Perjalanan naik motor, terus parkir, terus masuk kawasan
hutan raya di Bandung, rupanya ke Goa Belanda masih harus menapaki jalanan berbatu. Enak sih jalannya, menurun. Yang jadi
pe-er adalah jalan pulangnya. Karena jalan ini satu-satunya jalan untuk kembali ke gerbang masuk, maka saya harus sedikit menanjak. Ah, harusnya sih jangan
ngeluh, biasanya juga naik gunung. Hehehe.
Biar perjalanan pulangnya bukan cuma sekedar jalan kaki, enaknya ambil jalur di sebelah kanan jalur pulang. Balik arah dari
Goa Belanda, akan ada penunjuk arah cabang tiga, yang akan mengantarkan kita ke destinasi lain di dalam Taman Hutan Raya Djuanda. Dan saya pun memilih untuk ke arah Barat, mengambil jalur mendatar untuk sampai ke Goa Jepang.
 |
kiri: ke Goa Jepang |
Trekking ringan menuju Goa Jepang ini tidak begitu membosankan. Jalanan aspal licin sisa hujan tidak begitu ramai. Maklum, memang jalannya kecil dan bukan untuk motor. Orang saja jarang. Mungkin karena tidak begitu banyak orang yang berminat untuk melancong ke sisa-sisa zaman penjajahan. Kalaupun ada, ya pasti orangnya seperti saya juga. :))
Di kiri jalan, hanya tebing berbatu saja yang terlihat. Sepertinya, tebing ini masih sisa-sisa bangunan pusat radio komunikasi Jepang yang terbentang luas. Sedangkan, di kanan jalan, saya melihat beberapa pohon penghasil kayu yang bisa dibilang masih cukup muda umurnya. Mungkin untuk memperbaiki ekosistem di kawasan Tahura, pohon-pohon ini ditanamkan ke tanah Tahura. Trekking pun jadi tidak terasa bosan, seperti kembali ke alam. Kembali ke hutan. Maklum lah, saya sudah lama tidak main ke gunung, hutan, dan rimba raya. Jadinya, berjalan di tengah suasana yang segar dengan pemandangan hijau, sejenak membuat saya lupa akan peliknya kehidupan saya ketika di Jakarta. Bekerja di antara belantara beton yang tidak ada indah-indahnya.
 |
tentang mahoni Uganda… |
Dari Goa Belanda, perjalanan dengan jalan kaki memakan waktu kurang lebih sepuluh menit. Setelah melewati beberapa jenis pohon penghasil kayu itu, di depan saya sudah terlihat bangunan benteng yang tertutupi semak belukar. Bangunan yang sudah sempurna bersembunyi itu memang tak terlihat seperti benteng kalau dilihat dari arah utara.
Goa Jepang di Tahura adalah salah satu dari puluhan goa buatan Jepang yang tersebar di seluruh Indonesia, yang umumnya dibuat pada tahun 1942 – 1945. Ketika masa pendudukan Jepang, Kota Bandung merupakan marksa salah satu dari tiga Kantor Besar (bunsho) di Pulau Jawa. Bandung juga menjadi tempat pemusatan terbesar tawanan perang mereka, baik tentara Koninklijke Nederlands Indische Leger–atau yang lebih dikenal dengan sebutan KNIL (Tentara Hindia-Belanda) dan satuan sekutunya, maupun warga sipil.
 |
ilustrasi tentara Jepang… |
Tanggal 10 Maret 1942 dengan resmi angkatan Perang Hindia Belanda berikut pemerintah sipilnya menyerah tanpa syarat kepada bala tentara Kerajaan Jepang dengan upacara sederhana di Balai Kota Bandung. Setelah upacara selesai, Panglima Perang Hindia Belanda Letnan Jendral Ter Poorten dan Gubernur Jendral Tjarda Van Stakenborgh tanpa basa-basi atau ba-bi-bu lagi ditawan di Mansyuria sampai perang dunia II selesai. Andaikata pemerintah Indonesia yang ketahuan korupsi langsung dijebloskan saja seperti ini tanpa ba-bi-bu, saya optimis bahwa tampuk pemerintahan Indonesia akan bersih seketika. Hahaha. (Masa iya sih, perlu mendatangkan penjajah Jepang dulu, baru bisa mikir?)
Pada masa itu, selain memanfaatkan goa buatan Belanda sebagai tempat menawan tahanan, Jepang juga menambahkan sejumlah goa di kawasan ini. Goa buatan Jepang digunakan untuk keperluan penyimpanan amunisi, logistik, dan komunikasi radio pada masa perang. Begitu instalasi militer Hindia Belanda dikuasai seluruhnya maka tentara Jepang membangun jaringan Goa tambahan untuk kepentingan pertahanan di Pakar, dimana letaknya tidak jauh dari Goa Belanda. Konon pembangunan goa ini dilakukan oleh para tenaga kerja secara paksa yang pada saat itu disebut “romusa” atau “nala karta”. Goa tambahan yang terdapat di daerah perbukitan Pakar ini tepatnya memang berada dalam wilayah Tahura. Goa ini mempunyai 4 pintu dan 2 saluran udara. Dilihat dari lokasi dan bentuknya goa ini diperkirakan berkaitan dengan kegiatan dan fungsi strategis kemiliteran. Lorong-lorong dan ruang-ruang yang terdapat pada goa ini dapat dipergunakan sebagai markas, maupun tempat penyimpanan peralatan dan logistik. Selama pendudukan Jepang di Indonesia, daerah Pakar yang sekarang menjadi Tahura dipergunakan untuk kepentingan militer dan tertutup untuk masyarakat.
 |
ki-ka atas: goa jepang, jalan berbatu ki-ka bawah: ventilasi, pintu masuk IV |
Goa tambahan yang dibangun pada masa pendudukan Jepang dinamakan Goa Jepang. Goa Jepang saat ini dapat dimasuki dengan aman dan dijadikan sebagai tempat wisata yang penuh pesona karena alam sekitarnya yang sangat indah dan memiliki nilai sejarah.
Kira-kira begitulah keadaan goa Jepang yang ada di kawasan Tahura. Berada di antara rimbunnya pepohonan dan kawasan eksotis di sebelah selatan patahan Lembang, goa Jepang memang jadi tempat strategis bagi penjajah Jepang untuk membangun kekuatan militer. Mirisnya, tak banyak orang yang tahu, tak banyak orang yang mau peduli. Bahkan, banyak anak muda Bandung yang tak tahu. Yah, mau bagaimana lagi? Sudah lumrah rasanya, orang kota lupa akan sejarah.
Padahal, Soekarno selalu tegaskan… “JASMERAH”, jangan pernah sekali-sekali melupakan sejarah…
Salam! 🙂
Leave a Reply