Libur panjang yang jarang sekali saya dapatkan karena pekerjaan yang begitu menyibukkan, akhirnya saya dapatkan juga bulan ini. Meski diselingi dengan padat kuliah yang tetap menubruk hari libur, setidaknya saya mendapatkan libur Jum’at dan Minggu. Lumayan lah, untuk istirahat dan mencari inspirasi. Saya bersyukur karena akhirnya bisa membebaskan diri tanpa perlu banyak berpikir. Berpikir tentang masalah yang sedang njelimet dalam benak ini beberapa minggu terakhir.
Siang tadi, orang tua mampir ke kost saya di Ciputat dan tanpa pikir panjang, saya mengajak mereka untuk ikut berwisata. Kemana? Begitu tanya Ibu. Nah, saya punya ide untuk mengajak kedua orang tua saya ke Kota Tua. Berhubung mereka juga jarang ke sini dan hari ini hari Minggu. Pastilah mereka senang berpanas-panasan di tengah atmosfir hiburan yang murah dan ringan.
Sampai di Kota Tua, saya berkeliling dan mengambil beberapa foto untuk buletin kampus. Jarang sekali ada orang yang mau membaca buletin kampus. Jadi, untuk isinya dibebaskan saja kepada saya. Terserah saya yang tulis. Saya tulis, saya edit, dan saya sebarkan lewat forum mahasiswa kelas ekstensi. Setelah mengambil foto untuk esai foto pada buletin kampus yang seadanya, saya berkeliling lagi.
 |
Banner “Enjoy Jakarta” |
Saya terhenti pada Museum Wayang. Saya teringat akan ajakan seorang kakak dari UIN Jakarta yang bernama
Abdullah Alawi. Saya ingat ajakannya ke acara wayang yang diadakan di
student center UIN dan pernah juga saya bahas di
sini. Jadilah, waktu melihat museum wayang dan melihat ada
banner besar di sebelah pintu keluar–perihal acara wayang mingguan di bulan April–saya pun menyegerakan untuk masuk. Masalah datang. Saya tak membawa cukup uang. Meminta orang tua pun rasanya kok tak etis ya?
Wong anaknya sudah kerja, tapi kok masih minta-minta. Hehe. Jadilah saya cek dulu keuangan dan memicingkan mata untuk mengintip loket masuk museum. Oh! Ternyata tiketnya murah sekali! Hanya duaribu rupiah saja, saya bisa masuk dan menikmati keseluruhan isi museum itu, yang menyajikan berbagai jenis wayang daerah berikut penjelasannya.
Mariiii masuk! Hehe.
Acara wayang yang diadakan secara mingguan ini diawali pada tanggal 08 April 2012, alias tadi siang. Acaranya dari jam sepuluh sampai jam dua siang. Tadi siang, sanggar yang kebagian mengisi adalah sanggar Tunas Jaya dengan dalang Ki. Naman Sanjaya dan melakoni kisah “Bambang Ekalaya”. Jenis wayang yang ditampilkan adalah wayang kulit Betawi.
Ketika masuk, saya tak begitu memperhatikan kisahnya karena masih dibawakan dengan bahasa Sunda campuran yang saya pun kurang mengerti. Saya jadi merasa malu, karena saya besar di Bandung tapi tak mengerti sama sekali tentang bahasa Sunda. Hehe. Intinya, kisah Bambang Ekalaya ini mencerminkan sebuah kepemimpinan dan menyerempet isu-isu sosial terkini dalam realita kepemimpinan di Indonesia. Begitulah kiranya pesan yang tersampaikan dari limabelas menit menyaksikan wayang. Karena wayang ini adalah wayang yang masih kontemporer, untuk pembawaannya tentu saja masih dengan cara kontemporer pula. Tak seperti acara wayang di UIN bulan Januari lalu, yang pembawaannya sudah lebih modern dengan pesan moral yang nyaris menusuk hati saya.
 |
Acara Pagelaran Wayang |
Untuk instrumentalnya sendiri, masih menggunakan gamelan Sunda. Lalu, dimana letak Betawinya? Untuk unsur Betawinya, mungkin kalian akan dapatkan jika menonton sendiri acara wayang. Atau, kalian mungkin ingat sebuah alat musik yang bersenar satu–seperti rebab–dan kerap kali digunakan ketika ondel-ondel main. Nah, di situlah letak Betawinya. Setidaknya, ini menurut saya. Karena, yang saya ketahui, dalam instrumen musik Sunda, tak ada unsur bebunyian seperti itu. Kalau ada yang melengking bunyinya, serupa dengan itu, saya rasa di musik Sunda lebih dominan menggunakan terompet pencak silat.
 |
Bapak dan Bima |
Setelah menonton wayang, saya tak langsung menuju pintu keluar. Melihat arsitektur ruangan pameran, saya jadi penasaran untuk menelusuri kedalaman Museum Wayang.
Saya berjalan di lorong agak gelap dengan lampu kuning dan kanan-kiri saya terdapat wayang besar. Agak seram juga rupanya. Namun, saya berusaha mengusir perasaan takut itu dan mencoba berkenalan lebih jauh dengan para tokoh wayang. Di samping kanan ada beberapa wayang besar. Ada Bima yang identik dengan kukunya, ada Hanoman si monyet putih, dan juga Gatotkaca dengan mata merah dan gambar ‘laskar’ di tengah dadanya. Saya menyebutnya laskar karena memang saya tak tahu nama sebenarnya. Hehe. Melihat gambar itu saya cuma ingat dengan rumah republik cinta milik Ahmad Dhani, Laskar Cinta–bergambar sama dengan dada Gatotkaca.
 |
Hanoman si Monyet Putih |
Banyak orang-orang yang mengunjungi museum wayang kala itu, hanya untuk berfoto ria ala anak muda. Bahkan, yang membuat saya miris waktu itu adalah banyaknya anak muda yang memanfaatkan keremangan museum wayang untuk berbuat yang tidak perlu. Ah! Saat itu, rasanya saya ingin sekali menghajar anak muda tak mengerti budaya itu. Tapi, saya malu pada kedua orang tua. Nanti mereka bisa-bisa mengatakan bahwa saya ini masih tetap anarkis seperti dulu, sebelum saya berangkat ke Jakarta ini. Ya, apa boleh buat. Saya mengabaikan pemandangan tak penting itu dan melanjutkan observasi kultural kali ini.
Melewati patung keempat, saya agak sedikit cek-cok dengan Ibu dan Bapak saya. Pasalnya, mereka mengetahui wayang dan keukeuh bahwa patung keempat itu adalah Dasamuka. Ternyata, setelah didekati dan dicek, dugaan kami salah. Hehe. Ya begitulah. Entah kenapa, saya selalu suka dengan kultural ini. Kita boleh mempelajari mitologi Yunani. Tapi, kita juga sudah sepatutnya bangga akan budaya Indonesia, dengan silsilah perwayangan yang nyaris menyerupai mitologi Yunani. [Ayu]
Leave a Reply