bersenang-senang untuk sedikit melupakan risau, dan membawa kesenangan itu pulang. Bisa disimak dari liriknya yang enerjik dan mengajak kita bergoyang bersama lalu lupa akan gundah gulana. Halah!

Tertawalah, tertawalah kawan / Basuh basahi diri / Luka, biar terluka kawan / Karang kering sendiri / Bahagia, gembiralah / Jadikan kenangan / Canda di alam bersahaja

Setelah bergoyang bersama lagu pertama, saatnya kita beralih ke lagu berikutnya. Di nomor kedua, DDH menaruh “Tentang Rumahku”, lagu yang judulnya dijadikan tajuk album mereka itu. Lagu Tentang Rumahku sendiri membuat saya seketika mengingat rumah masa kecil saya di Cipageran ketika mendengarnya. Seperti sebaris lirik yang begitu mengena, “Rumah mungil dengan cerita cinta yang megah.” Rumah memang tak perlu besar. Rumah kecil sudah sangat berarti karena memuat cerita tentang kehidupan seorang manusia, dari ia terlahir ke dunia sampai ketika ia rindu dan hendak pulang. Rumah yang mungkin sempat terlupakan sejenak karena rutinitas. Tapi bagaimanapun, rumah tetaplah rumah. Manusia tak mungkin terus melangkah mengembara tapi tak pernah memijak sesuatu yang bernama “rumah” untuk sebuah “kepulangan”. Dan DDH berhasil mengemas cerita tentang “rumah” dalam musik yang easy listening—setidaknya tidak seberat lagu “Pohon Tua Bersandar”. Tak hanya musiknya, kata-kata sederhana namun puitis pun dijejalkan tanpa terdengar memaksa.

Nah, lagu ketiga yang berjudul “Temui Diri” ini, menjadi salah satu lagu favorit saya. Saya beberapa kali mendengarkan lagu ini ketika berada dalam perjalanan menuju entah. Dengan menjejalkan earphone, dan mengatupkan kelopak mata, lagu ini begitu meresap. Belum lagi permainan gitar ciamik dan permainan bass yang berlarian—permainan bass favorit saya. Saya memang senang mendengar suara bass dalam sebuah musik, terlebih lagi kalau suara bass itu dominan dan berlari ke sana ke mari.

Dengan earphone saya seperti mendapati konser pribadi di dalam kepala saya. Tak hanya itu, lirik sederhana nan puitis yang lagi-lagi disisipkan tanpa terdengar memaksa, membuat konser pribadi itu jadi semacam ajang kontemplasi diri, pertemuan terhadap diri sendiri. Line favorit saya yaitu: “Sombong datang dahulu / Sesal terakhir memburu / Waktu takkan kembali / Berserah diri, resapi / Noda-noda hati, menyingkirlah / Lahir kembali, bersihkan jiwa.”

Masih berbicara kerinduan, lagu keempat juga berbicara tentang kerinduan. “Dariku Tentang Cinta” yang bercerita tentang kerinduan akan sesosok “cahaya di dalam hati”. Meski bercerita tentang kerinduan, tentu saja DDH tidak akan membuat lagu menye-menye khas musisi televisi, itulah sebabnya saya meninggalkan televisi sejak lama. Suara Dadang “Pohon Tua” yang sejak DDH muncul telah menghipnotis saya dan pernah memberi saya kesempatan berduet dalam lagu “Senandung Rindu” di acara Radioshow TVOne bertahun-tahun lamanya ini adalah momen yang tidak bisa membuat saya move on hingga sekarang, kini semakin menghipnotis saja. Suaranya berat cenderung serak, dengan permainan gitar yang seperti itu, siapa coba yang tidak suka dengan lagu “Dariku Tentang Cinta”?

Beralih ke “Aku dan Burung”. Nah, ini adalah lagu kelima yang juga jadi salah satu lagu favorit saya di perjalanan. Lagu yang cukup kontemplatif, namun dibawakan dengan musik yang cenderung murung. Jika di lagu-lagu lain, musiknya begitu optimis dan enerjik, juga menyebarkan kerinduan, di sini DDH sedikit membuat twist dengan memasukkan satu lagu yang murung. Namun, sekali lagi, DDH tak pernah membuat bosan. Kontemplatif dan manusiawi. Habisnya, cukup banyak lagu yang bertebaran dan tidak manusiawi. Kadang, temanya terlalu berat, padahal kepala sedang ingin rehat sekejap.

“Hai kau burung / Tak lelahkah kau terbang? / Matahari turun / Petang menjelang / Cengkeramlah dahan / Dan hinggaplah / Bangunlah sebuah sarang sebagai rumah… / Lihatlah diriku, tanpa warna / Tertawa pilu, haru gempita / Aku tidaklah bebas, sepertimu / Terjebak dalam sangkar, yang ku bangun…”

Nah, track keenam ini sepertinya mencoba kesuksesan Senandung Rindu yang diisi dengan suara perempuan sebagai teman duet. Dan seperti lagu tersebut, “Lagu Cinta” ini juga diisi dengan suara perempuan—Kartika Jahja—yang range vokalnya cukup tinggi, supaya blending dengan suara Dadang “Pohon Tua” yang cenderung rendah. Sepertinya sih begitu. Jadi, kesan romantis dan kesan rindu begitu kentara di lagu ini, apalagi kesan sahut-sahutan dari telepon jadul ala gelas plastik dipasang benang. Karena tajuknya memang lagu percintaan, supaya romantis di lagu ini juga diisi dengan permainan flute ketika akan masuk verse selanjutnya.

Lagu berikutnya itu “Di Balik Pintu”. Lagu ini juga termasuk lagu favorit saya. Musiknya menurut saya agak sedikit jenaka. Kalau saya tebak, lagunya tentang seorang kekasih atau mungkin siapa gitu, yang sedang ngambek dan tidak mau membukakan pintu. Lagu ini sering saya posting potongan liriknya di twitter. Haha! Karena ya itu, jenaka! Lagu yang romantis, tapi pesannya jenaka. Musiknya juga easy listening. Kepala pasti bergeleng ke sana ke mari saat mendengarkan lagu ini. Baris yang saya bilang jenaka itu, menurut saya ini: “Apakah yang kau mau / Sembunyi di ruang berdebu / Mengurung diri membisu / Menutup pintu / Berdiri di depan rumahmu / Buka pintu demi waktu yang tersisa untuk hari ini / Hari ini…” Saya haqul yakin, kalau ada perempuan sedang ngambek lalu disodorkan lagu ini, pasti dia enggak akan ngambek lagi.

“Gurat Asa” ada di nomor delapan. Lagu ini juga lagu yang membawa pesan kontemplasi diri. Lagu ini semacam refleksi kita untuk diri sendiri. Tempo lagu ini cukup cepat, dibandingkan lagu-lagu lainnya di album Tentang Rumahku. Baris lirik yang menurut saya kontemplatif itu begini:

Seratus jurang tlah kujatuhi / Ditikam badai hujan belati / Seribu duka tlah kutangisi / Ragam cerita aku sudahi / Ku yakin lelah kan berpulang / Di mana tangan membentang / Mengembara mencari jalan pulang / Mendaki rintangan / Tapi ku takkan tumbang / Masih ku kobarkan cinta / Pada hidup, pada waktu / Tak berujung padamu

Lagu ke sembilan ini sudah saya dengar pertama kali di soundcloud DDH sebelum albumnya diluncurkan, dengan judul lagu “Jalan Dalam Diam”—sama seperti pada album. Lagu ini juga membawa pesan murung, seperti lagu Aku dan Burung, hanya saja musiknya sedikit berbeda. Sedikit lebih optimis. Belum lagi, ada paduan suara yang menghiasi lagu ini, bersama dengan suara Kang Dadang yang sulit dilupa itu (eh, kok Kang?). wkwkwk

“Sisipkanlah aku di sayapmu, di sayapmu / Terbangkanlah aku ke manapun kau mau.”

Lagu ke sepuluh berjudul “Hiduplah Hari Ini”, dan menempati lagu favorit juga. Pesan positif yang begitu kentara ada di lagu ini. Bercerita bahwa segala hal buruk itu memang hanya ujian karena, *“Semesta tak pernah diam, bisikkan doa di telinga alam.”* Lagipula, kita harus tetap move on dan… “Sambutlah indahnya esok hari. Syukuri cerita yang tlah pergi.” Begitu sih kata “Pohon Tua”. Masak sih kamu hidup mau begitu-begitu saja? Kamu nggak sadar apa, kalau “burung camar menari di pantai, itu artinya badai tlah usai”, gitu lho! Jadi begitu, lagu ini enak dan membawa kesan positif. Jadi, kalau kamu lagi galau, cukup dengar lagu ini keras-keras sambil mencuci. Energi positif yang ada di lagu ini, bisa menghilangkan galau! Percayalah!

Lagu terakhir ini jadi satu-satunya lagu yang memakai lirik bahasa Inggris. Judulnya “The Road”, sepertinya masih bercerita tentang pengembaraan dan kesan apa yang didapat dari pengembaraan itu. Kalau ingat lagu ini, saya malah ingat Eddie Vedder yang mengisi soundtrack “Into the Wild” secara penuh, dengan lirik-lirik magis dan musik kelam khas “pencarian jati diri”. Sepertinya lagu ini pun kesannya jadi seperti itu, sebab DDH mengawali lagu ini dengan petikan gitar yang ritmenya berjalan seperti sebuah perjalanan dan lirik yang membawa kesan kalau, “Ah aku capek, pengen pulang tapi…”

Nah kira-kira seperti itu. Bedanya, lagu The Road tidak sekelam lagu-lagu Eddie Vedder, contohnya “Society”. Di lagu itu jelas-jelas Eddie Vedder mencoba menyampaikan kalau si tokoh Alexander Supertramp benar-benar muak sama “society, you’re crazy breed” itu. Kalau DDH ini, sudah pasti terdengar lebih optimis. Mencoba melihat perjalanan dari sudut pandang “memetik pelajaran”. Coba dengar di bagian ini, “Maybe I should walk on, get another point of view. The Morning light will guide me through.” DDH memang sedang bercerita tentang apa yang ditemukan dari sebuah perjalanan melalui lagu ini.

“I want to learn to live to love. I want to feel like I am free to be me.”

Nah, begitulah kira-kira ulasan personal saya akan album “Tentang Rumahku”. Karena ini ulasan personal yang betul-betul menceritakan tentang bagaimana keterikatan saya terhadap sebuah lagu atau sebuah album, maka ulasan ini jadi panjang ke mana-mana. Ya maklum, saya menyentuh tiap ulasan dari sisi personal, biar makin pas dibaca apalagi pas kalian dengar juga. Siapa tahu ada yang pengalaman personalnya berbeda, bisa di-share juga, iya kan? 🙂

Nah, dari pengalaman “mendengar secara personal”, tracks dalam album ini kalau diurutkan menurut dari yang paling favorit versi saya:

  • Temui Diri
  • Hiduplah Hari Ini
  • Aku dan Burung
  • Di Balik Pintu
  • Tentang Rumahku
  • Jalan Dalam Diam
  • Dariku Tentang Cinta
  • 360 Batu
  • Gurat Asa
  • The Road
  • Lagu Cinta

Okay. Saya sudahi dulu ulasan personal ini. Terima kasih sudah mampir, membaca, komentar, dan sudah ikut berbagi! Sampai ketemu lagi di post selanjutnya!

(AYU)

P.S.

Maaf saya tidak kasih link untuk mendengarkan lagu-lagu DDH-nya. Kalau mau mendengarkan, silakan miliki album DDH satu ini sebagai bentuk apresiasi karya. Kalian nggak akan rugi juga, karena musiknya enak-enak kok. Atau, kalau benar-benar ingin dengar saat ini juga, sila cari sendiri di yutub. 😀



Related posts

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Search


Out Now!


Click banner to buy Not for IT Folks with discount!

Recent Posts


Tags


7 Divisi (7) Advertorial (4) Album Review (4) Antologi Ayu Welirang (4) Antologi HISTERY (2) Ayubacabaca (62) Ayu Welirang's Bibliography (9) Blogging Story (2) BS-ing everyday (7) Buku (63) Cabaca (3) Central Java (14) Cerita Detektif (7) Cerita Investigasi (4) Cerita Persahabatan (2) Cerpen (10) Cerpen dari Lagu (5) Drama (6) Editing Works (3) Februari Ecstasy (2) Fiksi Kriminal (3) Forest Park (2) Got Money Problem? (4) Halo Tifa (3) Heritage Sites (4) Hiking Journal (10) Hitchhike (4) Horror (3) Indonesia (37) Interview (2) Jakarta (10) John Steinbeck (3) Journal (18) Kopi (2) Kuliner (3) Kumcer (10) Latar Novel (2) Lifehacks (3) Living (4) Local Drinks (4) Local Foods and Snacks (5) Mata Pena (4) Media Archive (4) Menulis Adegan (2) Metropop (8) Mixtape (4) Mountain (18) Museum (2) Music Playlist (7) Music Review (4) My Published Works (13) NgomonginSeries (5) Nonton (6) Not for IT Folks (3) Novel Keroyokan (2) Novel Kriminal (4) Novel Thriller (3) On Bike (3) On Foot (4) On Writing (25) Pameran (2) Panca dan Erika (3) perjalanan dalam kota (3) Photo Journal (12) Potongan Novel Ayu Welirang (3) Publishing News (3) Review (72) Riset Tulisan (2) Rumah Kremasi (2) Santai (10) Sayembara-Novel-DKJ (3) Sci-fi (6) Sequel (4) Serial Detektif (2) Series Review (5) Short Stories (11) South Tangerang (1) Sumatera (3) talk about living my life (3) Tentang Menerbitkan Buku (7) Terjemahan (6) Things to do in Jakarta (4) Thriller (7) Tips (35) Tips Menulis (28) to live or not to live (6) Translation Works (6) Travel Guide (3) Traveling (4) Travel Notes (2) Travel Stuff (2) Waterfalls (2) Wedding Preparation (5) Wedding Vendor Bandung (3) West Java (15) Worldbuilding Novel (2) Writing for Beginner (27) Writing Ideas (17) Writing Journal (38) Writing Prompt (9)

Newsletter


Create a website or blog at WordPress.com

%d bloggers like this: