Pada hari Minggu kemarin, saya sedang melihat-lihat linimasa saya di twitter dan seperti biasa, saya dibuat senang dengan tampilan twit dari salah satu band yaitu Efek Rumah Kaca. Mereka akan tampil sebagai salah satu band tamu, bersama dengan Tika & The Dissidents dalam penutupan acara pelatihan Citizen Journalism atau jurnalisme warga.
Acara yang digagas oleh yayasan Tempo Institute dan afiliasi dengan beberapa media independen yang bergerak dalam bidang jurnalistik, fotografi, desain, penulisan dan perfilman ini ternyata sudah saya lewatkan satu hari, yaitu pada tanggal empatbelas April. Jadi, saat saya membaca linimasa tersebut, saya tak lagi pikir panjang apakah harus datang atau tidak. Dan rencana saya untuk mengambil antrian di toko buku Leksika Kalibata City, saya batalkan. Padahal, buku gratis yang dibagikan Leksika pada Minggu sore itu adalah buku dari Dee yang terbaru, berjudul Partikel. Antara kecewa dan tidak, tapi ya sudahlah. Toh, saya mendapatkan ganjaran setimpal dengan menikmati pameran, nasi kucing, dan menonton penampilan Efek Rumah Kaca juga Tika & The Dissidents yang sangat keren.
Sekitar pukul lima sore, saya berangkat dari kantor. Saya yang mendapat tugas masuk kerja di hari Minggu pun harus menggadaikan kesenangan meski akhirnya terbayar dengan pameran. Naik Transjakarta dari halte Ratu Plaza, langsung menuju halte Monumen Nasional. Pekan jurnalisme oleh Tempo kali ini diadakan di Museum Gajah. Turun dari bis, saya langsung menyeberang. Posisi Museum Nasional atau Museum Gajah letaknya di seberang halte busway Monas. Sangat mencengangkan. Lokasi acara jurnalistik tersebut rupanya sudah ramai dengan para wartawan, jurnalis, fotografer, dan komunitas penulis. Tak terkecuali juga mereka yang datang hanya untuk menonton Efek Rumah Kaca atau Tika.
Dan atmosfir inilah yang saya suka. Di samping orang-orang idealis yang sama dan ada di samping orang-orang semi-urakan seperti biasa. Mereka para jurnalis dan fotografer jurnalistik itu rupanya sesuai dengan selera “manusia” menurut saya. Gaya yang cuek, tampil apa adanya, tampil berbeda, dan tak perlu terlalu mementingkan gaya. Hampir limapuluh persen dari yang hadir adalah mayoritas kaum gondrong. Hehehe.
Ada beberapa orang yang familiar. Mereka itu kalau tidak salah pernah saya temukan juga dalam acara serupa yang digagas oleh yayasan yang serupa pula. Pada bulan Februari lalu, saya pernah menghadiri acara Pembukaan Pameran Foto-Grafis Pancasila dan saya melihat beberapa jenis manusia yang sama seperti pada acara tersebut. Ya, itulah mungkin. Manusia-manusia pada satu frekuensi yang sama dengan saya. Manusia bebas yang dengan bebasnya pula menjadi apa saja.
Dalam pameran tersebut, beberapa karya ditampilkan dalam ruang kaca di museum. Karya-karya yang berupa desain grafis dan foto jurnalistik berukuran besar dan berformat kanvas, sangat mendominasi ruang kaca. Ruangan untuk penampilan musik malah dibuat di ruang aula luas yang agak terbuka. Tempat ini sangat cocok untuk mendengarkan Efek Rumah Kaca, karena suara gema yang ditimbulkan oleh si vokalis sendiri pasti terdengar sangat melankolis.
Pameran dihiasi dengan komik strip yang berurut dan menceritakan tentang bagaimana kiat-kiat yang harus dilakukan untuk menjadi seorang jurnalis warga. Semuanya dikemas dalam gambar-gambar yang unik dan mengundang tawa. Saya sempat dibuat beberapa kali tersenyum–hampir tertawa–karena komik tersebut sangat sukses mengocok perut. Meski sederhana, kesan dan pesan yang didapat malah lebih dari cukup.
Setelah berkeliling di ruang kaca dan mengambil beberapa foto, saya keluar ruangan untuk ikut mengantri bersama para teman gondrong dan mengambil nasi kucing. Satu gelas kertas kopi hitam panas dan satu porsi kecil nasi kucing bersama teman-teman makannya pun saya santap dengan syukur sambil mengobrolkan seputar pembunuhan Munir bersama salah seorang tamu pameran. Tidak ada hari yang lebih indah lagi dari Minggu, 15 April kemarin. Sungguh, dalam seumur hidup, tidak pernah saya mendapat semangat seperti kemarin. Pulang kerja, langsung pergi lagi.
Dan ini mungkin akan jadi titik tolak kehidupan saya yang semakin menanjak dan liar. Mencoba berbicara apa adanya, dengan etika yang ada. Mencoba pula untuk melawan segala bentuk ketidakcukupan dalam apa yang seharusnya bisa didapatkan lebih dari cukup. Mencoba untuk berteriak dan membela, meski hanya dalam jurnalisme warga. Dan akhirnya, kencangkan suara dan berkobar bersama mereka yang juga tak minat dengan segala luka negara kita. Sambil perlahan-lahan menghabiskan satu per satu pelajaran kampus yang membosankan, saya mencoba menjejak pengalaman. Tidak ada guru yang lebih berharga selain pengalaman. Dan itu berlaku sepadan! Nah, justru dengan terjun ke lapangan dan tak melulu menelan teori membosankan itulah kita baru dapat merasakan siapa kita. Apa minat kita dan apa yang akan kita peroleh dari sana.
Sekiranya, itu saja catatan hari Senin ini. Semoga teman-teman semua juga tak bingung akan kemana langkah teman-teman. Cukup ikuti alurnya saja dan Tuhan pasti sudah berencana. [Ayu]
Leave a Reply