Bagi mereka yang tinggal di Bandung dan sekitarnya, pasti sudah tak asing lagi dengan beberapa lokasi eksotis yang bisa ditempuh dengan menumpang angkutan kota. Bukan hanya lokasi perbelanjaan dan factory outlet saja yang terkenal di kalangan pendatang Bandung, tapi juga wisata alamnya.
| Wilujeng Sumping yang artinya… Selamat Datang! |
Dan dari sanalah, para borjuis ibukota ikut memadati lokasi wisata ini. Mobil-mobil angkuh mereka menggilas aspal itu. Plat B apalagi. Saya mengerti, dengan mobil-mobil dan kunjungan mereka, kehidupan masyarakat di sekitar Tahura bisa tercukupi. Sayangnya, pemikiran orang-orang desa makin lama makin komersil juga. Jadinya, mereka memanfaatkan apa saja jadi peluang bisnis, termasuk lahan parkir kosong yang sudah jelas-jelas ketika awal masuk Tahura, kita membayar retribusi. Tapi kenyataannya, kita ditagih retribusi lagi. Yaaaa bukannya hitungan. Cuma, kok rasanya janggal saja. Tidak ada kontribusi dari pihak Pemda. Pasalnya, loket resmi Tahura selalu tutup. Berdebu dan tak terurus. Kesannya kok tidak ada urusannya sama Dinas Pariwisata, padahal kan harusnya lebih diperhatikan lagi.
Oke. Cukup dulu OOT-nya.
Beralih ke kawasan Tahura lagi. Di sini, kita bisa mengunjungi beberapa situs wisata yang unik dan juga menantang. Kita bisa menjelajahi tiga curug atau air terjun yang letaknya saling berjauhan, sehingga kita harus trekking ringan, mendaki dan menuruni jalanan yang sudah didempul aspal. Tak jarang pula kita harus melewati jalanan sempit yang masih berupa bebatuan apung. Di sini, enak sekali kalau membuka sandal. Kaki yang langsung menyentuh bebatuan apung itu bisa memperlancar peredaran darah. Refleksi mungkin istilahnya.
Sayangnya, saya tidak bisa mencapai curug itu karena sampai di Tahura terlalu siang, sehingga waktu yang saya gunakan di Tahura hanyalah cukup untuk berkeliling situs yang lebih menantang lagi, yaitu situs goa peninggalan zaman Belanda dan Jepang. Suasananya cukup membuat saya bergidik ngeri. Dua goa ini pernah menjadi saksi bisu sejarah kelam Indonesia pada masa kolonial dan masa pendudukan Jepang. Saya memulainya dari Goa Belanda, dengan catatan agar saya bisa kembali sesuai jalur yang sudah disepakati bersama dengan Abang. Jadi, rutenya adalah sebagai berikut.
![]() |
| Peta, Lokasi Situs, dan Petunjuk Arah |
Saya berniat untuk ke curug, karena sudah lama tak trekking dan melihat yang seger-seger (es campur kali seger). Nah, kebetulan ada yang bisa mengantar tanpa takut capek (cieee), saya lalu tancap saja. Berbekal trekking pole dan sendal jepit kesayangan, saya menginjakkan kaki di batu apung dan aspal yang licin pasca hujan. Kali ini saya masuk ke Tahura dari gerbang utama, sehingga kalau sudah melewati salah satu saluran PLTA Bengkok, belok ke kanan itu adalah jalur menuju gerbang III dan lurus terus mengikuti jalan menurun, saya akan sampai di Goa Belanda.



Leave a reply to Anonymous Cancel reply