Judul: Cala Ibi
Penulis: Nukila Amal
Edisi: pertama
Tahun Terbit: 2004
Tebal: 275 halaman, paperback
ISBN: 9789792207972
Maya’s vreemde dromen beheersen haar nachten. Steeds verschijnt dezelfde vrouw: naamgenote Maia. De levendige dromen nemen Maia mee op onvergetelijke reizen, en gezeten op een draak genaamd Kolibrie vliegt ze over bekende en onbekende plaatsen.
Door de dromen beseft Maya dat haar perfecte leven maar schijn is. Ze doet afstand van haar leven zoals ze dat kent: ze zegt haar baan op, zet haar verloofde aan de kant en verlaat Jakarta. Ze begint te schrijven over Maia en haar oneindige nachtelijke reizen.
Werkelijkheid en fictie dreigen door elkaar te gaan lopen als de nachtelijke Maia tijdens een van Maya’s dromen ook begint te schrijven en schrijft over Maya, die wakker wordt op een perfecte ochtend
***
Saya menulis ulasan ini di media blackberry. Gila bukan? Atau biasa saja? Ya, saya tidak menuliskan ini di komputer, laptop, dan semacamnya karena sampai saya mengirim ini ke khalayak maya, saya tidak sedang berada di depan komputer kesayangan saya. Hasrat untuk bercerita tentang buku yang mengubah hidup sangatlah kuat, sehingga saya harus segera menuliskannya sebelum hal itu menghilang dari benak. Setidaknya, esok pagi saya masih bisa membereskan tulisan yang berantakan di kantor.
Buku pertama yang jadi segalanya adalah salah satu buku yang ditemukan secara tak sengaja di kedai kopi yang merangkap rumah buku mini. Buku ini mungkin sudah terabaikan begitu lama. Tak tersentuh. Niat saya waktu itu memang mencari buku Ayu Utami, namun saya seperti terhipnotis ketika membaca sisi buku yang berjudul “Cala Ibi”. Buku yang sampulnya abstrak dan tidak jelas bergambar apa, seperti memanggil saya dan meminta pertolongan. Dia memanggil, dan saya mengambil.
Buku ini semacam perjalanan. Saya berjalan untuk membaca dan paham akan isinya yang “di luar nalar” namun berhias diksi puitik. Pun dengan tokoh utama bernama Maya Amanita, yang kerap kali berjalan di alam bawah sadar, mengunjungi rumahnya nun jauh di sana, di Halmahera. Dalam perjalannya, Maya menunggangi seekor naga yang berbicara, yang bercerita tentang sejarah tempat lahirnya. Saya berjalan tertatih, sementara Maya terbang dengan naga.
Dalam perjalanan itu, saya ikut masuk ke dalam dunia mimpi Maya, yang bias antara maya juga nyata. Tapi, sesungguhnya pada saat itu yang saya lakukan bukanlah berjalan membaca, melainkan beberapa kali diam untuk memaknai isi pesan-pesan tersirat dari tiap diksi puitik Nukila Amal–sang penulis. Saya berusaha memahami apa yang hendak disampaikan olehnya, meski pada akhirnya saya pun gagal memaknainya.
Nukila Amal sukses membuat saya menari-nari dalam kepala Maya Amanita, atau malah tokoh fiktif itu yang menari di dalam kepala saya? Saya sungguh tak habis pikir, benarkah ada kehidupan “yang mati dan yang fana” di dalam diri tiap manusia? Benarkah bisa sebegitu hebatnya fantasi sebuah mimpi? Saya pun jadi de javu, sebab saya pernah menemukan sejarah hidup yang lahir bukan dari fakta, melainkan dari dalam sebuah mimpi asali yang benar-benar tak jelas batas antara keaslian atau kefanaannya. Tapi, berkat Nukila Amal, saya jadi mengamini, bahwa tak ada yang benar-benar bisa membagi antara batas maya atau nyata. Di sini, Cala Ibi–nama sang naga–membawa kita pada eksistensi diri kita sendiri, melalui mimpi asali. Bahkan, kesendirian yang saya rasakan di ibukota, seperti dijelma dari kesendirian Maya Amanita. Mereka yang sendiri, mereka yang kerap mimpi.
Perjalanan saya dengan Cala, sang naga yang berbicara rupanya tak sampai di situ. Di tengah-tengah perjalanan, saya menemukan pilihan. Ke mana saya harus melanjutkan perjalanan? Apakah pulang dan menerima eksistensi saya sebagai seorang anak dari seorang ibu dan ayah ataukah melanjutkan hidup di belantara kota? Di sini Cala membingungkan saya, sama seperti Maya atau Maia atau siapalah itu namanya. Dan ketika pilihan sudah saya temukan, saya malah tak benar-benar menemukan pilihan nyata, karena sekali lagi, semuanya bias.
Ketika saya mengerucutkan pilihan, rupanya sang naga yang menjadi tuhan dalam cerita, membawa saya ke kenyataan yang lain. Dia malah dengan berani menasehati saya, “Cerita selalu bisa berubah”, katanya berkali-kali. Dan dia malah menasehati saya dengan teori-teorinya yang jelas tak saya mengerti. Dia malah berkata, “Kau tak usah berkutat menceritakan kenyataan, karena… realisme menyesaki yang nyata, penuh dengan kata-kata nyata, dengan bahasa yang menuding-nuding hidung realita. Yang nyata berubah dalam penceritaan.” (hal. 73).
Maka bukan saya yang menuding realita dan labirin hidup, melainkan Cala yang menuding hidung saya. Tak perlu berkelindan dalam labirin karena katanya frustasi lebih mudah muncul jika kita memaknai buku ini secara rasional, mencari yang ada, atau bahkan mencari yang tak ada. Selebihnya biarkan Cala membawa saya, atau mungkin kita, untuk ikut berjalan-jalan. Sejenak duduk di atas punggungnya tak masalah, anggap saja seperti naik kuda. Dan sampai akhir cerita, saya bahkan ingin mengulang perjalanan, kalau bisa. Saya ingin berada di atas punggung Cala lagi, berkeliling Indonesia dalam mimpi asali yang membawa saya ke sebuah masa lalu. Masa lalu yang mungkin benar, atau bahkan tidak benar. Atau bahkan… saya yang akan mempertanyakan eksistensi saya sendiri. Apakah saya yang membaca Cala Ibi adalah MAYA? Ataukah saya adalah jelmaan Maia yang bias antara kenyataan dan kefanaan?
Entah…
Kesendirian ini, rupanya sangat penuh… jika hari-hari dibiarkan mengalir, bagai duduk di punggung naga yang bercerita. Seperti melayang pada fantasmagoria. Mimpi asali, fantasi khayali.
Leave a Reply